Aroma kertas tua dan debu yang mengendap adalah parfum ku. Dengung rendah pendingin ruangan adalah musik latar ku. Dan cahaya biru dari layar laptop adalah matahariku.
Aku ingat betul, perpustakaan pusat Universitas Sharim pada hari-hari awal semester pertama adalah kerajaanku; sebuah benteng yang ku bangun untuk melindungi satu-satunya harta yang kumiliki: mimpiku. Di sanalah Rina menemukanku sore hari itu, terbenam di antara tumpukan buku referensi setebal batu bata. “Tara Nadira. Aku bersumpah, kalau ada lomba menghilang di antara rak buku, kamu pasti sudah jadi juara dunia.” Aku tidak mengangkat kepala, hanya menggeser pandangan sedikit ke kiri. Sepatu kets berwarna permen karet dan ujung celana jin sobek miliknya adalah pemandangan yang kontras dengan lantai marmer yang serius. “Satu paragraf lagi, Rin.” “Paragraf mu nggak akan lari, Tar. Tapi kesempatanku untuk menyeret mu melihat dunia luar hampir habis. lihatlah aku.” Aku menghela napas, menyimpan pekerjaanku, lalu memutar kursi menghadapnya. Rina berdiri di sana, tangan di pinggang, dengan ekspresi yang merupakan campuran antara gemas dan putus asa. “Ada apa?” tanyaku, berusaha terdengar sabar. “Ada apa? Kamu tanya ada apa?” Ia menarik kursi di seberangku, menimbulkan derit pelan yang membuat beberapa kepala menoleh. Ia mengabaikan mereka. “Sudah tiga minggu kita resmi jadi mahasiswi. Tiga minggu! Dan satu-satunya tempat nongkrong yang kamu tahu cuma tiga: ruang kelas, tempat suci, dan kafe tempatmu bekerja.” Aku menunjuk tumpukan buku di mejaku. “Tempat suci yang kamu maksud adalah perpustakaan. Dan alasannya ada di sini.” “Oh, ayolah!” bisiknya, kini lebih pelan. “Anak-anak jurusan mau karaokean malam nanti. Sekalian merayakan tugas pertama yang selesai. Kamu harus ikut. Wajib. Perintah dari satu-satunya temanmu.” Aku menggeleng pelan, hampir secara otomatis. “Tidak bisa.” “Kenapa?” “Jadwal kerjaku.” “Bolos sehari nggak akan membuatmu dipecat.” “Tapi akan membuat uang makanku untuk dua hari ke depan hilang.” Rina memutar bola matanya. “Aku traktir.” “Aku tidak suka ditraktir.” “Tara!” Ia merengek. “Kenapa kamu mempersulit segalanya? Kamu bahkan belum mencoba. Bagaimana kamu tahu kamu nggak suka karaoke kalau belum pernah coba? Bagaimana kamu tahu anak-anak lain nggak asyik kalau kamu nggak pernah bicara lebih dari lima menit sama mereka?” Aku menatapnya lurus. Di balik kacamataku, aku tahu tatapanku pasti terlihat dingin. Aku memang sengaja mendinginkannya. Dinding pertahanan harus tetap kokoh. “Dengar, Rin. Aku menghargai usahamu. Sungguh. Tapi aku di sini bukan untuk mencari teman atau bersenang-senang.” “Terus untuk apa? Menyiksa diri?” “Untuk belajar,” kataku tegas. “Aku punya aturan main. Sederhana saja. Tiga pilar yang menopang hidupku selama empat tahun ke depan.” Rina menyandarkan sikunya di meja, menopang dagu dengan kedua tangan. Wajahnya berubah dari jengkel menjadi penasaran. “Tiga pilar, ya? Coba jelaskan pada rakyat jelata sepertiku, wahai Ratu Pertapa.” “Pertama: Kelas. Aku harus masuk setiap kelas, harus fokus untuk bisa menyerap semua materi, dan mendapatkan nilai A di setiap mata kuliah. Tanpa kecuali.” “Oke, ambisius. Aku suka. Lanjut.” “Kedua: Perpustakaan. Setiap waktu luang di antara kelas ku habiskan di sini. Mengerjakan tugas, membaca materi tambahan, memastikan aku selangkah lebih maju dari yang lain. Tidak ada waktu untuk kopi-kopi cantik atau gosip di taman.” Rina mengangguk perlahan. “Masuk akal, meskipun menyedihkan. Pilar ketiga?” “Kerja. Setiap sore sampai kafe tutup. Aku butuh uang untuk hidup, untuk mengirim sedikit sisa ke kampung. Pekerjaan adalah jaring pengamanku. Jika, entah kenapa, beasiswaku goyah, setidaknya aku punya pegangan.” Aku