"Tara, apa Kamu sudah lihat?"
Suara Rina terdengar lebih tajam dari biasanya, membelah keheningan kamar kos ku yang sempit pagi hari itu. Aku mendongak dari buku tebal di pangkuanku, keningku berkerut. "Lihat apa?" "Jangan bilang kamu belum buka media sosial kampus." Aku menggeleng pelan. Bagiku, benda-benda semacam media sosial adalah distraksi. Lubang hitam yang siap menelan waktu berhargaku. Rina mendesah frustrasi. Ia menyodorkan ponselnya ke depan wajahku, layarnya yang terang benderang membuat mataku menyipit. "Aku lupa kamu bahkan nggak punya akun medsos apapun. Lihat ini." Di sana, sebuah foto terpampang. Foto yang diambil dari kejauhan, sedikit buram, tapi cukup jelas untuk mengenali dua sosok di dalamnya. Aku, sedang berhadapan dengan Azlan dan sedang melihat kemejanya yang ternoda. Foto dari insiden kemarin. Judulnya ditulis dengan huruf kapital yang provokatif: PENDEKATAN GAYA BARU? PANGERAN KAMPUS & GADIS BEASISWA. "Ini kerjaan siapa?" tanyaku, suaraku datar, menyembunyikan badai kecil yang mulai bergejolak di perutku. "Siapa lagi kalau bukan Clara dan pasukannya? Lihat komentarnya." Rina menggeser layar ke bawah. Jari-jariku tanpa sadar terkepal di atas sampul buku. ‘Cari perhatian banget, pakai drama tumpah kopi segala.’ ‘Gadis beasiswa memang harus kerja ekstra keras ya, dalam segala hal.’ ‘Tidak tahu malu. Jelas-jelas Azlan tidak suka diganggu.’ ‘Paling juga sengaja biar dibelikan kopi sama Azlan.’ "Sudah, Rin. Cukup." Aku mendorong pelan ponselnya. Pandanganku kembali ke halaman buku di depanku, tapi huruf-huruf di sana kini tak lebih dari sekumpulan cacing hitam yang menari-nari tanpa makna. "Cukup gimana, Ra? Mereka fitnah kamu!" "Biarkan saja." "Tara!" "Aku tidak punya waktu untuk drama, Rina. Aturanku sederhana: abaikan. Mereka akan lelah sendiri." "Tapi reputasi mu .…" "Reputasiku adalah nilaiku," potongku tegas, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. "Selama aku lulus dengan nilai terbaik, omongan mereka tidak ada artinya." Rina menatapku lama, tatapan yang sarat akan kekhawatiran dan sedikit kekecewaan. Ia mungkin menganggap ku pengecut. Tapi ia tidak mengerti. Aku berjalan di atas seutas tali tipis bernama beasiswa. Satu kesalahan, satu drama yang membuatku kehilangan fokus, bisa membuatku jatuh dan menghancurkan segalanya. "Terserah kamu lah," ucapnya akhirnya, nadanya menyerah. "Tapi kalau mereka berbuat lebih, jangan diam saja, ya? kasi tahu aku juga." Aku hanya mengangguk, tenggorokanku terasa kering. Abaikan saja, batinku berulang kali seperti mantra. Abaikan saja. * Mantra itu ternyata tidak cukup kuat untuk membangun dinding pelindung di dunia nyata. Koridor menuju kelas teori pemasaran siang hari itu terasa lebih sesak dari biasanya. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan menusuk dan bisikan-bisikan samar setiap kali aku lewat. Aku menundukkan kepala, memeluk buku-buku ku lebih erat seolah benda-benda mati tersebut bisa menjadi perisai. "Permisi." Sebuah suara yang sengaja dibuat semanis madu beracun menghentikan langkahku. Aku tidak perlu mendongak untuk tahu siapa pemiliknya. Aroma parfum yang menyengat sudah lebih dulu mengumumkannya. Clara. Aku mencoba melewatinya, tapi kedua temannya dengan sigap memblokir jalan. "Mau ke mana buru-buru?" tanya Clara, senyumnya terpatri sempurna di bibir merahnya. "Kami hanya ingin menyapa selebritas baru di kampus." Aku tetap diam. Meladeninya hanya akan memberinya kepuasan. Salah satu temannya, seorang gadis berambut pirang, tertawa kecil. "Hebat juga ya caramu. Pasti sudah direncanakan matang-matang, kan? Menjatuhkan kopi di dekat Azlan?" "Aku tidak sengaja," jawabku singkat, suaraku nyaris tak terdengar. "Oh, tentu saja," sahut Clara lagi, nadanya meremehkan. "Kecelakaan kecil yang berbuah secangkir kopi mahal dari seorang pangeran. Cukup menguntungkan, bukan?" Darahku terasa membeku. Telingaku berdenging. Puluhan pasang mata kini tertuju pada kami, menjadikan koridor sebagai panggung pertunjukan mereka. "Aku harus ke kelas," kataku, mencoba mendorong pelan salah satu dari mereka. Clara menahan lenganku. Cengkeramannya tidak keras, tapi terasa menghina. "Tunggu dulu," desisnya, senyumnya memudar, digantikan oleh tatapan dingin yang menusuk. "Aku hanya ingin memberimu nasihat kecil. Orang sepertimu sebaiknya tahu diri. Azlan bukan untuk mainanmu. Bermimpi lah sesuai dengan kapasitas dompetmu." Perutku terasa seperti diremas. Hinaan tentang status sosial selalu menjadi yang paling menyakitkan. "Oh, aku lupa," ia menambahkan dengan tawa renyah yang dibuat-buat, seolah baru saja teringat sesuatu yang sangat lucu. "Mungkin kopi seharga dua puluh ribu sudah terhitung barang mewah untukmu, ya? Pantas saja kamu begitu bahagia saat dia traktir." "Cukup!" Aku menyentakkan tanganku hingga terlepas, tidak lagi peduli pada tatapan orang-orang. Aku mendorong bahu temannya yang menghalangi jalan dan bergegas pergi, hampir berlari, meninggalkan tawa mengejek mereka di belakang. Aku membanting pintu kelas dan langsung menuju kursi di barisan paling belakang, di sudut. Napas ku memburu. Tanganku gemetar hebat hingga aku harus menyembunyikannya di bawah meja. Dinding pertahananku retak. Mantra ‘abaikan saja’ hancur berkeping-keping.Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi
Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k
Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A
Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang
Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal
Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai