Share

Bab 6

Darah muda memang gampang bergejolak. Adrenalinnya pun terpacu liar. Laksana balap kuda, tidak mengenal lelah dan mengharap kemenangan. Walau tak pernah memikirkan kudanya sendiri saat sedang di pecut.

Begitu pula Amber dan Steve, setiap harinya mendorong darah muda mereka pada panasnya pertarungan, tidak memikirkan kondisi tubuhnya yang belum benar-benar prima.

Pagi itu, awalnya Amber sedang duduk di sebuah pembatas semen. Entah apa yang di pikirkan Amber, namun matanya menatap langit biru bersama putihnya awan. Tak lama, dia dihampiri oleh Steve yang tanpa basa basi memukul wajah Amber.

Sejurus kemudian dia di seret paksa ke tempat pelatihan, dan terjadi lah pertarungan antar duo verbegens.

"Masih mau lanjut?" tanya Amber yang tampak masih kuat walau napasnya terengah-engah.

"Jangan mundur, kau! Aku belum puas! Jangan jadi penakut!" ujar Steve menantang Amber dengan senyum tipis.

"Takut? Aku gak takut. Ayo lanjutkan!" kata Amber tidak gentar.

Amber menendang dan memukul Steve sampai terpental. Ketika, hendak bangkit, ditendang lagi, dipukul lagi, hingga Amber tidak mengijinkan lawannya berdiri dan menghirup udara bebas.

Nahasnya, lawan Amber bukan lah tipe mudah menyerah. Makin kuat musuhnya, maka akan semakin berkembang pula Steve.

Sebagai karakter yang bertarung dengan mengikuti irama dan level musuhnya, Steve belajar dari pengalaman. Baginya, yang namanya guru tidak semata-mata mengacu pada pendidikan saja.

Sementara Amber, sedari awal memang tertarik melawan Steve. dia bisa menjadikannya sebagai guru dalam duel, mempelajari apa yang belum Allan ajarkan.

Pergerakan Amber sangat cepat, serangan Steve juga bertambah pareasinya.

Orang-orang yang melihatnya membelalak, bak menyaksikan dua hewan buas yang menunjukkan taringnya, menerkam mangsa.

"Apa?"

"Ada apa dengan mereka berdua?"

"Aku tidak percaya! Mataku tidak bisa mengiringinya!"

Tanpa sadar ketika pertarungan sedang berlangsung, muncul seorang pria ke tengah-tengah pertarungan sengit itu, lalu menjitak kepala Steve dan Amber hingga tersungkur ke bawah.

Sosok tersebut bernama Soe, pria umur tiga puluh tahunan, sekaligus tangan kanan Jack. Salah satu master muda seni bela diri di sana.

"Apa yang kalian lakukan? Apa kalian ingin mati! Belum cukupkah pertarungan kalian yang hampir meregang nyawa waktu lalu?" bentak Soe.

Meskipun kata-kata Soe ringan, itu sangat menenusuk hati Amber. Dia menunduk sambil sesekali melirik ke arah Soe.

Steve tidak mengatakan apa-apa, melihat Amber yang ciut di depan Soe, rasanya ingin tertawa keras. Namun, dia tahu kalau Soe orangnya serius, meski hal sepele.

 "Hahaha! Mereka berdua persis kita sewaktu masih muda. Setiap hari selalu tak luput berkelahi! hahaha!" tambah Joe, adik Soe yang tiba-tiba datang.

"Kau seharunya pergi ke pasar menemani nyonya, bukan ke sini!" ucap Soe pada Joe.

"Tentu aku akan melakukannya! tetapi sebelum itu, Amber di suruh Tuan ke tempatnya!"

"Amber? Untuk apa?"

"Tidak tahu! Mungkin ada sesuatu yang harus di bicarakan!" jawab Joe seraya pergi.

"Hey paman Soe, mengapa kau dan paman Joe selalu memanggil ibu dan ayahku tuan-nyonya?"

"Untuk penghormatan, tentunya!"

"Hmmt. Benar kah? Namun yang kulihat bukan hanya itu saja!"

"Dengar! Tuan dan Nyonya lebih tua dari aku dan Joe. Alangkah baiknya yang muda selalu hormat pada yang tua!"

"Aaaaah! Mana mungkin. Pasti paman menyembunyikan sesuatu, kan?" cibir Amber seraya lekas keluar mengekori Joe.

Sudah lebih dari dua puluh tahun, Soe dan Joe hidup bersama Jack. Mereka sangat setia padanya, Karena pria tua itu telah membebaskan dari kemiskinan dan penderitaan besar dimasa lalu.

Sebagai Pria yang mengerti balas budi, tentu bukan hanya sekedar rasa hormat saja, mereka rela jika harus membuang harga diri demi Jack dan Olvie, bahkan nyawanya sekalipun.

Begitu Amber sampai di ruangan yang di maksud, Jack tampak tengah duduk di kursi kayu.

Amber mematung sejenak memandangi pria tua itu. Sepintas wajahnya mirip orang yang sangat familiar di matanya.

'Kakek...!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status