Satu minggu yang lalu.
Carol menghela napas panjang setelah perdebatan panjang dengan kliennya yang memakan waktu hampir satu jam lamanya. Sudah lewat jam makan siang tapi pria di depannya ini masih juga tak mau beranjak dari tempat duduknya. Entah apa yang membuat ia begitu ingin banyak bicara dengannya. "Perusahaan kami sangat kompeten dalam menjalin hubungan komunikasi dengan berbagai investor. Kami pastikan tidak ada kekurangan satu pun dalam pengerjaan proyek pembangunan hotel tersebut," tegas Carol seakan ingin segera mengakhiri pertemuannya dengan kliennya ini. Pria ini, satu diantara klien mahal milik Carol yang harus dipertahankan. Rumor mengatakan, pria ini jarang sekali mau berbicara lama dengan siapapun. Yang paling terbaru adalah pertemuan dengan pemilik resort mewah di pantai Eden. Ia hanya membutuhkan waktu lima menit untuk bertemu tanpa sempat berbincang. "Aku tahu. Besok kirimkan proposal tambahan yang kau sebutkan tadi. Ini target awal tahun dan harus ada di susunan anggaran perusahaan tahun depan." pria itu menutup pertemuan siang ini dengan senyuman tipis cukup menggoda. Carol mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih atas waktunya tuan Damian. Semoga kerja sama ini akan terus berjalan di masa depan." Carol mengulurkan tangannya mengajak pria itu berjabat tangan. Damian, pria dingin itu terdiam sejenak lalu membalas jabatan tangan Carol. "Senang bekerja sama dengan anda, nona Carol. Sampai jumpa." Pria itu pergi. Carol menghela napasnya sekali lagi. Perutnya tiba-tiba bergejolak dan ia membutuhkan kamar mandi sekarang. Setelah memasukkan dokumen ke dalam tas kerjanya, ia segera berlari menuju kamar mandi yang terletak di samping restoran tempat ia berada saat ini. Dukk Carol menutup salah satu bilik kamar mandi. Saat ia akan merapikan pakaiannya, terdengar suara pintu dibuka lalu dikunci dari dalam. Carol terdiam sejenak. Rupanya ada dua orang masuk ke dalam kamar mandi itu. Tak lama kemudian, terdengar suara dua orang berbisik-bisik lalu tertawa. Setelahnya, entah siapa yang memulai lebih dulu tiba-tiba terdengar suara desahan yang diiringi dengan benturan cukup kuat di bilik paling ujung dekat pintu masuk sementara Carol berada di ujung dekat wastafel. Carol mengerutkan dahinya. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tak sadarkah mereka jika ada orang lain di dalam salah satu bilik dalam kamar mandi yang sama? "Henry, kapan kau akan menceraikan istrimu yang mandul itu? Kau tahu, aku bisa saja hamil saat kita berhubungan intim. Kau tak mengizinkanku memakai pengaman kan?" Carol menghentikan pergerakannya mencuci tangan. Ia dengan seksama mendengarkan suara yang sangat dikenalnya itu. Tak ingin memikirkan hal buruk, ia berniat akan pergi dari kamar mandi itu. Namun, sebuah suara lagi-lagi membuatnya terdiam. "Wanita itu selalu sibuk. Aku akan menceraikannya segera, sayang. Kau jangan khawatir." Suara itu. Suara pria yang sangat dikenali oleh Carol sepanjang enam tahun ia bersamanya. Suara yang tiap malam selalu membisikkan kata cinta padanya. Suara yang membuatnya merasa nyaman. Apakah? Kriett Pintu bilik itu dibuka. Carol cepat-cepat masuk kembali ke dalam bilik tadi lalu bersembunyi sembari mendengarkan suara mereka. Ia harus memastikan suara itu bukanlah suara yang dikenalnya. "Lucy, kembalilah ke kantor lebih dulu. Aku ada pertemuan dengan tuan Damian di kantornya." Carol mematung mendengar kembali suara itu. Nama yang sama, suara yang sama. Penasaran, ia membuka ujung pintu. Ia mengintip dari celahnya. Mata Carol terbelalak melihat apa yang terjadi di depannya. Pria yang berada di dalam pikirannya tadi adalah pria yang sama dan wanita itu adalah wanita yang setiap hari datang ke rumahnya untuk mengemis pekerjaan di perusahaan Henry. 