Selesai membeli komik untuk koleksi Dirly, Athalia membeli beberapa buku pelajaran untuk bocah usia satu tahun. Dengan senang hati Dirly membantu membawakan buku-buku itu.
“Sini, Dirly. Biar aku yang membawa buku-bukunya.” Athalia menjulurkan tangannya, hendak mengambil alih buku-buku dari tangan Dirly.Namun Dirly menggelengkan kepala seraya menjauhkannya dari jangkauan tangan Athalia.“Tidak perlu, biar aku saja yang membawanya.”“Kau yakin? Sejak tadi kau yang membawanya, apa kau tidak merasa keberatan?” Athalia menautkan kedua alisnya.Dirly nyengir lebar, sekali lagi kepalanya menggeleng. “Tentu saja tidak. Meskipun aku masih, tapi ototku sudah sekuat Papa,” ucapnya membanggakan diri.Athalia nyaris tersedak tawa, tapi kemudian ia mengangguk-anggukan kepala.“Oh, oke. Baiklah. Terserah kau saja kalau begitu.” dengan gemas, Athalia mengacak pelan rambut Dirly, membuat si empunya langsuDean menyipitkan mata, menunggu jawaban Athalia.“Emhh … itu Pak Dean.”“Itu apa?”Suara klakson mobil terdengar dan mengejutkan mereka sebelum Athalia bicara lagi. Perhatian Dean segera teralih, keningnya berkerut sekarang.“Kenapa Pak Sardi membunyikan klakson,” gumam Dean, lalu berjalan menuruni tangga dan meninggalkan Athalia.Buru-buru Athalia menghela napas lega.“Hah, untung saja Pak Sardi menyelamatkanku,” ucap Athalia.Sementara itu, langkah Dean bergerak keluar teras. Ia melihat sopirnya baru turun dari mobil dan menutup pintu mobil itu hingga rapat.Dean sudah menduga, pasti lelaki setengah baya itu yang membunyikan klakson mobilnya.“Kenapa klaksonnya bunyi, Pak Sardi?” tanya Dean, sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sedangkan matanya lurus menatap pada Pak Sardi yang mengusap tengkuknya dengan malu.“Maaf, Pak Dean.
“Apakah aku terlihat tampan?” tanya Dirly, sambil berputar setelah mengenakan stelan jas yang pas dengan tubuhnya.Dean yang duduk di tepi ranjang pun menahan senyum.“Sepertinya pertanyaan itu akan lebih cocok jika kau tanyakan pada Tante Athalia,” kata Dean.Dirly mengerutkan kening. Mendekat selangkah pada Dean agar Dean bisa merapikan dasi kupu-kupu merah yang mengikat di depan lehernya.“Kenapa harus Tante Athalia?”“Karena dia perempuan. Tentu dia akan tahu pria tampan itu yang seperti apa,” jawab Dean sambil meraih sisir yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu mulai menyisir rambut Dirly yang sedikit basah.Dirly manggut-manggut mendengar celotehan ayahnya.“Baiklah, kalau begitu, nanti akan kutanyakan pada Tante Athalia jika dia sudah kembali,” ucap Dirly penuh semangat.Entah mengapa, hari ini bocah itu merasa dirinya paling berkarisma di sini. Mungkin karena sekaran
“Apakah sudah selesai?” Dirly bertanya pada Athalia yang sedang membantu merapikan rambutnya.“Sebentar lagi.” Athalia merapikan pinggir rambut Dirly dengan jemari, lalu ia menepuk-nepuk pelan jas yang dikenakan bocah itu. Lantas senyum puas pun terkembang di wajah Athalia. “Nah, sekarang sudah selesai. Kau terlihat sangat tampan,” serunya.“Benarkah?” senyum Dirly merekah lebar. Kakinya berjalan menuju cermin dan menatap pantulan dirinya dari sana. “Kau benar, aku terlihat gagah, bahkan lebih gagah daripada Papa.”Nyaris saja Athalia menyemburkan tawa saat mendengar Dirly memuji dirinya sendiri. Bahkan membandingkan penampilannya dengan Dean, yang tentu saja tak sebanding dengannya.“Ehem … mungkin saja.” Athalia bangkit dari duduknya, berdiri sambil bersidekap menatap punggung Dirly yang masih asyik menatap cermin.Tiba-tiba bocah itu berbalik menatapnya.“Tante Athal
“Mana toiletnya? Dean bilang di dekat dapur.” menjauhi kerumunan pesta, Mahesa mengayunkan langkah melewati ruang tengah.Sesaat langkahnya terhenti di bawah tangga, lalu matanya melebar senang, selaras dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung ketika ia melihat pintu dapur di ujung sana.Benar saja, berbelok sedikit ke arah kiri, ada sebuah pintu yang bisa dipastikan adalah toilet.Mahesa tersenyum, melanjutkan langkah yang sempat terjeda, lalu masuk ke dalam toilet itu.***“Supnya wangi sekali, Bik.” Athalia memuji sambil melirik ke arah Bik Inah yang sedang mengaduk sup ayam di dalam panci.Pujian itu bukan semata karena basa-basi. Namun, Athalia berkata jujur apa adanya.Baru kali ini ia mencium bau sup yang seenak ini.“Ah, Nona Athalia bisa saja,” sahut Bik Inah, tersipu menundukan kepala.“Aku serius, Bik. Kapan-kapan, aku ingin tanya resepnya.”Bik Inah mengangguk. &ldq
