LOGIN
[Breaking news: CEO Deluxe Corp telah mengumumkan perceraiannya ke publik dan berencana memperkenalkan calon istri barunya setelah acara di ulang tahun perusahaan bulan depan ]
"Apa ini? Perceraian? Henry tak pernah membicarakan ini padaku!" gumam Carol lirih. Saat Carol mematikan televisi di ruangannya, telpon di meja berdering. Carol menjawabnya dengan mata penuh waspada. 'Nyonya Carol, dengan berat hati kami mengumumkan jika hari ini adalah hari terakhir anda bekerja.' "Apa maksud kalian? Hari terakhir bekerja?" Carol menggeram, rahangnya mengeras menahan amarah. 'Tuan Henry yang memerintahkan kami untuk memecat anda. Harap segera ke luar dari dalam ruangan.' "Apa maksud kalian—" Tut Tut Tut Carol membanting telponnya dengan kasar. Ia keluar dari ruangannya menuju ruangan Henry yang terletak di lantai sepuluh. Ia berjalan tergesa-gesa hingga tak sadar telah menabrak seseorang yang akan memasuki lift. "Kenapa dia terburu-buru?" gumam orang itu sebelum masuk ke dalam lift. Carol berbelok mencari ruangan Henry namun matanya malah tertuju pada sekretaris suaminya yang duduk di ruangannya dengan nyaman. Terbakar api kemarahan, ia mendatanginya. "Mana Henry?" tanyanya pada Lucy, sekretaris Henry yang baru. Lucy hanya menggedikkan bahunya enggan berbicara dengan Carol. "Kau tuli ya?" "Maaf, anda tidak berhak memerintah saya," jawab Lucy ketus. "Heh, aku ini istri bosmu. Bilang padanya aku ingin bertemu!" teriak Carol yang mengundang perhatian beberapa karyawan yang lewat untuk melihatnya. "Sekarang bukan lagi," ujar Lucy sambil tersenyum mengejek. "Apa maksud—" Lucy beranjak dari duduknya pergi entah kemana. Tak lama kemudian dua penjaga yang biasa berdiri di depan pintu ruangan Henry datang menghampiri. Rupanya tadi Lucy memanggil keduanya untuk datang kemari. Dua penjaga tadi menarik tubuh Carol menjauh dari ruangan Lucy. Carol memberontak, ia tak merasa berbuat salah. Tangannya menunjuk ke arah Lucy yang kini tersenyum miring ke arahnya. "Apa-apaan ini? Aku adalah istri bos kalian! Mengapa kalian bertindak kejam seperti ini?" Carol menghempas tangan yang dicengkeram keras oleh dua penjaga tadi. Keduanya menundukkan kepalanya di hadapan Carol. "Maaf nyonya. Ini adalah perintah tuan Henry. Mulai sekarang, nyonya dilarang masuk ke ruangannya tanpa seizin sekretaris Lucy;" ucap keduanya meminta maaf. "Lucy? Apa hubungannya—" Lucy datang dengan langkah anggun menghampiri Carol yang berdiri dengan mata kebingungan. Kejadian hari ini begitu banyak dan membuat dirinya tak bisa berkata apa-apa. "Carol, mulai sekarang batasi dirimu bertemu dengan tuan Henry di kantor. Mungkin sebentar lagi itu berlaku juga di rumah kalian," ucap Lucy dengan nada mengejek. "Apa maksudmu?" Carol tak terima dengan kata-kata Lucy yang jelas-jelas merendahkannya. Kedudukan wanita itu tak lebih hanya sekedar sekretaris Henry, bukan untuk mengurusi masalah rumah tangga atasannya. "Nanti juga anda mengerti begitu sampai di rumah. Kalian, bawa nyonya Carol ke luar. Mulai hari ini, ia bukan lagi karyawan Deluxe Corp." kedua orang tadi mengangguk paham. Carol membelalakkan matanya tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lucy. Ia terus memberontak tapi kedua orang tadi tak mau melepaskannya. Hingga akhirnya ia terjatuh di tangga luar gedung karena dihempas keduanya. "Maaf nyonya, kami hanya mematuhi perintah." kedua orang itu pergi dari hadapan Carol, masuk kembali ke dalam gedung. "Ah, sial! Kenapa seperti ini?" *** Henry menatap puas kepergian Carol yang bisa diintipnya dari kaca jendela ruangannya. Carol nampak seperti pengemis dengan pakaian berantakan. Bertahun-tahun ia menginginkan hari ini terjadi dan akhirnya semua terwujudkan. Betapa senang hatinya hari ini. Hampir lima tahun terakhir dirinya harus bersikap pura-pura mencintai Carol di depan orangtuanya demi mendapatkan warisan keluarga Parker. Kini, setelah orangtuanya mewariskan semuanya, Henry akhirnya bebas. Carol yang bodoh terlalu mencintai Henry hingga memberikan semuanya pada suaminya itu. Cinta ternyata bisa membuat isi kepala wanita cerdas itu tak lebih besar dari anak kecil. Mereka bisa saja ditipu. "Masuk!" Henry menyunggingkan senyumnya melihat kedatangan Lucy ke dalam ruangannya. Lucy berjalan meliuk memamerkan pinggangnya yang ramping. Ia berjalan menghampiri Henry yang menyambutnya dengan tangan terbuka lebar untuk memberikannya