'Tidak, tidak mungkin. Mereka tak mungkin mengkhianatiku.' Satu menit Carol berada dalam posisi yang sama, di menit berikutnya kedua orang itu lenyap dari pandangannya. Tubuh Carol melemas. Ia terduduk di lantai kamar mandi dengan mulut yang ditutupi tangannya agar suara tangisnya tak terdengar. Sial! "Tiap hari aku memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa hamil, tapi ternyata dia memberikan benihnya pada orang lain! Awas, aku akan balaskan rasa sakit hatiku ini padamu!" umpat Carol dalam hati. *** Dua hari setelahnya. Damian Easton, pria yang disebut-sebut akan mewarisi kekayaan hebat milik David Easton adalah pria dingin yang tak banyak bicara saat sedang membahas masalah penting. Ia akan bicara jika diperlukan dan akan diam jika dirasakan semuanya sudah memenuhi keinginannya. Di kalangan para selebritis wanita, ia yang paling terkenal dengan ketampanannya. Walau tak terdengar siapa wanita beruntung yang mendapatkan hatinya, orang terdekatnya sering mengatakan mungkin saja dia seorang wanita biasa saja. Karena Damian menyukai wanita yang tenang dan mampu berkomunikasi dengan baik. "Berapa jam pertemuan dengan Deluxe corp siang ini," tanya Damian setelah keluar dari restoran mewah tadi. Ken, asisten sekaligus sekretaris pribadinya membuka kembali catatan khusus milik atasannya. Dibacanya dengan seksama lalu cepat-cepat ia menjawabnya. "Kurang lebih 40 menit." "Ehm, hanya membahas pengadaan kontruksi tambahan bukan?" Ken mengangguk. "Persiapkan dokumennya lalu tanda tangan dan kembali ke apartemenku. Aku lelah sekali hari ini." "Tuan Henry biasanya akan berbincang sebentar untuk sekedar mengakrabkan diri dengan koleganya. Bisakah meluangkan waktu untuk—" "Tidak ada waktu untukku sekedar mengoceh tak berguna dengan siapapun. Kau tahu bukan, aku tak menyukai itu?" tiba-tiba Damian menoleh memelototi Ken yang menunduk takut. Damian tak bisa diganggu gugat. Apa yang ia mau harus dipenuhi. "Baik, tuan." "Jangan pernah mengguruiku. Atau aku pecat kau." Lima belas menit kemudian mereka berdua sampai di gedung kantor Genius group milik keluarga Easton yang dikelola oleh Damian. Gedung lima belas lantai itu berdiri megah di tengah kota Amberfest. Damian melangkah tenang masuk ke dalam lobby sambil merapikan kemejanya yang sedikit berantakan. Sementara itu, Ken mengikutinya dari belakang dengan langkah anggun yang memikat berpuluh pasang mata di sana. Tiba di ruangannya, Damian meminta Ken membawakan teh hangat dan dua keping kukis keju yang selalu disediakan oleh ibunya di lemari pendingin sebelah rak tinggi ujung ruangan. Itu adalah kebiasaannya yang telah jadi rutinitas sehari-hari. "Tuan, tuan Henry telah tiba dan saat ini berada di ruang pertemuan," lapor Ken sambil membawa nampan berisi teh dan kukis pesanan bosnya. "Bawa mapnya." Damian berjalan lebih dulu menuju ruang pertemuan. Saat ia masuk, orang yang ditunggunya telah duduk sambil membuka laptopnya. Ia berhenti sejenak lalu kembali melanjutkan langkahnya. "Selamat siang tuan Damian. Saya—" Henry mengulurkan tangan namun ditolak oleh Damian. "Langsung saja." tanpa mengindahkan perkenalan Henry, ia langsung mendudukkan pantatnya di kursi ruang pertemuan yang empuk. Kecewa ditahannya. Henry menyunggingkan senyum tipis yang masam. Ia kembali duduk lalu menyerahkan surat perjanjian yang telah dibuat olehnya untuk Damian. Perusahaan mereka akan bekerjasama meluncurkan pemukiman sehat untuk para lanjut usia. Program yang merupakan ide David Easton tujuh tahun lalu dan baru saat ini bisa terwujudkan. Damian pemilik proyek membutuhkan perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan dan kontruksi alat berat memilih bekerja sama dengan Deluxe corp yang telah bertahun-tahun meraih penghargaan sebagai perusahaan kontraktor terbaik di Amberfest. "Ah, ini kontraknya. Sudah saya perbaiki dan semuanya menunggu tanda tangan tuan Damian," ujar Henry sambil menyerahkan berkas tersebut pada Damian. "Baiklah, saya pelajari lebih dulu kontraknya. Ken, serahkan berkas kontrak milik Genius untuknya," perintah Damian. Ken menyerahkan kontrak itu pada Henry lalu kembali ke tempatnya berdiri. "Saya terbiasa membaca kontrak dengan teliti sebelum menandatanganinya. Besok, kontraknya langsung saya kirimkan ke sekretaris anda melalui asisten pribadi." Damian melirik Ken yang terlihat sedang menghela napasnya. "Baiklah. Saya juga akan mempelajari kontrak milik anda." Damian berdiri lebih dulu. Ia melirik arloji di tangannya. Pertemuannya telah menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Ia harus mengakhirinya sekarang. "Sampai jumpa saat proyek itu berjalan. Karena saya yang akan menanganinya sendiri." Damian pun melangkah lebih dulu menuju pintu keluar ruangan meninggalkan Henry yang menggerutu sendiri di sana. Saat tiba di depan lift khusus, Damian berhenti sejenak lalu berkata pada Ken. "Aku kecewa, kukira yang akan datang tadi adalah Carol. Kenapa pria tadi?" "Apa anda sengaja mengajukan kerja sama dengan mereka, tuan? Anda tahu sesuatu?" tanya Ken menyelidik. "Ya. Kau akan tahu sendiri nanti." Lift pun terbuka. Damian dan Ken masuk ke dalam lalu menghilang turun.Seorang pria berdiri di tepi jembatan yang berseberangan dengan sebuah halte bus. Ia mengamati ujung jalan dekat perbatasan kota Amberfest dan Visoo. Halte itu sunyi, tak ada tanda-tanda satu orang pun mendekat. Berkali-kali ia mengubah posisi berdirinya. Kira-kira lima kali dalam satu menit. Matanya memicing saat melirik arlojinya. Sudah pukul sebelas malam dan ini telah lewat satu jam dari waktu perjanjian awal. Tangannya mengetuk pinggir jembatan melampiaskan kegelisahannya. Di kepalanya, ia sempat terpikir kalau dirinya akan gagal lagi kali ini. Tiba-tiba di kejauhan tepatnya di halte seberang, seseorang baru saja turun dari sebuah mobil sedan. Ia membuka kacamatanya mencari seseorang dan akhirnya mereka pun bertemu tatap satu detik. 'Apa orang itu? Bukankah ada dua orang.'Pria di pinggir jembatan berlari menghampiri si pria kacamata itu. Ia yakin kalau dia adalah orang suruhan Marco yang diperintahkan untuk menguntit Damian dan Erik. "Kau orangnya?" tanya si pria jembatan ya
"Kau mau ke mana?" tanya Carol. Alisnya mengerut bingung melihat suaminya tengah mencari kemeja dan jas hitam yang biasa dipakai olehnya. "Kau mau berkencan dengan seorang wanita?" Damian menoleh. Lirikan matanya membuat jantung Carol berdetak kencang. Pesona Damian memang sulit ditepis olehnya. "Aku dan Erik akan bertemu dengan nyonya Carmen dan nyonya Ferlestin untuk membicarakan kerja sama yang telah kita buat sebelumnya. Kau mau ikut?" tatapan mata Damian melembut. Carol terdiam sejenak tengah memilih apakah akan ikut atau tidak. Malam ini ia ingin bersantai bersama Damian, tapi tidak bisa. Lalu ia kembali berpikir, Damian dan Erik akan bertemu dengan dua orang wanita tanpa suami. Tiba-tiba saja di pikirannya bergelayut rasa cemburu pada dua wanita itu. 'Mereka pasti akan terpikat pada ketampanan Damian. Aku tak boleh membiarkannya.' "Aku ikut. Tunggu sebentar." Carol berlari masuk ke dalam kamarnya, membuat Damian terkekeh geli melihat tingkahnya. 'Dia seperti remaja yang te
