"Apakah ini alasanmu menolakku," desis Rey, jari-jari tangannya memutih mencengkram erat setir.
"Kamu harus jelaskan semua ini, Lara Angeswari!"Bagaikan elang yang mengintai mangsanya, tatapan Rey tak lepas dari sepasang manusia yang sedang berbicara, sesekali terdengar gelak tawa di antara mereka yang terlihat bahagia sekali.Badai berdesakan di dada Rey seakan berebutan untuk keluar. Tanpa kedip, gerak gerik mereka tak lepas dari pantauannya. Tubuhnya menegak ketika melihat Lara berdiri lalu menuju ke dalam, mata Rey mengikutinya, terlihat kalau Lara akan menuju kamarnya.Rey segera keluar dari mobil, menyebrangi jalan menuju ke rumah Lara. Tak menunggu lama, dengan gerakan tubuhnya yang sudah terlatih, dengan gesitnya Rey memanjat ke lantai dua rumah itu, hingga sampai di jendela kamar Lara.Tak sulit bagi Rey untuk membuka paksa jendela, lalu dengan segera menyelinap masuk. Terdengar Lara yang masih berbincang di depan pintu. Tak lama pintu itu terdorong dari luar, setengah terbuka, namun belum nampak ada yang masuk. Rey berdiri di balik pintu itu.Lara melangkah masuk, menutupnya kembali."Aakgh ... tool ... mmph ...." Jantung Lara berpacu dengan cepat saat menyadari kehadiran orang lain di kamarnya yang langsung membekap mulutnya. Dengan sekuat tenaga Lara memberontak."Ini aku!" bpisik Rey."Mas Rey?!"Dengan perlahan Rey membalik tubuh Lara. Tiba-tiba tubuh gadis itu hampir luruh ke lantai, namun dengan segera Rey menangkapnya."Mas bikin aku hampir mati!" Lara memegang dadanya, degub jantungnya masih berdetak tak normal.Perlahan Rey mengukungnya di balik pintu."Siapa lelaki itu," bisik Rey dengan nada mengintimidasi, matanya berkilat. Dapat Lara rasakan sisi Rey yang berbeda, tak lagi lembut seperti biasanya."A-apa maksudmu, Mas?" Napas Lara masih terdengar tak beraturan. Ia bergerak ke sana ke mari berusaha membebaskan diri dari kukungan Rey."Apa dia alasanmu menolak Aku?!""Sakit mas!" Cengkalan di tangan Lara membuatnya kesakitan."Jawab sayang, apa dia yang membuat kamu menolak , Mas?" bisik Rey lembut namun penuh tekanan."Siapa yang, Mas, maksud?" Tangan Rey menekan kepala Lara pada satu sisi agar dapat menatapnya."Lelaki yang bersamamu di teras.""Dia sepupuku Mas, baru pulang study dari London." Rey menelisik mata indah itu, tidak ada kebohongan di sana.Rey mengusap wajahnya kasar melepas kungkungannya."Maafkan aku,""Mas cemburu?" tanya Lara tak percaya.Gadis cantik itu menatap penuh selidik pada lelaki di depannya. Setahunya Rey bukan tipe pencemburu dan sangat percaya padanya, tidak pernah meragukan kesetiaannya.Rey kembali mendekat. "Menurutmu? kamu menolakku lalu tiba-tiba aku melihatmu dengan laki-laki lain, apa yang harus aku pikirkan?""Mas, tau aku bukan tipe seperti itu, aku tidak akan pernah berkhianat pada mas." Walaupun sedikit tersinggung karena Rey meragukannya, namun Lara mencoba untuk mengerti perasaan lelaki di depannya. Tangan Lara terulur mengusap wajah kekasihnya itu, usapannya mampu mengembalikan kelembutan di wajah itu."Aku sangat mencintai mas, jika semudah itu aku bisa mengalihkan perasaanku pada orang lain, tak mungkin aku bertahan dengan perasaan was-was tiap saat, menanti kepulangan, Mas." Kedua mata itu bersirobok, saling menatap dengan kerinduan."Kenapa, Mas, masuk seperti pencuri gini?" Lara mencoba mengalihkan pembicaraannya.Suasananya terasa berbeda saat mereka berdua saja di dalam kamar seperti saat ini. Membuat hatinya berdesir saat bertatapan dengan Rey."Aku kejar pencuri," balas Rey, yang membuat mata indah itu membulat sempurna."Pe-pencuri? Pencurinya ke sini?!" Lara terlihat syok."Iya, pencuri hatiku, pencuri waktu tidur malamku," ujar Rey sambil mengangkat tubuh Lara tinggi-tinggi, lalu menggelitik perut Lara dengan ciumannya. Lara tertawa, berusaha melepas diri namun takut terjatuh, hanya bisa bertahan dengan memeluk kepala Rey."Geli, Mas," bisik Lara manja di sela tawanya.Rey perlahan menurunkan tubuh Lara, sambil mendusel dan mencium perut hingga leher Lara. Hingga Lara berpijak pada lantai.Mendekatkan wajahnya, menatap lekat bibir ranum yang merah alami terlihat seksi dan menggoda. Meraih tengkuk gadis itu lalu mengulum benda kenyal itu disesap dengan sepenuh hati. Lama mereka saling menyalurkan rasa."Jagalah dirimu baik-baik, besok mas akan pergi ..." bisik Rey di tengah sesapannya. Napasnya memburu, tak bedanya dengan Lara dadanya terlihat membusung mencari pasokan