Dean menunjuk kursi di depannya.
“Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.
Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.
Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati apa yang sebelumnya pernah dimilikinya.
Tadi saat menatap Athalia melalui kamera CCTV, Dean tak melihat wajah wanita itu begitu jelas. Tapi saat bertatapan langsung, ia langsung tak bisa berkata-kata.
Jadi ini alasan mengapa Dirly memanggil penyelamatnya dengan sebutan mama?
Pantas saja!
“Maaf, Pak Dean? Apa Anda ingin mengatakan sesuatu?” setelah duduk berhadapan, Dean masih tetap bergeming, membuat Athalia kembali menyadarkannya.
Lantas Dean mengangguk dan menegakkan duduknya.
“Ekhem … “ ia berdeham demi menyembunyikan salah tingkahnya.
Tanpa ragu Athalia langsung menganggukkan kepala. Lantas bibirnya mulai menceritakan apa saja yang terjadi hari ini, tentang Dirly, tentang Dean yang memanggilnya ke ruangan pribadinya di lantai tujuh, juga tentang bonus yang diberikan oleh lelaki itu. Narsih kagum pada Athalia, sebab ia telah menyelamatkan nyawa seorang anak kecil. Hal itu membuat Narsih bangga dan memeluknya dengan erat.*** Mahesa duduk di meja kerjanya. Ia sangat dipusingkan dengan setumpuk pekerjaan yang seakan tak habis-habis. Kadang ia memijit keningnya pelan, berusaha mengusir denyut yang membuat pening di sana. Atau meneguk secangkir kopi, namun ia tetap tak bisa untuk tetap fokus pada pekerjaannya.Ini sangat-sangat menyebalkan!Mahesa membuang napas pelan, pada akhirnya ia meletakkan bolpoint di atas meja dan menepikan punggungnya pada sandaran kursi. Sebenarnya, yang membuatnya tak bisa fokus bukanlah semata-mata karena rasa pusing di kepala, tetapi ada perasaan gusar yang terus merundung hatinya.Sem
Mungkin karena wanita itu sudah memiliki banyak koleksi make up dari brand-brand ternama.Syukurlah, itu berarti Mahesa bisa secepatnya kembali ke kantor.Saat mereka sedang melangkah, tiba-tiba langkah Mahesa terhenti saat ia melintasi toko buku.Di sana, ada sebuah rak yang berdiri, memamerkan berbagai macam judul dari novel-novel karangan penulis terkenal.Namun, mata Mahesa tertuju pada satu novel yang tak asing bagi penglihatannya. Mahesa mendekat, mengambil buku itu dan memperhatikannya dengan lekat.“Aku merasa aneh saat melihat novel ini. Sepertinya aku pernah membacanya, tapi di mana?” gumam Mahesa dalam hati.Penasaran, Mahesa membalikan buku novel itu hingga ia bisa membaca bagian blurbnya. Di sana tertulis bahwa novel ini menceritakan tentang seorang gadis pembantu bernama Tatiana yang jatuh cinta pada Alex—tuannya sendiri.“Tatiana … “ gumam Mahesa pelan.Mahesa terkejut saat
“Dirly itu masih kecil, tapi kadang dia suka berpikir kritis. Dia mengerti kalau ibunya sudah tiada, tapi saat melihatmu, dia merasa melihat ibunya secara nyata. Aku tidak tahu, apakah aku harus merasa sedih atau bahagia.” terdengar hembusan napas berat dari mulut Dean.Athalia tahu ini sangat berat.Tumbuh besar tanpa sentuhan tangan seorang ibu memang akan sangat terasa menyedihkan. Di saat orang lain akan terlelap setiap malam dalam dekapan ibu mereka, mungkin Dirly adalah salah satu anak tidak beruntung yang tak memilikinya.Seketika perasaan bersalah menyergap hati Athalia. Mengapa wajahnya bisa mirip dengan Alma, hingga menjadi menyakiti hati bocah mungil yang tak berdosa itu. Andai Athalia boleh memilih, ia tak ingin wajahnya mirip dengan ibu Dirly.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak tahu kalau ternyata wajahku sangat mirip dengan ibunya Dirly. Aku tidak bermaksud untuk—““Tidak apa, ini bukan salahmu. Hanya saja &hel
Pagi ini, Mahesa masih sangat mengantuk. Ia tak bisa tidur semalaman.Tepatnya, Mahesa memang tak pernah bisa tidur nyenyak jika malam hari. Sebab otak dan hatinya selalu saja meresahkan hal yang sama.Yaitu, tentang gadis yang selalu berkelebat dalam benaknya. Entah siapa dia, sampai detik ini tanya itu masih menggantung di atas kepala.Mahesa belum juga menemukan jawabnya."Eenghhh ... "Mahesa bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam, saat ia merasa ada yang menyentuh perutnya dan mengusapnya dengan gerakan seringan bulu.Ah, pasti ini hanya mimpi.Tapi, semakin lama, tangan itu bergerak naik dan berhenti di dadanya yang bidang.Merasa ada yang janggal, Mahesa pun tak tahan untuk membuka mata. Lantas ia terkejut melihat pemandangan di depannya."Kiran?! Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku?!" Mahesa beringsut duduk, menatap Kiran yang duduk di sampin