Hari kedua rapat pemegang saham, Henry muncul sebagai pesaing dari pihak lawan Erik. Ia berdiri dengan gagah di depan layar monitor yang memunculkan namanya dan berbagai prestasi yang pernah diraihnya. Ia juga memberikan sedikit visi dan misinya jika terpilih sebagai pemimpin utama Harold Times secara terselubung di dalam presentasinya. Semua yang dipaparkannya, tak ubahnya seperti mendengar ocehan anak kecil saat akan tidur. "Dengan posisi sebagai pemilik saham terbesar ketiga, tentunya akan mudah bagi saya untuk menduduki kursi penting di Harold Times. Walau tanpa presentasi pun, itu seharusnya bisa menjadi milik saya. Bukan begitu tuan Erik yang terhormat?" sindir Henry lembut. "Anda pasti lupa satu hal, tuan Henry. Sebelum meninggal, ayahku memberikan hak untuk mengajukan diri sebagai pemimpin perusahaan walau tanpa kepemilikan saham. Ini didasarkan pada keinginan kakakku juga yang memilih tak ingin ikut campur dalam mengelola Harold Times," ujar Erik dengan wajah tenang. Wajah
Hari yang ditunggu telah tiba. Harold Times akan mengadakan rapat umum pemegang saham untuk menentukan arah kebijakan yang akan direncanakan untuk lima tahun ke depan. Erik, selaku pemimpin yang saat ini masih berdiri memegang tampuk kekuasaan menjabarkan segala rencananya dengan matang untuk lima tahun masa gemilang Harold Times ke depannya. Selain itu, ia juga memberikan laporan apa saja yang telah dirinya lakukan untuk menaikkan lagi reputasi Harold Times setelah sebelumnya hancur saat James Dustin wafat. Beruntung, saat itu Damian datang menolongnya hingga masalah Harold Times dapat teratasi dengan baik. Namun sayangnya, publik hanya mengetahui jika semuanya adalah berkat bantuan Henry Parker yang saat itu masih menjadi suami Carol Dustin. Rapat dibuka. Setelah beberapa kata sambutan diuraikan oleh sekretaris Erik, tiba-tiba saja ruangan menegang. Erik bisa melihat mata mereka menatap memburu pada dirinya sejak kedatangannya ke dalam ruangan. Seperti hewan buas yang tengah membi
Damian terdiam setelah mendengar semua pengakuan Erik yang baru dikatakannya siang ini. Ia hanya tersenyum lalu berjalan dan menepuk bahu Erik yang lemas. Damian jarang menunjukkan emosinya, cukup tenang dalam menghadapi masalah. "Kau tak usah pedulikan ketakutan itu. Bukannya, bukti itu sudah kau pegang?" Erik mengangguk. Adik iparnya itu masih diliputi kecemasan. Karirnya bisa tamat jika semua rahasia keluarga lamanya dibongkar. "Apa yang harus kulakukan?" Damian menekan tombol interkom lalu berkata, "Ken, kemarilah." Tak lama kemudian, Ken masuk ke dalam ruangan. Ia membungkuk penuh hormat pada Damian. "Ada yang bisa dibantu, Tuan Damian?" "Kau, selidiki apa yang terjadi di Harold Times. Kudengar, semua direksi berkomplot untuk menjegal Erik," perintah Damian."Saya sedang mencari tahu kemungkinan lainnya. Tuan Erik harap berhati-hati dalam perjalanan anda. Bukan tidak mungkin, ada yang berusaha menghilangkan nyawa anda juga," ujar Ken. Erik menegang. Astaga, masalahnya seru
Dua puluh tahun yang lalu, awal timbulnya dendam antara keluarga Easton dan Parker diawali dengan perebutan lahan mendirikan perusahaan baru. Easton yang dahulu terkenal dengan warisan tambang terbesar, tiba-tiba saja berniat untuk mendirikan perusahaan properti. Easton terdahulu mengatakan, hasil tambang yang diperoleh dari warisan bisa sewaktu-waktu hilang akibat alam dan mereka butuh usaha yang kuat untuk menguasai dunia bisnis di Amberfest. Lalu, David Easton yang kala itu baru ingin memulai bisnisnya di bidang properti mendapatkan angin segar dari ayahnya. Di saat bersamaan, keluarga Parker juga berkeinginan untuk mendirikan perusahaan properti yang sama dengan milik Easton. Dua tahun usaha berjalan, keluarga Parker mengalami kerugian cukup besar. Mereka menuding keluarga Easton telah menyabotase seluruh titik usaha mereka dengan memanfaatkan kepopuleran di masyarakat, mengingat keluarga Easton adalah penyumbang terbesar amal kota yang berlangsung puluhan tahun silam. Persainga