oksigen."Lagi?" Lara menatap tak percaya, menekan dada Rey menjauh.Matanya mulai berembun, tiap kali Rey pamit untuk bertugas ada yang selalu terasa menghilang di sudut hatinya. Dan sudah pasti tidur malamnya tidak akan nyenyak memikirkan keselamatan Rey."Kapan kembali ..."Rey menggeleng seperti biasanya."Aku hanya pergi tidak tau kapan kembali, kamu tau aku tidak bisa memberitahukan hal itu padamu."Hembusan napas Lara terdengar berat, air matanya lolos begitu saja. Tubuh itu terguncang. Rey merangkulnya membawanya dalam pelukan."Bagaimana aku bisa hidup denganmu Mas, sesaat saja aku merasakan kehadiranmu. Tiap saat hanya kesedihan yang terasa, sudah berkali-kali tapi hati ini belum juga terbiasa.""Maafkan aku karna tidak bisa menjadi orang yang selalu ada di sampingmu." dengan lembut Rey menyusut bulir bening yang menggenang."Mas sangat mencintaimu sayang."Dipeluk erat tubuh Lara, merengkuhnya dalam kelembutan, seakan tidak ingin lepas lagi. Menghujani wajah cantik itu dengan ciuman, setengah menjongkok diabsennya tiap inci kulit putih bak pualam itu hingga merambat turun ke leher jenjang yang mulus tanpa noda setitik pun."Maaass ... " desah Lara tertahan, mendongak memejamkan matanya.Terdengar suara langkah kaki mendekat. Lara mendorong Rey, wajahnya terlihat panik. Dadanya turun naik menahan napas yang seolah-olah mau meledak.Tok ... tok ... tok"Sayang, Adrian nunggu kamu tuh."Rey menggeleng, meletakan telunjuknya di bibir Lara. Matanya menatap memberi syarat."Naaak, kamu udah tidur?" Lagi-lagi terdengar bunyi ketukan di pintu. Lara diam seribu bahasa. Tak lama terdengar langkah kaki yang menjauh."Jika aku tidak turun pasti nanti kakak yang kembali dan berusaha masuk ke sini mas," bisik Lara."Baiklah, turunlah sebentar jangan lama-lama mas tunggu kamu."Lara hendak keluar tapi tangannya ditarik kembali. Rey menutup pintu."Pakailah sesuatu yang bisa menutup tubuhmu, terlihat terlalu seksi."Mata lara membulat."Mereka keluargaku, Mas!""Tapi bukan dari rahim yang sama kan, bukannya dia itu yang anak adopsi Pamanmu?"Lara menarik napas dalam-dalam, dapat di rasakan kecemburuan yang tak masuk akal. Dengan langkah gontai Lara menarik cardigannya yang tergantung."Sudah?" tanya Lara.Rey mendekat, membetulkan letak cardigan yang dipakai asal, lalu mengancingnya dari atas sampai bawah."Cepat kembali sayang, Mas tunggu," ucapnya sambil mendaratkan kecupan di dahi Lara."Iya." Lara berjinjit membalas kecupan pada pipi Rey, lalu bergegas turun.Rey mondar mandir di dalam kamar Lara, sedikit duduk di ranjang tak lama berdiri lagi, duduk lagi.Melirik benda yang melingkar di tangannya sudah tiga puluh menit namun Lara belum juga muncul. Sedikitpun dia tak rela untuk membiarkan kekasihnya itu bersama lelaki lain.Rey membuka pintu dengan hati-hati, mengintip ke bawah lewat celah yang terbuka namun tidak dapat melihat keberadaan Lara.Sayup terdengar suara Lara di antara suara lainnya.Sebaliknya Lara yang berada di bawah sesekali mendongak ke atas, wajahnya terlihat gelisah. Kuatir kalau Rey tiba-tiba muncul dari atas.Sekalipun Rey sudah dekat dengan keluarganya, namun rasanya tidak etis jika seorang lelaki muncul dari dalam kamar. Apalagi semua keluarga besarnya lagi berkumpul."Kamu baik-baik saja?" tanya Adrian."Nngg ... aku seperti tidak enak badan. Mungkin kecapaian tadi banyak kerjaan," dusta Lara sambil meremas-remas tengkuknya, yang memang terasa pegal tiba-tiba. Entah karena kuatir keberadaan Rey diketahui atau karena memang benar-benar capek."Ya udah, istirahat aja daripada tambah parah nanti. Ayo aku antar ke atas.""Ooo ... ti-tidak usah, aku bisa sendiri kok," tolak cepat membuat adrian terbengong menatapnya."Ma-maksud aku, aku masih mau ke kamar mama dulu mau cari minyak angin.""Ok, baiklah."Dengan cepat Lara berdiri pamit pada semua orang di situ. Melangkahkan kakinya sambil sesekali menoleh ke belakang memastikan Adrian tidak mengikutinya.Perlahan Lara membuka pintu kamarnya."Mas," panggil Lara dengan berbisik."Aku di sini sayang." Rey langsung menyergap tubuh Lara, menarik pinggang ramping itu merapat ke tubuhnya. Sambil tangan sebelahnya langsung mengunci pintu.Jemari tangannya lincah membuka kancing cardigan Lara. Melepasnya, lalu membuang ke sembarang arah. Dengan mudahnya menggendong tubuh Lara, perlahan dibaringkan di ranjang."Malam ini kamu milikku sayang."Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p