Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud.
"Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya. Mahesa masih bergeming. "Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata. "Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu. "Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja. Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicintainya. “Aku setuju. Yang namanya hal baik itu tidak boleh ditunda-tunda. Pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Apalagi Mahesa dan Kiran saling mencintai. Pernikahan mereka pasti akan bahagia,” tambah Leuwis yang makin membuat senyum lebar mengembang di bibir Kiran.Akan tetapi tiba-tiba saja Mahesa yang sejak tadi diam, kini angkat bicara.“Aku tidak bisa menikah,” katanya. Membuat terkejut semua orang.Semua pasang mata tertuju ke arah Mahesa. Raut bingung tergambar di wajah mereka.“Apa maksudmu dengan tidak bisa menikah, Mahesa?” tanya Leuwis dengan bingung, detak jantungnya tak beraturan, wajahnya memerah karena kesal sekaligus terkejut mendengar ucapan Mahesa yang di luar dugaannya.Mahesa balas menatap Leuwis, lekat. Kemudian ia melanjutkan ucapannya setelah sebelumnya menarik napas pelan.“Aku baru saja mengalami cedera otak. Aku tak ingat sebagian memori di otakku. Bahkan aku pun tidak ingat tentang a
Athalia mengerutkan kening, segera menoleh ke arah kolam. Tak sampai dua detik, matanya langsung membeliak ketika melihat seorang anak kecil laki-laki sedang tenggelam dan berusaha meminta pertolongan dari dalam kolam itu yang sebenarnya tidak dalam jika untuk ukuran orang dewasa. Tapi lain halnya jika anak kecil yang masuk ke sana.“Ya Tuhan!” Athalia menjatuhkan lapnya hingga teronggok di atas paving, kemudian tanpa berpikir lagi, ia secepatnya turun ke dalam kolam dan menceburkan dirinya sendiri.“Toloong!” anak kecil itu makin menggelepar, berusaha memunculkan kepalanya ke permukaan untuk berseru meminta pertolongan, lalu tubuhnya tertarik ke dalam, membuat mulutnya menelan banyak air.Athalia menggapai tangan anak itu, lalu memeluknya.“Bertahanlah. Kau akan selamat, sayang. Kau akan selamat,” bisik Athalia di telinga kanan bocah lelaki itu.Namun mata bocah itu sudah terpejam, hanya mulutnya yang sedikit terbuka. Membuat panik dan rasa khawatir mendera Athalia.Naik ke pinggir k
“Athalia! Kau dipanggil oleh Pak Iksan.” Sisy memberitahu Athalia yang baru saja selesai melahap makan siangnya di dapur restoran karena Pak Iksan yang berpesan padanya untuk menyampaikannya pada Athalia.Athalia menaruh piring bekasnya di wastafel, lalu mencucinya, tetapi kepalanya menoleh ke arah Sisy dengan raut penasaran.“Pak Iksan memanggilku? Untuk apa?” tanyanya heran, sekaligus cemas, biasanya yang dipanggil ke ruangan manager itu adalah pelayan yang melakukan kesalahan.Sebuah pertanyaan menggantung di kepala Athalia, kesalahan apakah yang telah ia lakukan?Sisy mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Kau temui saja dulu. Siapa tahu kali ini Pak Iksan mau memberi bonus,” katanya untuk mengurangi raut cemas di wajah Athalia.Athalia menggeleng, lalu mengulum senyum, meski hatinya masih merasa resah.*** Iksan—lelaki bertubuh pendek, dengan perut bulat dan kepala yang bagian tengahnya sudah mengkilat itu sedang duduk di balik mejanya, saat Athalia mengetuk pintu.“Masuk!” Iksan me
Dean menunjuk kursi di depannya.“Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati apa yang sebelumnya pernah dimilikinya.Tadi saat menatap Athalia melalui kamera CCTV, Dean tak melihat wajah wanita itu begitu jelas. Tapi saat bertatapan langsung, ia langsung tak bisa berkata-kata.Jadi ini alasan mengapa Dirly memanggil penyelamatnya dengan sebutan mama?Pantas saja!“Maaf, Pak Dean? Apa Anda ingin mengatakan sesuatu?” setelah duduk berhadapan, Dean masih tetap bergeming, membuat Athalia kembali menyadarkannya.Lantas Dean mengangguk dan menegakkan duduknya.“Ekhem … “ ia berdeham demi menyembunyikan salah tingkahnya.
Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu. Narsih kagum pada Athalia, sebab ia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Hal itu membuat Narsih bangga dan memeluknya dengan erat.*** Mahesa duduk di meja kerjanya. Ia sangat dipusingkan dengan setumpuk pekerjaan yang seakan tak habis-habis. Kadang ia memijit keningnya pelan, berusaha mengusir denyut yang membuat pening di sana. Atau meneguk secangkir kopi, namun ia tetap tak bisa untuk tetap fokus pada pekerjaannya.Ini sangat-sangat menyebalkan!Mahesa membuang napas pelan, pada akhirnya ia meletakkan bolpoint di atas meja dan menepikan punggungnya pada sandaran kursi. Sebenarnya, yang membuatnya tak bisa fokus bukanlah semata-mata karena rasa pusing di kepala, tetapi ada perasaan gusar yang terus merundung hatinya.Sem
Mungkin karena wanita itu sudah memiliki banyak koleksi make up dari brand-brand ternama.Syukurlah, itu berarti Mahesa bisa secepatnya kembali ke kantor.Saat mereka sedang melangkah, tiba-tiba langkah Mahesa terhenti saat ia melintasi toko buku.Di sana, ada sebuah rak yang berdiri, memamerkan berbagai macam judul dari novel-novel karangan penulis terkenal.Namun, mata Mahesa tertuju pada satu novel yang tak asing bagi penglihatannya. Mahesa mendekat, mengambil buku itu dan memperhatikannya dengan lekat.“Aku merasa aneh saat melihat novel ini. Sepertinya aku pernah membacanya, tapi di mana?” gumam Mahesa dalam hati.Penasaran, Mahesa membalikan buku novel itu hingga ia bisa membaca bagian blurbnya. Di sana tertulis bahwa novel ini menceritakan tentang seorang gadis pembantu bernama Tatiana yang jatuh cinta pada Alex—tuannya sendiri.“Tatiana … “ gumam Mahesa pelan.Mahesa terkejut saat
“Dirly itu masih kecil, tapi kadang dia suka berpikir kritis. Dia mengerti kalau ibunya sudah tiada, tapi saat melihatmu, dia merasa melihat ibunya secara nyata. Aku tidak tahu, apakah aku harus merasa sedih atau bahagia.” terdengar hembusan napas berat dari mulut Dean.Athalia tahu ini sangat berat.Tumbuh besar tanpa sentuhan tangan seorang ibu memang akan sangat terasa menyedihkan. Di saat orang lain akan terlelap setiap malam dalam dekapan ibu mereka, mungkin Dirly adalah salah satu anak tidak beruntung yang tak memilikinya.Seketika perasaan bersalah menyergap hati Athalia. Mengapa wajahnya bisa mirip dengan Alma, hingga menjadi menyakiti hati bocah mungil yang tak berdosa itu. Andai Athalia boleh memilih, ia tak ingin wajahnya mirip dengan ibu Dirly.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak tahu kalau ternyata wajahku sangat mirip dengan ibunya Dirly. Aku tidak bermaksud untuk—““Tidak apa, ini bukan salahmu. Hanya saja &hel
Pagi ini, Mahesa masih sangat mengantuk. Ia tak bisa tidur semalaman.Tepatnya, Mahesa memang tak pernah bisa tidur nyenyak jika malam hari. Sebab otak dan hatinya selalu saja meresahkan hal yang sama.Yaitu, tentang gadis yang selalu berkelebat dalam benaknya. Entah siapa dia, sampai detik ini tanya itu masih menggantung di atas kepala.Mahesa belum juga menemukan jawabnya."Eenghhh ... "Mahesa bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam, saat ia merasa ada yang menyentuh perutnya dan mengusapnya dengan gerakan seringan bulu.Ah, pasti ini hanya mimpi.Tapi, semakin lama, tangan itu bergerak naik dan berhenti di dadanya yang bidang.Merasa ada yang janggal, Mahesa pun tak tahan untuk membuka mata. Lantas ia terkejut melihat pemandangan di depannya."Kiran?! Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku?!" Mahesa beringsut duduk, menatap Kiran yang duduk di sampin