Share

Bab 3

"Gadis ini ...." Azlan tak bisa berkata apa-apa lagi hingga gadis itu keluar dari kelas, masih dengan senyum menggantung di bibirnya. Untuk pertama kalinya Azlan terdiam di depan seorang gadis. 

Anis yang duduk di depannya langsung mengambil kesempatan untuk duduk di tempat Tara, walaupun ia sempat ragu melakukannya, tapi akhirnya tetap duduk juga di samping Azlan. 

"Hai, kenalin namaku Anis." Selama ini tak pernah Anis mengajak seorang pria berkenalan dengannya, semua pria ingin mendekatinya. Hanya pada Azlan yang tak memilihnya tadi, ia bisa bersikap seperti ini. Karena merasa tertantang untuk mendapatkan perhatian dari pria yang kini sedang menatapnya tersebut. 

"Azlan!" 

Elsa dan gadis-gadis yang lain langsung kecewa saat melihat Azlan merespon Anis dengan senyumnya yang menawan. Tanpa berkata apapun, mereka tahu, siapa pemenangnya di sini. mereka tak punya kesempatan lagi. 

Semuanya akhirnya memilih untuk keluar dari kelas. 

Darren yang sudah menaruh hati pada Anis sejak mereka masuk kuliah, namun masih enggan menyatakan perasaannya hingga hari ini, menatap geram pada Azlan. Tapi karena tak ingin Anis membencinya, ia pun terpaksa membiarkan hal itu terjadi. 

"Sabar Bro! Kita bikin perhitungan sama dia! Aku akan suruh Ardi untuk cari tahu tentang si Azlan itu, Kita lihat seberapa hebatnya dia!" Erik menenangkan Darren yang menatap Azlan dengan emosi. 

Setelah mendengar solusi dari sahabat karibnya yang akan menugaskan orang kepercayaan Ayahnya untuk mencari tahu tentang Azlan, tepatnya mencari kelemahan pria itu agar mudah melumpukannya nanti, Darren pun menganggukan kepalanya dan memutuskan untuk ke luar dari kelas. 

Mereka bergegas ke Cafe dekat kampus untuk membicarakan rencana selanjutnya sembari menunggu jam kuliah selanjutnya yang masih dua jam lagi. Itulah bedanya kampus ini dengan yang lainnya. Meski terkenal dengan mahasiswa yang sebagian besar berasal dari kalangan kelas atas, namun kualitas mahasiswanya tak perlu diragukan lagi. Standar nilai yang ditetapkan cukup tinggi, ditunjang dengan Dosen yang memang ahli di bidangnya dan yang pasti digaji dengan angka fantastis. Hingga tak mudah mempengaruhi para Dosen ini dengan sejumlah uang, karena resikonya mereka tahu akan seperti apa. Jika ada yang ketahuan menerima suap sekecil apa pun yang berhubungan dengan perkuliahan, maka bisa dipastikan karirnya akan hancur. 

Setelah kepergian Darren dan Erik yang juga diikuti dengan mahasiswa yang lain, tinggallah Anis dan Azlan di kelas yang kini sunyi tersebut. Sejak Azlan menyebutkan namanya beberapa menit yang lalu, tak ada percakapan yang terjadi antara mereka berdua. Tiba-tiba rasa canggung dirasakan Anis, ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sampai akhirnya Azlan bersuara lebih dulu. "Jadi Anis, ada yang bisa Aku bantu?" tanya Azlan pada gadis di depannya yang semakin salah tingkah ditanya seperti itu. 

"Eng -- enggak ada, Aku ... hanya ingin bertanya sesuatu ...." jawab Anis dengan lebih gugup. Ia bahkan harus meremas jari-jarinya sendiri. Untuk pertama kalinya ia merasa segugup ini dalam hidupnya. Lebih gilanya lagi ia merasakannya pada seseorang yang baru ia kenal.

"Tentang?" tanya Azlan singkat dengan tatapan intens yang membuat aliran darah Anis terasa semakin cepat mengalir di dalam tubuhnya dengan lonjakan jantung yang sulit ia kendalikan. Wajahnya bahkan sampai bersemu merah dibuatnya. 

"Kenapa Kamu lebih memilih duduk di sini?" Walalu membutuhkan waktu yang cukup lama, kalimat itu akhirnya terucap dengan lancar juga. Tentu setelah Anis mencoba untuk tenang dan tak terlihat terlalu mendambakan Pria yang tampak sangat keren di matanya. Meskipun Anis tahu usahanya sia-sia. Tentu sikap gugupnya tak bisa menampik itu semua.

"Ada masalah dengan itu Anis?" Tatapan mata Azlan menghujam sampai ke jantungnya. Anis merasa kehilangan kewarasannya saat berhadapan dengan Azlan. Harusnya ia menampar pria yang sedang menatapnya dengan senyumnya yang manis itu sekarang. Tapi sialnya respon otaknya justru berbeda. Ia malah mengagumi semua yang melekat pada sosoknya dan juga setiap perkataan pria berwajah tampan dengan garis wajah yang jelas bak pahatan sempurna tanpa cela. Setidaknya itulah yang Anis lihat. 

"Apa ... Aku tidak menarik?" Anis langsung melemparkan pandangannya ke bawah meja karena tak mampu menahan rasa malu yang menjalar sampai ke wajahnya yang sekarang sudah berwarnah merah. Ia merasa tak berkutik dan bahkan harus terlihat semudah itu untuk didapatkan. Gadis bermata lentik itu semakin meremas semua jari-jemarinya.

"Apa yang sudah AKu lakukan sekarang? Anis, Kamu gadis tercantik di kelas ini. Banyak yang tergila-gila padamu. Sekarang? Kamu sudah begitu mudahnya jatuh pada orang yang baru pertama kamu temui? Sadarlah Anis!" batin Anis dalam diamnya. Seberapa kuatnya ia mencoba untuk mengendalikan dirinya, selalu saja kalah oleh kekagumannya akan pesona seorang Azlan. Sialnya Pria yang telah menaklukan hatinya pada waktu yang singkat itu bahkan tak bersuara hingga Anis merasa kecewa dan mengutuk dirinya sendiri. Sayangnya, Anis terlalu malu untuk mengangkat wajahnya yang terasa semakin panas karena rasa malunya yang kian bertambah. 

"Jangan mengenggam jarimu seperti itu, bisa sakit nanti." Anis merasa aliran listrik menjalar di kulitnya saat jemari Azlan memisahkan kedua telapak tangannya yang saling bertaut. Semakin bergetar hatinya, kala tangan yang sama mengangkat dagunya dan memaksa wajahnya menatap mata tajam milik Azlan yang kini tepat ada di depannya. Tanpa terasa jarak yang tercipta antara keduanya hanya tinggal beberapa centi, semakin lama wajah mereka semakin dekat seiring dengan detak jantung Anis yang semakin cepat memompa aliran darahnya. Ia bahkan merasa bisa mendengar detakannya. Tapi gadis berwajah oval itu tak ingin melewatkan moment ini. Sampai akhirnya ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status