Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya.
"Alea ..."
Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh.
'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang.
Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung.
Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal.
"Sayang, apa kamu tidak merindukanku?"
Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit paksaan. Carlos mengecupi bahu Alea yang terbuka.
"Pergi! Jangan menyentuhku!"
Alea menolak perlakuan Carlos. Dia bangkit hendak menjauh. Namun, Carlos lebih dulu menarik tangannya.
"Sayang! Tenanglah! Aku hanya ingin memelukmu saja."
Carlos memeluk Alea dengan lembut, namun Alea memberontak. Dia menangis dan menjerit histeris. Bahkan, Alea mulai memukuli suaminya.
"Ada apa ini?"
Fiona datang. Kaget melihat Alea yang mengamuk. Seingatnya, Alea sudah meminum obat yang dia berikan. Seharusnya, saat ini Alea sedang terkapar dan siap menerima Carlos.
"Aku yang seharusnya bertanya, kenapa Alea masih seperti ini?" bentak Carlos seraya mendelik.
"Aku ... Aku–."
"Dasar bodoh! Cepat bantu aku menenangkannya!"
Fiona menghampiri Alea yang mengamuk. Dia berusaha memegang tangan Alea, sedang Carlos memegang kaki Alea yang terus menendang tanpa arah.
"Cepat! Ambilkan obat untuknya!" titah Carlos.
Fiona melepas tangan Alea. Sontak, Alea memukul dan mencakar wajah Carlos. Membuat pria itu geram. Carlos mengambil paksa bantal di tangan kanan Alea, kemudian melemparnya ke sembarang arah.
"BAYIKU!" jerit Alea. Dia berusaha mengambil bayinya, namun Carlos lebih dulu menindih tubuhnya.
Alea semakin berontak dengan menendang dan memukul suaminya, namun Carlos malah bernafsu merasakan Alea yang terus menggeliat di bawahnya.
"SHIT!" umpat Carlos saat rontaan Alea tanpa sengaja melorotkan bagian atas gaun tidur yang dipakainya hingga memperlihatkan bagian atas dadanya.
"Fiona, mana obatnya?" teriak Carlos. Dia membungkuk. Membungkam mulut Alea dengan bibirnya. Carlos melumat kasar bibir istrinya.
Fiona datang sambil membawa sebutir obat. "Ini obatnya."
Carlos melepas pagutannya. Dia menyambar obat yang Fiona pegang, kemudian memasukan obat itu ke dalam mulutnya. Carlos kembali melumat bibir Alea. Memindahkan obat yang tertempel di lidahnya.
Argh!
Carlos mengerang saat Alea menggigit lidahnya. Sontak, dia melepas pagutannya."SIALAN!" bentak Carlos.
Bug!
Alea mendorong tubuh Carlos, lalu menendangnya. Dia meludahkan obat yang hampir tertelan. Kemudian berlari menuju bantal yang teronggok di atas lantai."Bayiku!"
Alea menimang bayinya seraya mendekapnya dengan erat. Dia berjalan menuju pojok ruangan, lalu duduk seraya bersenandung untuk bayinya.
"Brengsek! Semua gara-gara kamu, kenapa kamu memberikan bantal itu pada Alea! Lihatlah, sekarang dia lebih menyayangi bantal itu dari pada aku." Carlos menyalahkan Fiona yang menurutnya tidak becus mengurus Alea. "Dasar tidak berguna!"
Carlos beranjak dari tempat tidur. Dia berjalan menuju kamar mandi. Carlos hendak berkumur untuk menghilangkan darah di mulutnya. Alea mengigit lidahnya hingga berdarah.
Fiona menggeram. Dia menatap Alea dengan nyalang. Seharusnya, malam ini menjadi malam yang indah untuknya dan Carlos. Tapi, Alea malah menghancurkan rencananya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, Fiona berjalan mendekati Alea. Dia menjambak rambut Alea, lalu melayangkan pukulan ke pipinya.
"Dasar wanita gila! Beraninya kamu merusak malamku dengan Carlos."
Alea berontak berusaha melepaskan diri. Namun, Cengkraman tangan Fiona di rambutnya begitu kuat.
"Lepas! Sakit!" berontak Alea.
"Sakit? Ini baru sakit."