pelukan. "Aku berterima kasih karena kau mengabulkan permintaanku untuk menceraikan wanita itu. Kau tahu, berpura-pura jadi sekretarismu membuatku muak. Aku tak bisa bersenang-senang dengan bebas denganmu." Lucy naik ke pangkuan Henry. Tangannya menyusuri dada bidang pria itu yang masih tertutup kemeja. Mata mereka saling bertatapan mengunci satu sama lain. Bibir mereka bersentuhan, detik demi detik hingga keduanya berciuman panas. Lucy membuka dasi ketat Henry lalu membuangnya ke lantai. Satu persatu kancing kemejanya juga tak luput dari sentuhan tangannya. Tangan Henry juga tak hanya diam saja. Ia mengusap lembut pinggang Lucy lalu merematnya hingga membuat wanita itu memekik kecil. "Aku hanya mencintaimu, sayang. Cukup lima tahun dalam kebodohan itu. Ayahku juga sudah meninggal," bisiknya di telinga Lucy. "Aku juga mencintaimu, sayang." Sementara itu, Carol yang berantakan kini tengah berada di sebuah bar kecil milik Kimi, sahabatnya. Setelah diusir dengan cara tidak manusiawi, dirinya memilih mengistirahatkan kepalanya di dalam bar kecil itu. Tak hanya satu, dua gelas champagne dihabiskan sekaligus tanpa ada jeda. Kimi sang sahabat hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia cepat-cepat menarik gelas minuman Carol agar wanita itu tak meminumnya lagi. "Pulanglah. Ini sudah hampir larut malam. Kau bawa mobil atau tidak?" tanya Kimi. "Kimi, aku ingat. Beberapa waktu lalu aku pernah melihat mereka di toilet perusahaan. Mereka bercinta di sana. Kenapa aku lupa?" Carol mengetukkan kepalanya di atas meja. Ia merutuki kebodohannya karena melupakan kejadian beberapa hari lalu. "Kau membicarakan apa?" tanya Kimi lagi. "Henry mengusir dan menceraikanku. Kau tak melihat berita besar hari ini?" Kimi menggelengkan kepalanya. Ia memang tak menyukai rumor atau permasalahan rumah tangga siapapun itu. "Lucy, dia adalah penghancur rumah tanggaku. Dia mengambil semuanya." "Carol, pulanglah. Aku akan pesankan taksi untukmu." Kimi mengambil ponselnya lalu mengetik nomor pemesanan taksi. Carol tak menolak tapi matanya masih menerawang jauh mengingat kembali detik-detik ia memergoki perselingkuhan Lucy dan Henry saat itu. Carol memukul kepalanya lalu menangis keras. "Kenapa aku bodoh? Dasar bodoh!" "Carol, kau jangan seperti ini. Kalau Henry menceraikanmu, bukankah akan dengan mudah kau lepas dari cengkeraman kuat keluarga gila itu?" Kimi membantu Carol membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Ia menarik tangan sahabatnya lalu mengajaknya ke luar dari bar. "Aku akan mengantarkanmu pulang. Kau tak boleh sedih. Ada aku yang bisa membantumu." Tak ada jawaban dari bibir Carol. Rupanya wanita itu telah terpejam. 'Kasihan dia.'Tak ada yang tahu apa yang dirasakan oleh Billy Easton selama berada di keluarga Easton yang terlihat megah dan mewah di luar sana. Rasa tersiksa dan ingin membalas dendam atas kehancuran keluarga ibunya, membuatnya nekat melakukan hal aneh dan tak masuk akal. Sejak ia remaja, hari-harinya selalu diwarnai dengan kejadian menyayat hati dan perasaannya. Terpikir untuk pergi dari keluarga itu, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tak membolehkannya. Billy harus membalas rasa sakit hati itu dengan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Walaupun Damian tak pernah menganggap Billy seperti hama, tapi membiarkannya terpuruk sendiri tetap saja memiliki andil dalam membentuk dendam yang selama ini menumpuk. Untuk Billy, dosa Damian tak akan terlalu banyak. "Kau mau ke mana?" tegur Marco. Matanya yang tajam melihat pergerakan Billy di ruang tengah. Pria itu hanya terdiam, melirik halus pada Marco di ujung sana. "Aku dapat informasi, Damian tengah memata-matai kita berdua. Cepat beres
Pria bernama Frenco masih duduk di sekitar lobby sambil memainkan ponselnya. Tangannya gelisah melirik arloji di tangan kirinya dan sering kali berdecak kesal menunggu kedua pria yang tengah diintainya. Di sudut dekat lift, berdiri dua pria berbadan kekar tengah memakai topi hitam dan kacamata dengan setengah wajahnya tertutup masker debu. Itu adalah pria yang sama yang ada di coffee shop tadi siang. Frenco menelan ludahnya kasar. Inikah yang mereka maksud dengan eksekusi? Tak lama kemudian, dari lantai atas turunlah dua orang yang selama ini jadi incaran para penjahat kelas atas. Bersama empat pengawalnya, mereka berjalan menyusuri lantai lobby menuju mobilnya yang terparkir di depan pintu masuk. Frenco mengikuti langkah mereka. Begitu juga dengan dua pria kekar itu. Langkah Frenco sengaja dipercepat hingga mendekati Damian dan Erik yang telah lebih dulu tiba di depan pintu masuk. Untuk mengalihkan perhatian, Frenco sengaja menabrak kedua pengawal dan terjadilah keributan yang cuku
Selama satu minggu ini, suasana di sekitar Damian terasa sunyi seperti biasanya. Erik bekerja sesuai dengan tugasnya dan juga Henry yang akhir-akhir ini entah pergi kemana. Sosok itu jarang terlihat berada di Harold Times selama dua hari ke belakang. Damian hanya menggedikkan bahunya. Ia sesungguhnya tak peduli. Tak masalah baginya, hanya saja dirinya tak bisa memantau seluruh kegiatan yang tengah dilakukan oleh pria itu. Pintu ruangan terbuka. Erik masuk sambil mengusap peluh di pelipisnya. Damian hanya meliriknya sesaat lalu kembali menekuri pekerjaannya. "Ada apa?" tanya Damian dengan nada dingin. Erik menyeruput segelas americano dingin di tangannya. Tadi sebelum naik ke lantai atas, ia menyempatkan diri untuk membelinya di bawah. "Kau dikejar oleh seseorang?" tanya Damian lagi. "Ya. Aku seperti mengenalnya, tapi aku lupa. Dia mengejarku saat hendak berjalan menuju lift. Lalu asistenku mengejarnya dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Damian, aku rasa mereka mulai bergerak sek
Henry memulai pergerakannya menelusuri masa lalu keluarga Dustin dan Erik. Langkah pertama, ia menyewa detektif swasta kelas atas untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Ivana dan Elena. Bukti di lokasi kejadian hanya sedikit, polisi telah menutup kasus ini dikarenakan tak ada yang bisa ditemukan lagi di tempat kejadian. Lalu ia mulai mencari asal-usul keluarga Erik yang katanya ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Jika memang itu benar, Erik adalah target pembunuhan pertama untuk melampiaskan dendamnya. Hal yang paling mengejutkan adalah adanya bukti kuat yang mengarah pada ibunya. Malam sebelum kejadian, Ivana sempat bersitegang dengan ibunya di sebuah pesta para pengusaha sukses di Amberfest. Saat itu, ibunya mengancam akan membunuh Ivana karena telah mempermalukan dirinya. "Bagaimana bisa?" gumamnya. Henry menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia terus menyangkal dalam hatinya yang menyebutkan nama ibunya dalam keterangan dan bukti. "Semua pasti hanya
"Damian, aku ingin pergi ke tempat teman lamaku besok." Damian hanya diam tak memberikan reaksi. Ia sibuk membolak-balik halaman sebuah dokumen yang terlihat penting. Matanya yang dibingkai oleh kacamata berlapis emas tak mengurangi ketampanannya sama sekali. Carol berdecak kesal. "Damian, aku bicara denganmu!" Carol berteriak. Setelah makan malam, Damian memberikan Carol sebuah peringatan untuk tidak keluar rumah sementara waktu hingga batas yang ditentukan. Carol tidak akan diizinkan pergi untuk sesuatu di luar jadwalnnya. Damian beralasan ada seseorang yang mengincar nyawanya di luar sana. Namun Carol membantahnya. Ia ingin pergi menemui temannya untuk membicarakan hal penting. "Kau akan membicarakan apa?" tanya Damian dengan suara pelan. Carol menarik napas panjang perlahan. "Suruh dia ke paviliun. Kau boleh bertemu dengannya di sana." "Aku akan mengajaknya ke sebuah butik dan restoran. Aku akan mengajaknya berbelanja," tolak Carol. Ia tak menyukai usulan Damian yang menyuruh
Damian pulang larut malam setelah memerintahkan Ken untuk mengatur ulang pertemuan dengan pemimpin rapat esok hari. Ia akan turun tangan sendiri mencari kedua orang yang telah mencelakainya dari belakang. Saat memasuki rumah besarnya, ia memandang kosong ke lantai dua kamarnya. Ia menghela napas kasarnya lalu beranjak memasuki kamar pribadinya di lantai bawah. Namun sebelum ia masuk ke dalam kamar itu, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Damian menoleh. "Ada apa?" "Beritanya akan dimuat besok. Kau ingin menambahkan berita untuk mempermalukan namanya?" tanya Erik yang tadi telah menepuk bahunya. Damian menggelengkan kepalanya kaku. "Ken menceritakannya padaku. Menurutku, kita harus bertindak cepat. Kalau tidak—" "Erik, kau yang harus berhati-hati kali ini. Jangan bertindak gegabah. Henry pasti memiliki rencana untuk menghancurkan keluarga Easton dan Dustin," tunjuknya pada Erik. Meskipun Erik bukan bagian dari keluarga asli Dustin, tapi dia adalah salah satu penerus keluarga.







