LOGINPerut Carol berbunyi nyaring. Sudah pukul tujuh malam dan ia harus mengisi perutnya yang belum dimasuki makanan sejak sore. Carol memang memiliki kebiasaan untuk mengunyah makanan sebelum tidur, karena itu membuatnya lebih mudah tertidur. Ia tak pernah mempedulikan bentuk tubuhnya yang akan membesar. Toh selama ini ia tak pernah merasakan hal itu.
"Kau mau kemana?" langkah Carol terhenti mendengar suara dingin nan tajam berseru di belakangnya. "Mengendap-endap seperti perampok saja.""Damian, aku lapar. Maaf jika aku seperti sedang menguntit di rumahmu tapi ini bukan salahku. Rumahmu begitu besar dan banyak tangga dimana-mana. Aku juga tak tahu dimana dapurmu. Sedangkan perutku—""Aku baru saja akan mengajakmu untuk makan malam. Apakah rumahku lebih besar dari milik bedebah itu?" Carol mengerutkan dahinya. Siapa yang dimaksud dengan bedebah? "Maksudku, Henry. Rumahnya tak sebesar rumahku?""Oh, rumah Henry? Sepertinya hanya setengahnya dari ruTak ada yang tahu apa yang dirasakan oleh Billy Easton selama berada di keluarga Easton yang terlihat megah dan mewah di luar sana. Rasa tersiksa dan ingin membalas dendam atas kehancuran keluarga ibunya, membuatnya nekat melakukan hal aneh dan tak masuk akal. Sejak ia remaja, hari-harinya selalu diwarnai dengan kejadian menyayat hati dan perasaannya. Terpikir untuk pergi dari keluarga itu, tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tak membolehkannya. Billy harus membalas rasa sakit hati itu dengan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Walaupun Damian tak pernah menganggap Billy seperti hama, tapi membiarkannya terpuruk sendiri tetap saja memiliki andil dalam membentuk dendam yang selama ini menumpuk. Untuk Billy, dosa Damian tak akan terlalu banyak. "Kau mau ke mana?" tegur Marco. Matanya yang tajam melihat pergerakan Billy di ruang tengah. Pria itu hanya terdiam, melirik halus pada Marco di ujung sana. "Aku dapat informasi, Damian tengah memata-matai kita berdua. Cepat beres
Pria bernama Frenco masih duduk di sekitar lobby sambil memainkan ponselnya. Tangannya gelisah melirik arloji di tangan kirinya dan sering kali berdecak kesal menunggu kedua pria yang tengah diintainya. Di sudut dekat lift, berdiri dua pria berbadan kekar tengah memakai topi hitam dan kacamata dengan setengah wajahnya tertutup masker debu. Itu adalah pria yang sama yang ada di coffee shop tadi siang. Frenco menelan ludahnya kasar. Inikah yang mereka maksud dengan eksekusi? Tak lama kemudian, dari lantai atas turunlah dua orang yang selama ini jadi incaran para penjahat kelas atas. Bersama empat pengawalnya, mereka berjalan menyusuri lantai lobby menuju mobilnya yang terparkir di depan pintu masuk. Frenco mengikuti langkah mereka. Begitu juga dengan dua pria kekar itu. Langkah Frenco sengaja dipercepat hingga mendekati Damian dan Erik yang telah lebih dulu tiba di depan pintu masuk. Untuk mengalihkan perhatian, Frenco sengaja menabrak kedua pengawal dan terjadilah keributan yang cuku
Selama satu minggu ini, suasana di sekitar Damian terasa sunyi seperti biasanya. Erik bekerja sesuai dengan tugasnya dan juga Henry yang akhir-akhir ini entah pergi kemana. Sosok itu jarang terlihat berada di Harold Times selama dua hari ke belakang. Damian hanya menggedikkan bahunya. Ia sesungguhnya tak peduli. Tak masalah baginya, hanya saja dirinya tak bisa memantau seluruh kegiatan yang tengah dilakukan oleh pria itu. Pintu ruangan terbuka. Erik masuk sambil mengusap peluh di pelipisnya. Damian hanya meliriknya sesaat lalu kembali menekuri pekerjaannya. "Ada apa?" tanya Damian dengan nada dingin. Erik menyeruput segelas americano dingin di tangannya. Tadi sebelum naik ke lantai atas, ia menyempatkan diri untuk membelinya di bawah. "Kau dikejar oleh seseorang?" tanya Damian lagi. "Ya. Aku seperti mengenalnya, tapi aku lupa. Dia mengejarku saat hendak berjalan menuju lift. Lalu asistenku mengejarnya dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Damian, aku rasa mereka mulai bergerak sek