“Ck! Acara ini membosankan sekali. Mahesa juga belum kembali dari toilet. Hhh … kalau bukan karena cinta. Mana sudi aku datang ke acara tidak penting seperti ini. Apalagi suara anak-anak itu membuat telingaku pengang,” gerutu Kiran di dalam hati.Kiran berdecak dan memutar bola matanya malas saat melihat anak-anak SD kelas satu itu saling bercanda dan tertawa. Ada beberapa dari mereka yang berteriak-teriak tidak jelas sambil bercanda dengan para badut. Membuat Kiran mengusap lengannya bosan.Dean yang sedang membenarkan letak dasi di kerah kemeja Dirly pun menoleh ke arah Kiran. Keningnya berkerut melihat raut jengah di wajah wanita itu.“Sebentar, Papa ke sana dulu.” Dean berbisik di telinga kanan Dirly.“Iya, Pa.” bocah itu mengangguk, lalu kembali fokus pada badut yang sedang atraksi di depannya.Dean melangkah menjauhi Dirly dan mendekati Kiran yang sedang mengusap tengkuknya.“Mahesa belu
Menjawab pertanyaan Mahesa, Kiran menggelengkan kepala.“Tidak usah. Antar aku pulang saja. Aku hanya butuh istirahat sebentar untuk membuat rasa pusing ini hilang,” jawab Kiran, Mahesa kemudian mengganggukan kepala tanpa curiga.Kiran yang semula memejamkan mata, kini sedikit membuka kelopak matanya, mengintip ekspresi Mahesa yang sedang mengemudi. Lalu seulas senyum culas tersungging di bibir.“Bagus, Mahesa tak curiga sama sekali. Untung saja dia tak bertemu dengan Athalia. Aku harus pastikan agar Mahesa tak sering bertemu dengan temannya yang bernama Dean itu agar ia dan Athalia tak pernah bertemu.” Kiran bergumam dalam hati.Ada ribuan pertanyaan yang menyesaki kepalanya saat ini. Tentang mengapa Athalia bisa berada di kediaman Dean? Siapakah wanita itu dalam hidup Dean? Rasa penasaran itu sangat tinggi.Meski tak seberapa penting bagi Kiran, tetapi suatu saat ia harus mencaritahu semuanya.***Malam s
Setelah mengobrol sejenak bersama keluarga Athalia, Dean pun melirik ke arah arloji di tangannya dan baru sadar bahwa saat ini sudah jam sembilan malam.“Apakah Dirly sudah tidur?” pertanyaan itu bercokol dalam hati Dean.Tadi saat akan mengantar Athalia pulang, Dirly memang belum tidur. Dan bocah itu tak masalah jika ditinggalkan sebentar oleh ayahnya.Dean pun pamit pulang. Narsih dan Yasna mengangguk sambil tersenyum.Athalia menemani Dean sampai ke teras depan.“Pak Dean, terima kasih karena sudah mengantarku ke kontrakan,” ucap Athalia.Dean membalasnya dengan senyum dan anggukan. “Sama-sama. Terima kasih juga karena sudah memperbolehkanku mampir sejenak.”Mereka sama-sama mengulum senyum malu. Tapi lain halnya yang terasa di dalam dada Dean. Ada sesuatu yang bergemuruh di sana ketika melihat senyum manis itu terlukis di bibir Athalia.“Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok di rumahku,
Pagi ini, Dirly tampak sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Berjongkok, Dirly mengenakan sepatunya sendiri. Sementara Athalia sibuk merapikan tas sekolah Dirly dan menentengnya sembari mendekati bocah itu.“Pakai tasmu!” Dirly berdiri, membiarkan Athalia membantunya mengenakan tas itu di punggung.“Terima kasih Tante Athalia!”“Sama-sama. Apakah tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Athalia, sembari mendekati cermin dan membereskan sisir bekas Dirly ke tempatnya.Dirly menggeleng, lalu membenarkan letak topinya yang sedikit miring.“Tidak ada. PR-ku sudah kumasukkan ke dalam tas, semalam.”Athalia tersenyum, kembali menghampiri Dirly dan menepuk pundak bocah itu dengan senang.“Bagus, anak pintar!” pujinya. Membuat Dirly nyengir lebar menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi.Saat itu, terdengar suara ketukan pintu, Dirly dan Athalia menoleh lalu melihat Dean masuk ke