Share

Bab 5 : Amanat

Rey melangkah menjauh, punggung tegap itu menghilang dari pandangan Lara yang masih menatap kosong.

Pulang dengan membawa luka yang mulai merajam hatinya, yang semula bersemi karena cinta. Pulang dalam kesendirian. Begitu inginnya menjadikan kekasihnya sebagai tempat untuk pulang, tetapi justru dia menutup pintunya.

Sesaat terdengar bunyi motor yang menghilang di kegelapan malam. Lara tersadar dari lamunannya, dengan cepat dikejar bayangan lelaki itu.

"Maaasss ... " Suaranya terdengar memecah keheningan malam, berharap Rey mendengar dan kembali .

Sunyi ... tak terdengar suara apapun. Langkahnya gontai kembali ke dalam,. Terduduk menatap titik noda darah di lantai putih itu. Diusap lalu dibersihkan, menatap noda merah yang telah berpindah ke tangannya, tangisnya pecah.

"Selamanya aku akan tetap mencintaimu mas ..." gumam Lara lirih, sambil membawa genggaman tangan yang bernoda itu ke dadanya.

***

Rey membersihkan darah di tangannya. Menarik napas perlahan, menghempaskan tubuhnya di sofa, saat ini dia tidak menuju apartemennya tapi apartemen yang di tinggali Ambar dan Nindy,

Dia harus memberitahu mereka biar tidak terlalu lama meninggalkan Panti. Sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Kekecewaan mendalam tergambar dari raut wajahnya. Rahangnya mengeras, menekan rasa yang tercabik, terbayang wajah cantik Lara saat matanya terpejam,

wajah yang membuatnya terpesona untuk pertama kalinya pada seorang wanita. Wajah yang membuatnya merindukan tempat untuk pulang, tempat untuk berbagi. Tempat untuk mengukir masa depan.

Gadis polos dengan segala daya tariknya telah mampu mengalihkan dunianya, tiga tahun lalu, hingga kini. Gadis yang dia yakini sebagai tulang rusuknya.

Ambar sejak tadi mengendap karena mendengar bunyi kode Sandy pada pintu. Dalam pikirannya takut ada orang jahat yang memaksa masuk. Terbengong saat melihat Rey yang sedang terbaring di sofa.

"Kamu bikin Ibu kaget, Nak" sapa Ambar, membuat Lelaki itu mendongak. Wanita paruh baya itu duduk dihadapan Rey.

"Belum tidur, Bu?"

"Pintunya?"

"Ooo, saya punya salah satunya Bu," ujar Rey sambil menunjuk kartu yang terletak di meja, yang selalu dibawa dalam dompetnya.

"Ada apa?" tanya wanita yang rambutnya sebagian sudah mulai memutih. Dia tahu jika Rey sedang tidak baik-baik saja.

Rey bangun lalu memperbaiki duduknya.

"Lara masih bimbang Bu, belum ingin menikah." Mata tua itu memincing. Ditatapnya raut sendu itu.

"Kenapa, apa ada masalah?"

Rey menggeleng, di usap wajahnya. "Lara tidak siap untuk menjadi istri seorang prajurit, Bu." Raut sedih menggelantung di wajah ganteng itu. Sudah menjemput Ambar malah tidak jadi menikah.

Wanita tua itu mengurut dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri, dapat dirasakan luka yang dirasakan oleh anak kesayangannya itu.

"Apa Ibu mau langsung pulang atau mau jalan-jalan dulu di sini?"

Wanita itu terhenyak dari lamunannya, sesak terasa di dada. Sesaat menatap anak kecil yang telah berubah menjadi lelaki dewasa itu. Anak kecil yang dulu menangis di simpang jalan, di tengah hujan lalu dibawanya pulang.