menyandarkan punggungku ke kursi, merasa telah menjelaskan semuanya dengan logika yang tak terbantahkan. Itulah duniaku. Terstruktur. Aman. Terprediksi. Rina diam sejenak, tatapannya melembut. “Di mana pilar untuk ‘Tara’?” Aku mengerutkan kening. “Maksudmu?” “Pilar untuk dirimu sendiri. Untuk istirahat. Untuk tertawa sampai perutmu sakit. Untuk mencoba es krim rasa baru. Untuk melakukan kesalahan bodoh khas anak kuliahan. Di mana tempat untuk semua itu?” “Tidak ada,” jawabku cepat, mungkin terlalu cepat. “Tidak ada ruang untuk hal-hal semacam itu. Hal-hal sepele.” “Sepele?” Suara Rina meninggi lagi. “Bernapas itu sepele, Tar? Kamu nggak lihat? Kamu menjalankan hidupmu seperti sedang lari maraton, tapi kamu lupa caranya bernapas. Kamu akan tumbang sebelum sampai garis finis.” “Aku tidak akan tumbang,” desisku, merasakan sedikit bara panas di dadaku. Kenapa ia tidak mengerti? “Kamu tidak akan paham, Rin. Kamu tidak tahu rasanya mempertaruhkan segalanya. Bagimu, kuliah mungkin adalah babak baru yang menyenangkan. Bagiku, adalah medan perang. Satu nilai C, satu kesalahan kecil, bisa meruntuhkan semua harapan keluargaku.” Aroma buku di sekelilingku mendadak terasa menyesakkan. Aku bisa melihat bayangan wajah Ayah dan Ibu, tersenyum bangga saat aku berangkat, senyum yang membawa beban harapan setinggi gunung. “Aku nggak bilang kamu harus berhenti berjuang,” kata Rina lembut, seolah bisa membaca pikiranku. “Aku cuma bilang, pejuang juga butuh istirahat. Mereka butuh kawan seperjuangan untuk berbagi cerita di sekitar api unggun. Kamu … kamu berperang sendirian di tengah kegelapan.” “Aku lebih suka begitu. Lebih fokus.” “Bukan fokus, Tar. Itu namanya kesepian.” Kata-katanya menusuk, tepat di titik yang paling rapuh. Aku memalingkan wajah, kembali menatap layar laptop yang menyala. Jemariku mengetik beberapa kata acak, berpura-pura sibuk. “Aku harus menyelesaikan ini,” kataku, sebuah pengusiran halus. Hening sejenak. Aku bisa merasakan tatapan Rina masih tertuju padaku. Aku menunggu ia menyerah dan pergi. Tapi yang kudengar selanjutnya adalah suara kursinya yang didorong mundur dengan pelan. “Baiklah, Ratu. Aku mengerti,” katanya. Suaranya terdengar lelah, seolah ia baru saja kalah dalam sebuah pertempuran. “Aku nggak akan mengganggumu lagi soal karaoke. Tapi tawaranku tetap berlaku.” “Tawaran apa?” tanyaku tanpa menoleh. “Kalau bentengmu suatu saat terasa terlalu sempit dan sepi, pintuku selalu terbuka. Jangan lupa.” Setelah itu, kudengar langkah kakinya menjauh, meninggalkan keheningan yang kini terasa seratus kali lebih berat. Aku berhenti mengetik dan menatap kosong pada paragraf di layar. Kata-kata Rina terus berputar di kepalaku. Kesepian. Bukan, ini bukan kesepian, batinku mencoba meyakinkan diri sendiri. Ini adalah disiplin. Ini adalah pengorbanan. Sebuah harga yang harus ku bayar untuk sebuah tiket menuju masa depan yang lebih baik. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba kembali menghirup aroma kertas yang biasanya menenangkan. Aku kembali bekerja, memaksa otakku untuk fokus pada teori-teori ekonomi mikro yang rumit. Aku berhasil. Selama dua jam berikutnya, duniaku kembali pada tiga pilar kokoh yang telah ku bangun. Kelas, perpustakaan, kerja. Sebuah mantra yang menjaga kewarasanku. Dunia yang ku bangun dengan susah payah. Kokoh. Tak tergoyahkan. Setidaknya, itulah yang kupikirkan saat itu.Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi
Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k
Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A
Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang
Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal
Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai