Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaankuChapter I"Mulai hari ini aku talak kamu, dan terhitung mulai sekarang kau bukan istriku lagi!" suara lantang, tangan mengepal dan muka memerah saat suami tercintaku melontar kata talak untuk wanita yang sudah tiga tahun menemaninya."Tidak Mas, ini hanya salah paham harusnya kamu dengerin dulu penjelasan aku." berusaha meyakinkan Mas Reno, sembari memegang tangannya berharap dia mau mendengarkan penjelasanku."Cukup Rinjani, tak perlu kau menjelaskan apa-apa lagi. Apa yang ku lihat di restoran tadi sudah cukup jelas, kau berselingkuh di belakangku!" tanganku di sentak hingga terpental ke tempat tidur."Tega kamu, Mas!""Kau dan Ibumu ternyata sama, sama-sama tukang selingkuh." cecarnya."Hei, jaga ucapanmu Mas, urusan Ibuku itu bukan urusanmu!" hardikku.Dia berlalu keluar kamar dan pergi entah kemana.Aku membeku disudut ranjang, bulir- bulir bening mulai membasahi pipi. Suami yang aku cintai sekarang sudah menalak wanita yang katanya paling dia s
#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaankuCharter II***"Astagfirullah Mas, ini anakmu, Rinjani anakmu." rintih Ibu."Aku tak percaya omong kosong kau Ratih, bisa saja kau membohongiku lagi." serang Ayah.Ayah, jangan Ayah jangan. Jangan pukuli Ibu.. Ibuuuuu... Kriing... Kriing... Kriing...Jam weker berbunyi dengan sangat keras. Aku terjaga. Astagfirullah, lagi dan lagi aku bermimpi. Mimpi yang pernah nyata sebelumnya. Setelah menunaikan kewajiban Sholat Subuh, ku ambil gawai di atas nakas, menghabiskan waktu menunggu pagi menjelang. Banyak icon aplikasiku yang berwarna merah, tetapi mata ku tertuju pada icon amplop surat ada angka tiga berwarna merah, pertanda ada tiga pesan masuk. Ini sungguh hal yang tak biasa. [Hai Rinjani, selamat ya atas status jandamu. Saya bahagia melihat kau menderita] [Loh, kok pesanku tak dibalas? Hmm, pasti lagi nangis darah ya?][Hancurkan kau sekarang, Rinjani Haseena Putri! Hahahaha]Nomor yang tidak dikenal? Siapa lagi ini? Kenapa dia tahu kondisi ruma
Matahari Sabtu kali ini masih malu-malu memancarkan sinarnya. Walau sudah pukul 11.00 siang namun hawanya masih seperti pukul 07.00 pagi. Weekend pertama tanpa Mas Reno. Entah dimana dia, setiap detik rasanya masih memikirkan lelaki berhidung mancung itu.Hari ini malas sekali rasanya berkegiatan. Ku ambil gawai di atas nakas, yang dari semalam sepulang kerja tak kusentuh. Ku buka aplikasi icon berwarna hijau sambil berselonjoran di tempat tidur, banyak chat yang masuk mulai group SD, SMP, SMA, kuliah, sampai group kantor, dan ada beberapa chat pribadi. Tetapi, mata ku tertuju pada pesan dari sosok yang selalu dikangenin. Dia Reisya.[Rin, Sabtu ini ada acara nggak? Ketemuan yuk, mumpung aku lagi di Jakarta!] Duh Reisya, kok kamu selalu ada di saat yang tepat sih. Ku balas pesan darinya.[Haa! Lu di Jakarta? Oke, kita ketemunya di tempat biasa aja yah Rei, sekitaran pukul 14.00 aja ketemuannya][Iye, sampai ketemu nanti yah] balasnya lagiReisya adalah teman seperjuanganku sewaktu ma
"Deska." dengan murka, kutarik tangan yang sempat mengulur tadi, buat apa juga bersalaman dengan orang seperti dia."Rinjani, kok kamu di sini?" keningnya mengerut rupanya Deska juga terkejut melihat aku berdiri di depannya dan dia seperti kebingungan mengapa aku ada bersama Reisya.Reisya yang melihat ekspresi ku dan Deska pun ikut heran, "Kalian sudah saling kenal? Kok bisa?" tampak bola matanya melirik ke arah ku dan Deska."Rei, gue pamit ya ada urusan penting." kutarik kasar tas di atas meja lalu pergi meninggalkan mereka."Rin, Rinjani, tunggu Rin.""Lepasin aku Rei." Reisya yang sempat menahan dengan memegang lengan dan terpaksa ku sentak.Ada perasaan bersalah sama Reisya karena meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Tapi menurutku, ini bukan waktu yang tepat. Tidak tahu juga apa yang terjadi di antara Reisya dan Deska. Semoga mereka baik-baik saja.Ku harap Reisya mengerti dengan posisi ku walaupun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, mengapa harus Deska
Kutarik nafas lalu dihembuskan perlahan, mengatur emosi yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Permasalahan yang ada harus diselesaikan satu per satu. Tak perlu lagi aku meratapi, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Dan mungkin ini jalan terbaik. Mencoba ikhlas dan rela tentu takkan mudah. Tapi kalo menurut Yang Kuasa aku mampu menjalani, ya sudah berbesar hati saja. Aku kuat demi diri sendiri dan Ibu, itu saja saat ini.Ku pandangi satu per satu foto yang berderet di atas nakas. Sungguh indah memang untuk dikenang, tak ada yang menyangka rumah tangga yang ku harap hanya sekali seumur hidup berakhir dengan persoalan yang menurutku itu konyol.***Malam harinya ku kemas satu per satu baju dan perlengkapan pribadi, rasanya semakin sesak jika aku tetap tinggal di rumah penuh kenangan ini. Sewaktu mau menutup pintu kamar. Tiba-tiba bell berbunyi, sembari ucapan salam dari luar."Assalamualaikum, Rinjani, buka pintunya!" suara yang tak asing lagi, dia
Aku menelusuri lobi dengan pelan, menuju arah tempat duduk Rinata dengan Mas Reno tadi. Kali ini lobi sudah agak mulai sepi. Kulihat jam dinding yang menempel di dekat meja receptionist tadi, rupanya sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Wajar saja sudah mulai agak sepi.Ku putar bola mata dan badan memastikan satpam yang menyergapkan ku tadi juga tidak berada di sekitar lobi. Kalau sampai dia melihat ku lagi bisa kacau semua rencanaku. Dan, keadaan aman sesuai dengan yang aku harapkan.Aku berdiri di dekat tonggak, di tonggak yang sama. Kujulurkan kepala perlahan dan ternyata benar mereka masih ada di sana. Tapi yang ku lihat hanya Mas Reno dan seorang perempuan sepertinya masih perempuan yang tadi kulihat, karena pakaiannya sama persis. Tetapi aku tak mengenal sosok perempuan berambut panjang itu.Mas Reno sedang merangkul perempuan itu, terlihatnya mesra sekali. Dadaku terasa sesak, nafasku mulai tak beraturan, dan ingin sekali ku menampar mantan suamiku itu. Beranjak dari posisiku b