Tara Nadira tak menyangka sedikit pun akan berurusan dengan Azlan Sharim, Mahasiswa pindahan yang menjadi pria yang paling ia hindari di kampus. Bukan karena membencinya, justru karena ia takut terperangkap dalam pesonanya yang mampu menaklukan bayak gadis.
Lihat lebih banyak"Tara, hati-hati langkahmu. Lumpur di sana licin sekali," suara Ayah memecah keheningan pagi yang basah.
Aku mengangguk, tanpa menoleh. Tangan-tanganku yang kotor menancapkan bibit padi satu per satu. Aroma tanah basah dan padi yang mulai menguning. Bagiku, itu aroma rumah, aroma masa depan yang ingin ku ubah. Ayah mengawasi dari belakang, sesekali membetulkan capingnya. "Sudah berapa banyak, Yah?" tanyaku, memecah kesunyian yang terlalu nyaman. Terlalu nyaman membuatku lupa kenapa aku di sini, kenapa tangan-tangan harus bekerja keras lebih dari biasanya. Ayah tertawa pelan. "Lebih banyak dari yang bisa kamu hitung, Nak. Kenapa? Sudah capek, ya? Hari ini bukan hari biasa, Ibu bilang." Aku membalikkan badan, menatap wajahnya yang keriput oleh matahari. Ada cinta tak terhingga di sana, juga harapan yang berat. "Bukan capek, Yah. Hanya saja, hari ini bisa jadi hari terakhir Tara membantu di sawah, ya kan? Sebelum berangkat, kalau nanti Tara lolos beasiswa kuliah. Jadi ingin tahu berapa banyak yang sudah Tara kerjakan, sebagai kenang-kenangan." "Hari terakhir?" Ayah menggeleng. "Kamu bicara apa, Nak? Kamu akan selalu bisa kembali ke sini. Sawah tak akan ke mana-mana. Tanahmu. Rumahmu." Ia tahu persis apa yang ku maksud, dan apa yang ku khawatirkan. Aku menghela napas. "Maksud Tara, sebelum Tara jadi mahasiswi beneran. Kalau lolos beasiswa penuh ke Sharim." Kalimat terakhir meluncur begitu saja, lebih seperti sebuah doa daripada pernyataan. Ada gumpalan kecemasan di perutku. Hening sejenak. Hanya kicauan burung dan gemericik air yang terdengar. Ayah menepuk pundakku. "Sudah Ibu bilang, kan? Kamu pasti lolos. Nilaimu selalu yang terbaik. Sekolahmu gratis terus sejak SD. Ini bukan cuma harapan kosong, Tara. Kamu memang pantas mendapatkannya." Aku hanya tersenyum tipis. Rasa minder, atau mungkin realistis, selalu menggerogoti. Kampus Sharim? Bukan main-main. Universitas swasta dengan reputasi mentereng, khusus untuk anak-anak orang kaya. Aku, anak petani dari desa terpencil, bahkan tidak akan berani bermimpi menginjakkan kaki di sana jika bukan karena beasiswa penuh yang dijanjikan Yayasan. "Iya, Tara tahu, Yah. Tapi tetap saja. Rasanya seperti ... terlalu bagus untuk jadi kenyataan," kataku, merunduk, kembali menancapkan bibit padi. Ada rasa takut yang mengendap. Takut mengecewakan. Takut bahwa semua kerja keras akan sia-sia. "Rezeki ada jalannya sendiri, Nak. Jangan pernah meremehkan dirimu sendiri," Ayah berujar lembut, lalu tiba-tiba mendongak ke arah gubuk. "Ayo, cepat ke Ibu. Dia tadi bilang, ada kabar penting yang sudah tiba." "Kabar penting?" Jantungku berdebar tak karuan. Mungkinkah? Hari ini adalah jadwal pengumuman beasiswa. Aku membersihkan kaki di selokan irigasi secepat kilat, lalu berlari kecil menuju gubuk bambu. Ibu duduk di bangku kayu, tangannya sibuk menganyam tikar pandan. Namun, ada selembar amplop putih di pangkuannya, tergeletak mencolok di antara serat-serat hijau. Amplop yang sama, dengan lambang Yayasan Sharim yang megah. "Ibu!" Aku tersengal, napas memburu. Ibu mendongak, matanya yang teduh menyambut ku. Ada senyum tipis di bibirnya, namun matanya memancarkan kegugupan yang sama denganku. "Sudah selesai membantu Ayah?" "Iya, sudah. Ibu, ini surat apa?" Aku menunjuk amplop yang seolah memancarkan auranya sendiri. "Surat dari Sharim. Baru saja diantar Pak Pos. Ibu belum berani membukanya," bisik Ibu, suaranya sedikit bergetar. Dia menyerahkan amplop pada tanganku, tangannya dingin, seolah takut menyentuh takdir di dalamnya. Aku meraihnya. Amplop terasa tebal dan penting di genggamanku. Seluruh tubuhku kaku, detak jantungku berpacu seperti genderang perang. Ini nasibku, nasib keluargaku, tergambar dalam beberapa lembar kertas. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Buka saja, Nak. Kita hadapi bersama, apa pun hasilnya," kata Ayah, yang ternyata sudah tiba di belakangku. Tangannya mengusap puncak kepalaku, memberikan kekuatan. "Kami selalu bangga padamu, apa pun yang isi surat itu." Aku membuka mata, menatap wajah kedua orang tuaku. Wajah-wajah yang penuh harapan, yang telah mengorbankan segalanya demi pendidikanku. Aku tahu aku tidak boleh mengecewakan mereka. Tidak boleh ada kata gagal. Dengan gemetar, ku robek perlahan tepi amplop, seperti membuka kotak harta karun berisi permata atau justru kehancuran. Kertas tebal berlogo Sharim muncul. Aku menariknya keluar. Mata memindai cepat, mencari kata kunci: 'selamat', 'diterima', atau sebaliknya. "Apa, Nak? Bagaimana?" Ibu bertanya, tak sanggup menahan rasa ingin tahu yang menggerogoti. Ayah menahan lengannya. "Sabar, Bu. Beri Tara waktu." Aku merasakan tenggorokanku kering. Aku mulai membaca. Setiap kata terasa dicetak tebal, berteriak di benakku. "Kepada Yth. Saudari Tara Nadira ...." Aku melanjutkannya dalam hati, bergerak lebih cepat. Ada kata 'dengan bangga', 'penerima beasiswa penuh', 'seluruh biaya perkuliahan', 'uang saku bulanan'. Kata-kata itu menari-nari, membentuk sebuah melodi kemenangan yang menggema di setiap serat tubuhku. "Tara ... Tara lolos!" suaraku pecah, campuran antara lega, haru, dan tak percaya. Aku mendongak, menatap Ayah dan Ibu, air mata mulai menggenang di pelupuk mata. "Tara lolos, Yah, Bu! Tara diterima di Universitas Sharim!" Ibu langsung memelukku erat, tangisnya pecah di bahuku. Ayah ikut memeluk kami berdua, tawa kecilnya menyertai air mata bahagia yang membasahi pipi. "Lihat, kan? Ibu bilang juga apa. Kamu anak pintar, Nak." "Bukan cuma pintar, Bu. Tara juga anak yang gigih. Anak yang selalu tahu apa yang dia mau," tambah Ayah, suaranya serak. "Dan sekarang, mimpimu mulai jadi nyata." Aku membalas pelukan mereka, erat sekali. Hangat dan penuh cinta. Di tengah pelukan hangat orang tuaku, di gubuk bambu sederhana kami, di antara hamparan padi yang menguning, aku tahu hidupku akan berubah total. Aku telah mengamankan tiketku. Namun aku juga tahu, ini baru permulaan. Perjalanan sesungguhnya baru akan dimulai. Dan aku harus siap, karena dunia yang akan ku jelajahi pastilah sangat berbeda dari sawah. Dunia yang penuh dengan janji, tapi juga mungkin penuh bahaya dan tantangan yang belum pernah kubayangkan. Aku mendekap surat beasiswa di dadaku, seolah ia adalah peta menuju masa depan. Sebuah masa depan yang mahal, yang tidak boleh hancur karena hal lain, apalagi karena hati yang goyah. Aku berjanji pada diriku sendiri. "Aku tidak akan pernah melupakan alasan utama kenapa aku pergi," bisikku pada diriku sendiri, lebih seperti sebuah sumpah. "Tidak akan ada yang bisa menghentikan ku. Tidak akan ada."Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi
Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k
Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A
Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang
Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal
Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen