Share

Bab 2

Penulis: Merry
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-14 22:31:14

Aroma parfum mahal menusuk hidungku, bukan bau tanah basah setelah hujan yang biasa kucium setiap pagi di kampung. Wangi melati, vanila, dan entah apa lagi yang tak ku kenali, bercampur menjadi satu di udara berpendingin aula utama Universitas Sharim.

Udara terasa begitu berat, begitu asing. Pada hari pertama di kampus megah, aku merasa seperti ikan air tawar yang dilempar ke lautan. Berjuang untuk bernapas, sementara di sekelilingku makhluk-makhluk indah berkilauan berenang dengan anggun.

Aku memeluk tali ranselku lebih erat, satu-satunya benda familier di antara lautan tas bermerek dan sepatu berlogo mewah yang berjejer di setiap bangku. Kemeja flanel yang kupakai terasa salah kostum, seolah ia berteriak "Aku bukan milik tempat ini!" Suara-suara riang berdengung di telingaku, potongan percakapan mereka melayang-layang seperti serpihan kaca tajam.

"Serius, Papa memberiku mobil baru hanya karena aku berhasil masuk sini. Padahal aku maunya yang model sport, bukan sedan standar."

"Kau harusnya ikut kami ke Swiss kemarin, udaranya luar biasa! Kulitku jadi sehat lagi setelah stres ujian."

"Pesta di rumah Clara akhir pekan nanti bakal gila-gilaan, kau datang, kan? Semua anak 'gaul' pasti ada di sana."

Aku menunduk, mencari kursi kosong di sudut terjauh, di tempat yang paling gelap, yang paling tidak menarik perhatian. Aku tidak datang ke sini untuk pesta atau mobil baru. Aku datang membawa harapan Ayah dan Ibu, harapan yang beratnya terasa melebihi tumpukan buku tebal di dalam ranselku.

Misi utamaku adalah menjadi tak terlihat. Menyerap semua ilmu, lulus dengan nilai terbaik, lalu menghilang dari dunia mereka, kembali ke dunia yang ku mengerti. Duniaku dan dunia mereka dipisahkan oleh jurang yang tak terukur.

Aku berhasil menemukan satu kursi kosong. Saat aku duduk, gadis di sebelahku melirik sekilas dari atas ke bawah, bibirnya mengerut tipis, lalu bergeser sedikit menjauh, seolah aku membawa penyakit menular. Aku pura-pura tidak melihat.

Kubuka buku catatan kosong, jemariku gemetar saat memegang pena, berusaha menenangkan diri. Setiap orang di sana tampak begitu percaya diri, begitu nyaman dalam kulit mereka sendiri. Aku merasa telanjang, semua ketidaksempurnaan terasa terpampang jelas.

Tiba-tiba, sebuah suara ceria memecah gelembung kesendirianku, sehangat mentari pagi yang menerobos rimbunnya dedaunan.

"Permisi, kursi sebelahmu kosong?"

Aku mendongak. Seorang gadis dengan rambut ikal sebahu dan senyum secerah matahari pagi berdiri di sana. Kacamata berbingkai merah bertengger di hidungnya, dan ia mengenakan kaus bergambar band yang sepertinya kukenal tapi tak bisa kuingat namanya.

Pakaian santainya, ditambah celana jeans belel dan sepatu kets, entah kenapa terlihat sangat pas, seolah gaya kasualnya adalah sebuah pernyataan. Ia tidak mencoba menjadi orang lain.

Aku hanya mengangguk kaku. Tenggorokanku terasa kering.

"Asyik! Terima kasih!" Ia menjatuhkan diri di kursi sebelahku dengan antusiasme berlebihan yang mengejutkanku. Tas selempangnya yang penuh pin warna-warni beradu dengan meja, menimbulkan bunyi 'bruk' yang cukup keras. Aroma jeruk dari parfumnya yang ringan langsung mengalahkan wangi melati dan vanila yang menyelimuti aula.

"Wuih, rame banget, ya? Aku Rina, Manajemen Bisnis. Kamu?" Ia menyodorkan tangannya. Jari-jemarinya lentik dan terawat, kontras dengan tanganku yang kaku dan terasa kasar akibat sering membantu di sawah.

Aku menatap uluran tangan sejenak sebelum menyambutnya ragu. Sentuhan kulitnya terasa halus dan hangat.

"Tara. Manajemen Bisnis."

"Tara! Nama yang bagus. Keren kita satu jurusan ternyata. Kamu maba juga?"

Aku mengangguk lagi. Berbicara rasanya menguras tenaga, seolah setiap kata harus melewati dinding tebal yang ku bangun di sekitar diriku.

"Sama dong! Gila, ya, tempatnya? Rasanya kayak masuk istana, bukan kampus. Aku tadi hampir salah masuk toilet. Toiletnya lebih mewah dari kamar kos ku!" Rina terkekeh, suaranya renyah dan jujur.

Aku tidak bisa menahan seulas senyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat. Namun, senyum itu nyata.

"Aku juga hampir tersesat tadi. Gedungnya besar sekali."

"Nah, kan! Aku tahu aku bukan satu-satunya yang hampir kesasar! Kamu dari mana, Tara?"

"Dari desa ... jauh dari sini." Aku menjawab singkat, berharap Rina tidak akan terlalu banyak bertanya lagi. Aku tidak ingin menceritakan detailnya.

"Oh ya? Keren! Aku dari kota sebelah. Nggak terlalu jauh, tapi cukup jauh untuk bisa ngekos dan kabur dari omelan Mama," guraunya sambil tertawa kecil, melambaikan tangan seolah mengusir kenangan. "Jadi, kenapa pilih Manajemen Bisnis? Mau jadi CEO kaya raya, ya?"

Aku menggeleng. Ada rasa aneh saat menyebutkan alasanku.

"Aku hanya butuh pekerjaan stabil setelah lulus. Untuk membantu keluarga." Jawabanku terdengar sangat membosankan, bahkan di telingaku sendiri. Pragmatis dan tanpa mimpi, persis seperti yang kusukai.

Rina terdiam sejenak, senyumnya sedikit meredup seolah ia baru saja salah bicara. Matanya yang jernih menatapku, seolah mencoba membaca pikiranku.

"Oh ... tentu saja. Pekerjaan stabil penting. Sangat penting, malah. Apalagi kalau untuk keluarga." Nada suaranya berubah lebih serius, penuh pengertian.

"Kamu sendiri? Kenapa Manajemen Bisnis?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik yang terasa canggung dan terlalu personal.

Matanya langsung berbinar lagi, seolah obrolan sebelumnya tak pernah terjadi.

"Karena kata Papaku, jurusan manajemen bisnis paling aman untuk masa depan. Walaupun sebenarnya aku lebih suka film. Aku pikir nggak ada salahnya belajar bisnis, mungkin nanti bisa bantu aku buat bikin rumah produksi yang keren tapi juga menguntungkan."

"Keren," ucapku tulus. Aku mengagumi semangatnya, semangat yang berani mengutarakan mimpi di tengah realitas yang mungkin tidak sejalan. Sesuatu yang kurasa sudah lama ku pendam dalam-dalam, jauh di bawah lapisan pragmatisme yang ku bangun.

"Lihat ... lihat," katanya sambil mencondongkan tubuh sedikit, suaranya berubah menjadi bisikan konspirasi, matanya melirik ke arah sekelompok gadis di depan kami. "Mereka seperti keluar dari majalah fesyen, ya? Aku jadi ngerasa salah pakai kaus band."

Aku melirik ke sekeliling. Gadis-gadis dengan rambut tertata sempurna, tas tangan mungil yang mungkin berharga puluhan juta, pria-pria dengan jam tangan yang harganya mungkin bisa dipakai untuk biaya hidupku setahun. Mereka semua memancarkan aura kemewahan yang tak pernah kudapatkan.

"Aku juga," gumamku pelan, nyaris tak terdengar, merasa seperti bayangan di antara mereka.

"Ah, nggak juga! Flanel mu bagus, kok. Klasik. Lagian, yang penting kan otak kita, bukan isi lemari kita. Benar nggak?" Rina menyenggol lenganku pelan, memberiku senyuman meyakinkan.

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban, merasa sedikit lebih ringan. Rina sepertinya tipe orang yang bisa menemukan sisi positif dari segala hal, seseorang yang hidup di dunia yang sama denganku, tapi melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Mungkin kacamata berbingkai merahnya memang ajaib, mampu mengubah perspektif.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu mau masuk UKM apa?"

"UKM?" Aku mengernyit. Aku belum sempat memikirkan hal semacam itu. Jadwalku sudah penuh dengan kelas dan kerja.

"Unit Kegiatan Mahasiswa. Klub. Aku mau ikut klub debat dan jurnalistik. Mungkin klub pecinta film juga kalau waktunya cukup. Kamu harus ikut sesuatu, Tara! Biar nggak bosen."

"Aku ... harus kerja paruh waktu. Mungkin tidak ada waktu untuk ikut klub." Lagi-lagi, jawabanku memadamkan semangatnya, seperti meniup lilin. Aku merasa bersalah. Rina adalah orang pertama yang berbicara ramah padaku, dan aku terus-menerus merusak suasana dengan realitas ku yang suram.

"Kerja paruh waktu? Wah, kamu hebat banget!" pujinya tulus, matanya membesar. "Di mana?"

"Sebuah kafe, tidak jauh dari kampus."

"Keren! Nanti aku mampir, deh! Minta diskon teman, ya!" Rina menyengir lebar.

Aku tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar, rasa bersalahku sedikit terangkat. Mungkin ... mungkin punya satu teman tidak akan menghancurkan rencanaku. Mungkin aku tidak harus benar-benar sendirian, berjuang dalam keheningan kampus. Sebuah ikatan kecil bisa jadi penguat, bukan penghancur.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penguasa Hati   Bab 33

    Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi

  • Penguasa Hati   Bab 32

    Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k

  • Penguasa Hati   Bab 31

    Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A

  • Penguasa Hati   Bab 30

    Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang

  • Penguasa Hati   Bab 29

    Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal

  • Penguasa Hati   Bab 28

    Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status