Malam ini, Dirly sedang cemberut di atas ranjang kecil yang dibalut oleh sprai tayo, kartun kesukaannya.Sambil menunduk, Dirly menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.Kedua tangannya saling bertaut di atas paha. Ia sedang marah pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan Dean, ayahnya."Lihat saja nanti, kalau Papa datang ke kamarku, aku tidak akan mau bicara dengan Papa," cetus Dirly dengan raut sebal. Lalu melipat kedua tangannya di depan dada.Kemarahan yang dirasakan oleh bocah berusia enam tahun itu awalnya bermula saat Dean mencoba memberinya pengertian sekali lagi saat di mobil, kalau Athalia bukan lah ibu kandungnya.Dan ucapan itu membuat hati Dirly merasa sakit, tentu saja."Mana Papa? Seharusnya Papa sudah datang ke kamarku sekarang."Dirly menggaruk kepalanya yang tak gatal. Matanya melirik ke arah daun pintu kamar yang tertutup.Dirly berusaha menajamkan pandangan denga
Tak banyak bertanya lagi, sopir itu pun mengangguk dan menghentikan laju mobilnya.Dirly melirik ke arah Athalia yang membuka pintu mobil dan turun, lalu wanita itu berjalan pergi entah ke mana.Kening Dirly sempat berkerut dengan benak yang bertanya-tanya."Tante Athalia mau beli apa?" gumamnya dalam hati.Pertanyaan itu langsung terjawab ketika tak berselang lama, Athalia kembali masuk ke dalam mobil."Sudah selesai, Nona?""Sudah, Pak. Ayo jalan lagi!"Dirly kembali menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Athalia. Tapi, meski begitu, tadi ia sempat melihat benda apa yang Athalia bawa masuk ke dalam mobil."Ice cream?" Athalia membeli dua cup ice cream dan sekarang ia sedang menyodorkan salah satunya pada Dirly.Dirly menoleh, sejenak menatap pada ice cream di tangan Athalia.Tapi kemudian matanya terangkat hingga bertemu dengan kedua bola mata Athalia yang cokelat muda
Tawa Mahesa yang berderai itu, seakan menular pada Dean.Dean terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Dia pasti sangat menggemaskan," ucap Mahesa mengenai Dirly.Dean mengangguk setuju."Ya, begitulah. Kata orang, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Dean berseloroh.Mahesa kembali tertawa, kali ini sambil memijiti keningnya.Dean meraih air minum di samping piringnya, kemudian meneguknya."Oh ya, bagaimana kabar istrimu? Aku belum pernah bertemu dengannya karena waktu itu tidak bisa hadir di pernikahan kalian."Pertanyaan Mahesa berhasil membuat gerakan meneguk Dean terhenti.Dean menjauhkan gelas dari bibir, matanya menatap nyalang, lalu senyum tipis penuh kekecewaan tersungging di bibirnya."Alma ... Dia sudah meninggal setelah melahirkan Dirly," jawab Dean.Terlihat raut terkejut di wajah Mahesa."Maaf, aku tidak tahu kalau-""Bu
"Apa, Pa?" Dirly bertanya, menatap pada kedua bola mata Dean dengan lamat.Dean tersenyum, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan menunjukkannya pada Dirly."Surprise!" seru Dean sambil mengangkat benda itu dengan kedua tangannya.Dirly tak bisa berkata-kata. Kejutan dari Dean membuatnya takjub.Bagaimana tidak? Dean memberikan sebuah pigura foto yang menampilkan foto Dirly saat masih bayi, lalu diedit dan dibuat seolah Dirly sedang digendong oleh Alma, ibunya."Ini Papa yang membuatnya sendiri?" tanya Dirly, menerima bingkai foto itu dari tangan Dean, lalu mengamatinya dengan menahan tangis.Dean mengangguk. "Ya, Papa yang membuatnya. Apa kau suka?"Dirly mengangguk cepat, mengusap sudut matanya dengan ujung jari. "Sangat. Aku sangat menyukainya. Ini aku waktu masih bayi, dan ini Mama sedang menggendongku. Papa, i'm happy. Thank you so much!" Dirly mendekap foto itu ke dadanya, lalu ia men