Mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah, Gema--ibu tiri Vanesha--yang tadinya sedang menonton televisi, langsung keluar dari rumahnya.
Ia jelas tahu itu suara motor siapa: Vanesha!
"Enak banget kamu ya, baru pulang sekarang!" sentaknya sembari berkacak pinggang ketika melihat Vanesha memasuki gerbang rumah.
Tak ia pedulikan wajah Vanesha yang tampak lelah karena belum juga menurunkan standard dari motornya, ia sudah kena omel.
Dengan langkah lemas, Vanesha lantas berjalan masuk ke dalam rumah.
"Hey tunggu! Enak saja kau, baru pulang, main nyelonong masuk saja!"
Dia menarik lengan Vanesha yang hendak masuk, ditarik keluar.
"Bu, aku capek banget, aku mau istirahat dulu--"
Plak!
Sontak Vanesha kaget ketika dia mendapatkan tamparan keras dari ibu tirinya itu. Rasanya perih sampai membekas di pipinya.
Bukannya disambut dengan salam dan pelukan hangat, atau hidangan makanan malam, ia malah ditampar?
Padahal, baru juga dia mendapat tamparan dari mantan majikannya!
"Apa kau bilang? Capek? Pulang jam 9 malam, dan kau mengeluh capek??"
Dengan berani dan percaya dirinya, Gema membentak dan memarahi Vanesha di depan rumah, sampai para tetangga ikut mendengar dan bahkan ada yang mengintip kejadian.
"Jadi, apa yang Ibu inginkan sekarang?" tanyanya dengan wajah setengah kesal.
"Minta duit!" Gema menadahkan tangannya.
"Duit? Duit apa Bu?"
"Duit buat beli makanlah! Seharian kau tidak ada di rumah, di luar terus, memangnya kau pikir siapa yang menyiapkan makan malam untuk kami?"
"Ayah juga belum makan?" Vanesha lebih mengkhawatirkan ayahnya daripada ibu dan saudara tirinya itu.
"Kami saja belum makan, masa ayahmu yang penyakitan itu bisa makan?"
Vanesha langsung masuk ke dalam rumah, mendorong tubuh ibu tirinya hanya untuk segera melihat dan bertemu dengan ayahnya.
Namun, Vanesha terkejut melihat pria kesayangannya itu terbaring lemas dengan kesulitan mengeluarkan suaranya.
"Ayah! Apa Ayah belum makan?" tanya Vanesha dengan wajah panik, membersihkan wajah ayahnya yang berkeringat. Bagaimana dia tidak berkeringat, hampir setiap hari dia 'dikurung' didalam kamar yang sempit, pengap dan gelap. Apalagi, tidak ada selimut, hanya kain tipis.
Bayu Saputra, melihat wajah putrinya. Dia berusaha untuk mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Vanesha, tapi tenaganya tidak bisa. Vanesha menarik tangan ayahnya yang hampir turun itu, dan mengarahkannya pada wajahnya.
Dari pancaran matanya, seakan Bayu ingin mengatakan sesuatu pada Vanesha, betapa tidak beruntungnya nasib mereka berdua.
"Ayah, sekarang, aku akan menyiapkan makan malam untuk Ayah, Ayah tunggu sebentar–”
"Gak perlu masak! Kasih saja uangnya biar beli makanan diluar saja!" potong Gema yang mendadak masuk ke dalam kamar.
Ia kembali menagih uang seperti rentenir padanya.
Karena kamarnya yang pengap, wanita itu masuk sembari menutup hidung dengan tangannya.
Vanesha menahan kesal melihatnya.
Namun, ia tak punya banyak waktu.
Masuk akal jika dia harus membeli makan di luar karena sudah tidak sempat lagi untuk memasak.
Vanesha pun mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari saku celananya.
Mata Gema yang jelalatan ketika melihat ada uang tiga lembar seratus ribuan, langsung merampasnya dari tangan Vanesha.
"Loh, Bu? Kenapa semua uangnya diambil?"
"Memangnya kenapa? Mau beli makan kan? Nih, kau saja beli, jangan beli lauk yang tidak enak. Beli buat kami semua." Gema hanya memberikan selembar uang seratus ribuannya saja dari tiga lembar.
"Bu, kenapa Ibu hanya kasih ini? Kembalikan semua uangnya Bu!" ketika Vanesha ingin menarik uangnya, Gema menjauhkan tangannya seakan tidak mau uang itu direbut.
"Bu! Itu uang yang aku pinjam, berikan padaku!"
"Berani sekali kau berteriak padaku! Ini kan salahmu karena tidak kasih kami makan! Uang ini, biar aku yang pegang. Toh besok kau kerja dan gajian lagi kan?"
"Hah..." Vanesha menghelakan napasnya, rasanya energinya terkuras lemas, "Bu, aku dipecat. Aku tidak diijinkan untuk bekerja disana lagi. Dan uang itu–”
"Apa kau bilang?? Dipecat??" Lagi, Gema memotong ucapan Vanesha.
Namun, kali ini suaranya begitu keras, hingga membuat Vanesha sampai menutup telinganya. Dia khawatir ayahnya juga terganggu dengan suara itu.
"Dasar kau ini ya! Kerja cuma sehari, dan kau bilang dipecat? Padahal dapat gaji tiga ratus ribu, dan kau tidak mau kerja lagi?"
"Bu, itu bukan dari gajiku hari ini. Aku gak digaji Bu. Uang itu aku pinjam. Jadi, bisa kembalikan uangnya Bu?"
Bugh!
Kali ini, Gema memukul punggung tangan Vanesha ketika tangan itu mendekatinya lagi untuk meraih uangnya. “Yang sudah di tanganku, jangan harap kau minta lagi!”
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re