Henry memulai pergerakannya menelusuri masa lalu keluarga Dustin dan Erik. Langkah pertama, ia menyewa detektif swasta kelas atas untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Ivana dan Elena. Bukti di lokasi kejadian hanya sedikit, polisi telah menutup kasus ini dikarenakan tak ada yang bisa ditemukan lagi di tempat kejadian. Lalu ia mulai mencari asal-usul keluarga Erik yang katanya ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Jika memang itu benar, Erik adalah target pembunuhan pertama untuk melampiaskan dendamnya. Hal yang paling mengejutkan adalah adanya bukti kuat yang mengarah pada ibunya. Malam sebelum kejadian, Ivana sempat bersitegang dengan ibunya di sebuah pesta para pengusaha sukses di Amberfest. Saat itu, ibunya mengancam akan membunuh Ivana karena telah mempermalukan dirinya. "Bagaimana bisa?" gumamnya. Henry menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia terus menyangkal dalam hatinya yang menyebutkan nama ibunya dalam keterangan dan bukti. "Semua pasti hanya
"Damian, aku ingin pergi ke tempat teman lamaku besok." Damian hanya diam tak memberikan reaksi. Ia sibuk membolak-balik halaman sebuah dokumen yang terlihat penting. Matanya yang dibingkai oleh kacamata berlapis emas tak mengurangi ketampanannya sama sekali. Carol berdecak kesal. "Damian, aku bicara denganmu!" Carol berteriak. Setelah makan malam, Damian memberikan Carol sebuah peringatan untuk tidak keluar rumah sementara waktu hingga batas yang ditentukan. Carol tidak akan diizinkan pergi untuk sesuatu di luar jadwalnnya. Damian beralasan ada seseorang yang mengincar nyawanya di luar sana. Namun Carol membantahnya. Ia ingin pergi menemui temannya untuk membicarakan hal penting. "Kau akan membicarakan apa?" tanya Damian dengan suara pelan. Carol menarik napas panjang perlahan. "Suruh dia ke paviliun. Kau boleh bertemu dengannya di sana." "Aku akan mengajaknya ke sebuah butik dan restoran. Aku akan mengajaknya berbelanja," tolak Carol. Ia tak menyukai usulan Damian yang menyuruh
Damian pulang larut malam setelah memerintahkan Ken untuk mengatur ulang pertemuan dengan pemimpin rapat esok hari. Ia akan turun tangan sendiri mencari kedua orang yang telah mencelakainya dari belakang. Saat memasuki rumah besarnya, ia memandang kosong ke lantai dua kamarnya. Ia menghela napas kasarnya lalu beranjak memasuki kamar pribadinya di lantai bawah. Namun sebelum ia masuk ke dalam kamar itu, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Damian menoleh. "Ada apa?" "Beritanya akan dimuat besok. Kau ingin menambahkan berita untuk mempermalukan namanya?" tanya Erik yang tadi telah menepuk bahunya. Damian menggelengkan kepalanya kaku. "Ken menceritakannya padaku. Menurutku, kita harus bertindak cepat. Kalau tidak—" "Erik, kau yang harus berhati-hati kali ini. Jangan bertindak gegabah. Henry pasti memiliki rencana untuk menghancurkan keluarga Easton dan Dustin," tunjuknya pada Erik. Meskipun Erik bukan bagian dari keluarga asli Dustin, tapi dia adalah salah satu penerus keluarga.