Dengan sekuat tenaga, Fiona melempar Alea hingga tersungkur di lantai. Nampak, bantal yang di pegangnya terlepas dari tangan.
"Kamu menganggap benda ini sebagai anakmu bukan?" Fiona mendekati bantal yang sebelumnya Alea pegang. Dia tersenyum miring. "Lihatlah! Aku akan membunuh anakmu di depan matamu sendiri."
"Tidaaak!" Alea menjerit saat Fiona menginjak-injak bantalnya. Dengan penuh amarah, Alea berlari menerjang tubuh Fiona. "Dasar penyihir!"
Alea memukul Fiona dengan membabi buta. Tidak peduli Fiona meringis kesakitan.
"Hentikan! Dasar wanita gila!"
Fiona yang belum siap menerima serangan hanya bisa menghindar sambil berusaha menangkis pukulan Alea. Fiona terus berjalan mundur. Tanpa disadari, dia menginjak kemeja lusuh yang tadi menyelimuti bantal milik Alea.
BRUK!
ARGH!Fiona jatuh tersungkur ke atas lantai. Matanya terbelalak melihat darah segar yang keluar dari selangkangannya."CARLOS! Bayi kita!"
Mendengar jeritan Fiona, Carlos bergegas keluar dari kamar mandi. Dia kaget melihat Fiona yang terlentang di lantai dengan bagian bawahnya bersimbah darah.
"Apa yang terjadi?" Carlos berlari menghampiri Fiona.
"Dia mendorongku!" tuduh Fiona seraya menunjuk Alea yang berdiri mematung sambil menatapnya.
"Alea kamu–."
HAHAHA!
Carlos tercengang melihat Alea tertawa seraya menatap Fiona dengan tatapan puas.Tatapan Alea beralih pada Carlos, mata mereka bertemu. Carlos terkesiap melihat kebencian dan amarah dalam sorot mata istrinya. Tatapan Alea nampak menakutkan. Tidak ada sedikitpun penyesalan karena sudah membuat Fiona terluka. Hanya terlihat amarah dan kebencian.
"Bayimu yang akan mati, bukan bayiku," ujar Alea di sela tawanya.
Alea membungkuk mengambil kemeja lusuh yang Fiona injak, lalu berjalan menuju bantal miliknya. Alea memasangkan kemeja itu pada bantal tersebut.
"Orang jahat harus mendapatkan balasan setimpal. Benarkan, sayang?" tanya Alea pada bayinya.
Fiona geram di sela kesakitannya. Tidak terima Alea baik-bain saja sedang dirinya terluka. Fiona mengeluarkan botol kecil dari sakunya. "Carlos! Suntikan ini pada Alea. Dia akan hilang kendali tanpa ini."
"Obat apa ini?" Carlos memperhatikan botol kecil yang dipegangnya.
Fiona terdiam sejenak. Obat yang Fiona berikan adalah halusinogen. Jenis psikotropika yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat mengubah perasaan, pikiran dan sering kali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Dia memberikan obat itu pada Alea agar Alea tersiksa dengan halusinasinya sendiri.
"Obat penenang dari dokter. Cepat berikan Carlos! Sebelum Alea melukai dirinya sendiri," jawab Fiona seraya meringis kesakitan.
Mendengar itu, tanpa ragu Carlos mengambil cairan dalam botol dengan suntikan. Kemudian menghampiri Alea yang berdiri di dekat jendela. Carlos meraih tangan istrinya.
Alea pun histeris melihat jarum suntik yang di pegang suaminya.
"Tidak! Jangan! Aku tidak mau disuntik!" Alea mendorong Carlos. Dia ketakutan.
"Tenang sayang, obat ini akan membuatmu lebih nyaman."
Carlos memeluk Alea dengan satu tangan. Namun, Alea terus memberontak. Saking seringnya disuntik, Alea ketakutan jika melihat suntikan. Dia terus berontak walau Carlos berusaha menenangkannya.
"Carlos, suntik saja dimana pun! Kita harus segera ke rumah sakit, sepertinya aku akan melahirkan!" teriak Fiona tidak sabar. Merasakan rasa sakit di perutnya.
"Tidak! Lepas!" Alea memberontak.
Carlos melirik Fiona yang terus mengeluarkan darah. Tanpa ragu, dia menancapkan jarum suntik ke lengan atas istrinya.
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."