Jejak orang tuanya menghilang hanya terselip sebuah brevet Charly di bajunya, mungkin sengaja ditinggalkan. sejak saat itu Rey menganggapnya sebagai Ibunya. Ditatapnya lelaki yang diberi nama Charly Reynhard itu. Ambar tahu jika Rey berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia menyembunyikan kekecewaan yang mendalam di raut wajahnya.

"Kamu pasti banyak kerjaannya, biar kami langsung pulang saja dari pada merepotkan."

"Kalo Ibu mau biar saya antar jalan-jalan dulu, mau beli apa gitu, buat dibawa pulang ke malang."

"Kalo kamu tidak repot, besok antar adekmu beli perlengkapan sekolah untuk anak-anak di Panti."

"Kalo saya tidak sempat nanti Alex antar Bu, tiga hari lagi saya sudah tugas."

***

Rey hendak membuka pintunya tapi sebelumnya diintip dari lubang kecil pintu itu. Terlihat Alex sedang berdiri masih dengan pakaian kantornya.

"Hai bro, makin ganteng aja, aura-aura orang yang mau menikah pasti beda ya," sapa Alex sambil meninju perut Rey yang terlihat sixpack dibalik kaos putih ketat yang mencetak tubuhnya.

"Kamu semakin menyatu dengan pakaian kerja seperti itu," gurau Rey.

"Mau gimana lagi Letnan, ini sudah tugasku sekarang."

"Gimana apa ada perkembangan."

"Sudah aku kirim datanya. Ada beberapa transaksi dengan jumlah yang tidak wajar, dengan nama yang berbeda. Sepertinya mereka melakukan pencucian dengan cara menyebarkan dananya ke nama yang berbeda, biar tidak terendus dan ada salah satu transaksi ke wilayah timur, seperti yang kita curigai. Datanya sudah aku kirim ke sana, agen kita di sana sedang mengintai gerak gerik mereka, entah mereka hanya sebagai penyokong atau otak dibalik semua pasokan senjata ilegal." Alex menghentikan pembicaraannya, memandang lekat sahabat di depannya itu.

"Bukannya hal ini kita sudah bahas di Markas kemarin, ada hal lainnya yang ingin di sampaikan, Let?" Alex tahu kalau Rey hanya berbasa-basi membahas tugas mereka.

Mendung bergelayut di wajah Rey.

"Ada apa, apa ada perubahan?" tebak Alex yang mengira ada perubahan dari misi yang mereka jalani.

"Ini mengenai Lara, dia masih bimbang untuk menikah denganku," ujar Rey membuat Alex kaget.

Entah kenapa mendengar hal itu hati Alex bersorak kecil. Mata Rey menelisik dalam pada kedua pasang mata di depannya.

"Jangan kamu coba-coba menikungku dari belakang, hal yang tidak akan pernah aku maafkan!" sarkas Rey yang seperti bisa membaca pikiran Alex.

"Ngawur aja kamu kalo ngomong, kalo aku punya perasaan sama dia, sebelum dengan kamu udah aku embat duluan. Itu dulu hanya biar kamu cepat-cepat mengungkapkan perasaan kamu sama dia," kilah Alex tapi dalam hatinya mengutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengontrol perasaannya pada kekasih sahabat sekaligus teman seprofesinya, walaupun Rey lebih tinggi pangkatnya dari dia.

"Aku titip dia, kali ini aku kuatir karna hubungan kami lagi renggang. Entah kenapa misi kali ini aku punya firasat yang tidak baik,"

"Siap! Udah pasti aku akan jagain dia buat kamu, yang perlu kamu lakukan, kembalilah dalam keadaan baik-baik saja. Jangan berpikir macam-macam,. Firasat itu mungkin karena kamu merasa tidak tenang karena hubungan kalian."

"Lara masih ragu menikah denganku karna profesiku. Dia membutuhkan seorang pendamping hidup yang selalu ada di sampingnya, tidak sepertiku. Dia butuh ketenangan, bukan seperti aku yang selalu membuatnya was-was."

