Malam ini hawa dingin sangat menusuk, membuat Dean yang sedang menikmati secangkir kopi di atas balkon kamarnya, langsung mengusap telapak tangan.
Athalia telah pulang diantar oleh Pak Sardi sekitar setengah jam lalu. Sementara Dirly pun sudah lelap dalam tidurnya.Hanya tersisa Dean seorang diri, menyelami pikirannya juga meresapi perkataan Dirly tempo hari.Dean menarik napas pelan, kemudian mengurut dagu dengan jemari. Tampak gelisah.“Kurasa ini keputusan yang tepat,” gumamnya mengangguk-anggukan kepala.Dean menutup cangkir kopinya, lalu bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan balkon.Langkah lebar lelaki itu bergerak keluar kamar untuk kemudian menuju kamar Dirly yang juga berada di lantai dua.Pelan Dean memutar kenop dan membuka daun pintunya, mengintip ke dalam dan dilihatnya Dirly tengah terlelap di atas ranjang.Selarik senyum tersungging di bibir, Dean pun mengayun langkah lebih dekat lagi, memasuki kamar Dirly dan duAthalia mengangguk, lalu mengikuti langkah pelayan itu memasuki lift.Lift itu bergerak naik ke atas, saat itu jantung Athalia berdetak tidak nyaman, entah mengapa.“Sudah sampai, Nona. Maaf, tugas saya hanya mengantar Anda sampai sini. Silakan Anda temui Tuan Dean. Dia sudah menunggu Anda sejak tadi.”Athalia mengernyit sesaat, merasa heran mengapa sejak tadi pelayan itu hanya menyebut nama Dean.Hei, malam ini Athalia akan makan malam dengan dua orang. Bukan dengan Dean saja.Tapi Athalia tetap menganggukkan kepala dan membiarkan pelayan itu kembali tertelan pintu lift.Menarik napas pelan, Athalia memutar tubuh dan mengayunkan langkah.Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang lelaki bertubuh tegap. Bahu lebarnya makin tercetak jelas di balik kemeja putih ketat yang dikenakannya.Athalia sudah menebak siapa lelaki itu yang saat ini membelakanginya dan menatap pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang kokoh di sekelili
Meski melihat ketulusan yang tersirat di wajah Dean, namun Athalia tak langsung terdiam. Ia menunduk, menatap pada cincin yang Dean persembahkan untuknya.Athalia meremas tangannya di sisi tubuh, meneguk ludah saat tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.Bingung harus menjawab apa, sebab Athalia merasa tak pantas untuk Dean. Apalagi sosok Mahesa sampai detik ini masih merajai hatinya.Berusaha memilih, akhirnya Athalia pun menggelengkan kepala.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku minta maaf.” Athalia mendorong pelan kotak cincin itu ke dada Dean, lalu ia membalikan badan dan hendak pergi meninggalkan lelaki itu.Akan tetapi, langkahnya seketika terhenti saat di depan pintu lift, Dirly berdiri dan menatapnya dengan sorot terluka.Ketika menatap bagaimana berkaca-kacanya mata bocah itu, Athalia merasa jantungnya ditikam oleh sembilu. Terasa menyakitkan.“Dirly,” bisik Athalia, dengan mata yang memanas.P
Tak ingin terus-menerus membiarkan gelisah merongrong dalam dada, juga rasa penasaran yang makin menggeliat di dalam benaknya.Mahesa memutuskan untuk mencaritahu tentang sedalam apa kedekatan Athalia dengannya? Juga tentang latar belakang wanita itu.Apa yang membuat Athalia tampak begitu nyata setiap kali melintas dalam pikirannya.“Dia selalu mendominasi otakku. Aku tidak bisa membiarkan pertanyaan ini berakhir tanpa ada jawaban. Aku yakin, seseorang terdekatku pasti bisa menjelaskan tentang Athalia,” gumam Mahesa sambil berdiri di depan cermin dan memasang dasi berwarna maroon di lehernya.Setelah rapi dengan stelan kemeja dan celana berwarna senada dengan jas yang akan ia kenakan, Mahesa menyambar tas kerjanya dan berlalu keluar kamar.Pagi ini akan ada meeting mingguan, Mahesa tahu itu. Tapi ia sudah menghubungi sekretarisnya untuk mengundurkan jadwal meeting, karena ia bangun sedikit kesiangan. Akibat dari ia kesulitan tidur semalaman.
Ternyata ada beberapa lembar foto di dalamnya. Mahesa mengamati foto itu dengan seksama. Detik kemudian ia terhenyak dengan mata yang menyipit tajam. Sementara Leuwis menautkan jemari di bawah dagu, menyeringai melihat reaksi terkejut Mahesa.“Lihat seberapa buruk wanita murahan itu? Bukankah dia terlihat menjijikan? Tidur dengan banyak lelaki kaya hanya untuk mendapatkan banyak uang. Bisa-bisanya kau pernah terjerat dengan godaannya. Kau menyentuh wanita bekas para lelaki hidung belang, lalu mengabaikan Kiran yang jelas-jelas tulus mencintaimu.” Leuwis sengaja memperburuk citra Athalia di depan Mahesa.Leuwis ingin menumbuhkan lebih banyak kebencian di dalam hati Mahesa terhadap wanita itu, agar Mahesa fokus pada hubungannya dengan Kiran dan berhenti penasaran dengan sosok Athalia. Tangan Mahesa sedikit gemetar, bersamaan dengan emosi yang meluap dalam dirinya.“Aku tak percaya kalau pernah sebodoh ini tergoda oleh wani
“Baiklah, kita berangkat ke sekolah sekarang!” seru Dean setelah mereka baru saja menyelesaikan sarapan.Athalia dan Dirly sama-sama bangkit dari kursi. Athalia mengambil tas Dirly yang tadi diletakan di atas kursi kosong, lalu membantu memakaikannya di punggung bocah itu.Mereka pun berjalan melewati pintu keluar.Dean membukakan pintu untuk Dirly dan Athalia. Setelahnya mereka masuk ke mobil, baru Dean mendudukan dirinya di balik kursi kemudi.“Dirly, kau yakin tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Dean, menatap Dirly melalui kaca spion yang menggantung di bagian atas mobil.Dirly yang duduk di belakang, menggeleng. “Tidak ada, Pa. Semuanya sudah kumasukkan ke dalam tas.”“Kau yakin?”“Ya.” Dirly menjawab, membuat Dean tersenyum puas.“Kerja yang bagus!” Dirly nyengir lebar saat mendengar pujian dari Dean. Sementara Athalia mengulum senyum tipis.Saat
Mendengar pertanyaan Mahesa, Dean melirik ke arah pintu yang menghubung ke bagian dalam restoran. Ia yakin kalau Athalia masih sibuk melepas rindu dengan teman-teman kerjanya.Dean pun kembali memutar kepala, menatap Mahesa.“Sebentar lagi dia akan ke sini. Nanti aku akan mengenalkannya,” ucap Dean. Mahesa mengangguk.“Oh ya, kenapa tiba-tiba kau ingin bertemu denganku? Hmm? Bukankah sebagai seorang CEO, harusnya kau sibuk berjibaku dengan pekerjaanmu di kantor?” Dean bertanya pada Mahesa setelah ia selesai meneguk air putih yang tersedia di dalam botol kaca, kemudian menepikan punggungnya dan menaikan kaki kanannya ke atas kaki kiri.Mahesa mendesah pelan, gurat lelah di wajahnya menunjukan bahwa ia sedang tak bersemangat hari ini.“Hari ini aku merasa penat dengan pekerjaan di kantor. Jadi kuputuskan untuk keluar sebentar,” jawab Mahesa, yang kemudian menumbuhkan kernyitan heran di kening Dean.Detik selanjutnya, De
“Athalia, makan yang banyak,” kata Dean, melirik pada piring Athalia yang masih penuh.Athalia meneguk ludahnya susah payah, mengangguk kecil.“Tidak, Dean. Aku sudah kenyang.”Dean mengernyitkan alis mendengar itu. “Kenyang apanya? Tadi kau hanya sarapan sedikit di rumah.”Dean tidak mengerti bahwa Athalia bukannya tidak lapar. Tapi bagaimana ia bisa makan, sementara di depannya, mata tajam Mahesa menatap penuh intimidasi.“Apa kau mau aku suapi?” tanya Dean, yang pertanyaannya berhasil membuat Athalia terkejut dan segera menoleh.Sedangkan Mahesa langsung menyipitkan mata. Sambil berpura-pura menikmati makanan di piringnya. Ia pun perlu kekuatan untuk menelannya susah payah. Demi tak muntah ketika melihat pemandangan menjijikan di depannya.Pasti Athalia sengaja bersikap manja agar Dean memperhatikannya, lalu menunjukan sikap mesra. Picik sekali wanita itu. Begitu pikir Mahes
“Athalia, Mahesa?” Dean melangkah mendekat, berdiri di antara Mahesa dan Athalia.Athalia tampak gelisah, sedangkan Mahesa menunjukan sikap biasa. Hanya berdiri kokoh sambil membenamkan kedua tangannya di saku celana.“Kupikir kau sudah pulang.” Dean menatap Mahesa.Mahesa tersenyum hambar. “Tadinya begitu, tapi aku melihat calon istrimu berdiri sendirian. Jadi aku mengajaknya ngobrol sejenak sampai kau datang.”Mendengar penjelasan Mahesa, Dean menyunggingkan senyum lebar. Kemudian menepuk pelan pundak Mahesa dengan bangga.“Kau ini tidak pernah berubah. Meskipun cuek tapi sangat perhatian pada orang lain.”Athalia mengangkat kepalanya, menatap Mahesa dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Namun tatapan itu dibalas oleh Mahesa dengan memberikan senyum sinis padanya. Segera Athalia mengalihkan pandangan ke arah Dean.“Terima kasih sudah menemani calon istriku. Kalau begitu kami pergi duluan. S