Hati Alex berdecit, Lara ternyata tidak ingin menghabiskan hidupnya dengan orang-orang seperti mereka. 'Tapi bukannya Lara mengenaliku hanya sebagai pegawai bank?' batin Alex.

"Ragamu di sini tapi jiwamu entah d mana!" suara Rey membuat Alex tersentak.

"Aku hanya sedang memikirkan target yang harus aku selidiki kali ini," kilah Alex sekenanya membuat dahi Rey berkerut.

"Kenapa memangnya?"

"Ternyata Tari putri dari target yang sedang aku selidiki."

"Kenapa itu tidak ada dalam pembahasan kemarin?"

"Aku juga baru tau tadi setelah ngecek datanya."

"Bukannya lebih bagus, kerjaan kamu bisa lebih mudah?"

"Huhh... aku tidak suka sama cewek yang terlalu gampang buat aku dapatin." Wajah wanita yang selalu mengejar-ngajarnya itu terbayang.

"Aku suka sama cewe yang penuh tantangan, yang tidak mudah terkena rayuan lelaki,"

"Seperti Lara?" sambar Rey

"Ck ... Lara tu cinta matinya sama kamu, biar aku uber-uber juga tidak akan mempan."

"Tapi sepertinya kamu punya peluang, dia taunya kamu tidak berloreng seperti aku,"

"Kenapa bahasannya ke situ terus," cicit Alex yang merasa tidak nyaman, Rey seperti bisa membaca pikirannya.

"Besok aku berangkat, Intinya aku titip dia sama kamu, tapi selama aku masih hidup jangan coba-coba kamu nikung aku."

"Ada dan tidak adanya dirimu, aku pasti akan menjaganya, bukan karna aku punya perasaan tapi karna Lara gadis yang baik. Sudah aku anggap sebagai adikku sendiri, apalagi dia calon dari sahabatku sendiri."

"Aku berharap setelah aku kembali, dia sudah berubah pikiran," tukas Rey gamang, wajah cantik Lara terbayang bersama impiannya untuk menikahi gadis itu.

"Kamu tidak pamit dengannya?"

Rey menggeleng.

Hening.

Lama mereka saling terdiam.

"Jika aku gagal dan tidak pernah kembali, berusahalah mengambil hatinya, hanya kamu yang aku percaya bisa menjaganya, nikahilah dia." Kilatan memerah terlihat jelas di netra elang itu.

Alex menatap kaget dengan kata-kata Rey.

"Jangan ngawur kamu, kembalilah dalam keadaan selamat, cuma kamu yang bisa bikin dia bahagia." Sambil mengibaskan tangannya Alex berdiri.

"Berjanjilah kamu akan menjaganya jika aku tak pernah kembali."

"Ya sudah bro, aku harus kembali sebelum jam delapan, agen kita stanby jam segitu untuk mencari signal." Abai Alex merasa tak nyaman, entah kenapa hatinya berdesir Rey menitipkan Lara padanya.

Sepeninggalnya Alex, dengan cepat Rey menyambar jaketnya, melangkah cepat menuju mobilnya

dan kini berada di depan rumah Lara.

Keningnya berkerut, saat melihat di rumah Lara ada beberapa mobil terpakir. Hingga mata elang itu menangkap sosok yang berapa hari ini membuatnya tak nyaman. Lara sedang duduk dengan seorang lelaki di teras. Terlihat sangat dekat dan terkesan manja, sambil sesekali Lara mencubit lengan lelaki itu.

"Apakah ini alasanmu menolakku," desis Rey, jari-jari tangannya memutih mencengkram erat setir.

Comments (31)
goodnovel comment avatar
Mood Die
kok gitu lara ya siapa cowo itu penasaran
goodnovel comment avatar
Vimi Kurnia
semoga cuma firasatnya rey aja yg gk enak. la siapa cowok yg bersama lara ya
goodnovel comment avatar
Gentha Fitria
lah gmn cerita.a s lara ad manja2n am cowo lain,semoga cuma mimpimu y rey
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status