Aroma kopi yang menguar tajam bercampur dengan kepanikan yang menusuk. Waktu seolah melambat, namun rasa panas di tanganku terasa begitu cepat. Aku meringis, mataku terbelalak melihat noda hitam pekat yang kini merusak kemeja putih mahal yang Azlan kenakan.
"Maaf, maafkan aku! Aku tidak lihat—” Napas ku tercekat. Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya, jarak antara kami begitu dekat, begitu tidak nyaman. Mata Azlan yang biasanya dingin, kini menatapku. Ada campuran keterkejutan dan—entahlah, mungkin sedikit rasa muak? Mustahil dia tidak marah. Kemejanya pasti seharga gaji bulanku. “Kau baik-baik saja?” Suaranya dalam, nyaris seperti gumaman. Aku berkedip. Baik-baik saja? Dia yang seharusnya marah karena kemejanya kotor. Dia yang seharusnya mencaci maki kecerobohanku. Bukan bertanya keadaanku. “Aku … aku minta maaf,” kataku, berusaha menenangkan napas ku yang memburu. “Aku benar-benar tidak melihatmu. Ini … ini salahku.” Aku menunjuk noda kopi di kemejanya, lalu ke cangkirku yang tergeletak miring di lantai, isinya tumpah ke mana-mana. Aroma itu semakin kuat, menyesakkan. Beberapa pasang mata di kedai itu sudah menatap kami, dan aku bisa merasakan pipiku menghangat karena malu. Terutama, aku bisa merasakan tatapan menusuk dari meja Clara dan gerombolannya. Senyum sinis di wajah Clara semakin lebar, seolah ia baru saja memenangkan lotere. Azlan menatap noda di kemejanya, lalu kembali padaku. Dia tidak terlihat marah, atau jijik, hanya … kosong. Atau mungkin aku salah membaca ekspresinya. Dia selalu sulit ditebak. “Tidak masalah,” katanya, suaranya datar. Dia bahkan tidak mencoba membersihkan noda itu. “Tidak masalah?” Aku hampir berteriak. “Tentu saja ini masalah! Kemeja mu … aku akan menggantinya! Berapa harganya? Aku akan mencucinya … atau beli yang baru.” Aku mulai panik, memikirkan berapa biaya yang harus ku keluarkan. Tabunganku tidak bisa menanggung kecerobohan sebesar ini. Azlan mendesah pelan, suara yang nyaris tak terdengar. “Tidak perlu.” Kemudian, matanya menyapu sekeliling, berhenti sejenak di meja Clara yang kini menahan tawa. Aku tidak tahu mengapa, tapi ada perubahan kecil dalam sorot matanya. Dari kekosongan, menjadi sesuatu yang lebih gelap. Sedikit. Sangat sedikit, hingga hampir tidak terlihat. “Kau harus membersihkan tanganmu,” ucap Azlan, mengabaikan tawaranku soal kemejanya. Dia melangkah mundur sedikit, membuka ruang. “Ayo.” “Ayo ke mana?” tanyaku, bingung. Dia tidak menjawab, hanya berbalik dan mulai berjalan menuju meja barista. Aku hanya bisa mengikutinya, seperti boneka yang ditarik talinya. Aku masih meniup tanganku yang memerah, rasa panasnya mulai mereda, digantikan oleh perih yang tumpul. Di depan barista, Azlan memesan. “Satu kopi hitam pekat, satu es teh manis.” Barista itu tampak terkejut, menatap Azlan dengan bingung. Mungkin karena penampilannya yang berantakan, atau mungkin karena dia baru saja menolak Clara. Semua orang di kampus ini memang aneh. “Untuknya,” kata Azlan, menunjukku. Jantungku berdebar tak karuan. Ini terlalu aneh. Terlalu baik. Dari Azlan? Pria yang baru saja mempermalukan Clara di depan umum? Pria yang kata Rina adalah benteng tak tertembus? Dia sekarang berdiri di sampingku, membeli minuman baru untukku. “Tidak, tidak perlu!” kataku buru-buru. “Aku bisa beli sendiri.” Azlan menatapku lagi, tatapannya tidak terbaca. “Kau sudah menumpahkannya. Biar aku ganti.” “Tapi aku yang menumpahkannya padamu!” “Aku bilang, tidak perlu.” Kali ini, ada sedikit ketegasan dalam suaranya yang membuatku terdiam. Itu bukan ketegasan marah, melainkan ketegasan yang tak mau dibantah. Kami menunggu dalam keheningan yang canggung. Aku bisa merasakan tatapan Clara yang membakar punggungku. Aku bisa mendengar bisikan-bisikan di sekitarku, mulai menebak-nebak. Pasti mereka mengira aku sengaja. Sengaja menumpahkan kopi untuk menarik perhatiannya. Oh, betapa salahnya mereka. Saat barista menyerahkan dua gelas pesanan, Azlan mengambil keduanya. Satu untukku, kopi hitam pekat yang belum sempat ku minum tadi, dan satu lagi es teh. “Ini.” Dia menyerahkan kopi itu padaku. Tangannya menyentuh punggung tanganku sebentar. Sentuhan singkat, tapi berhasil membuat debaran asing itu kembali mengusik. “Terima kasih,” gumamku, hampir tidak terdengar. Aku masih merasa aneh, canggung, dan sedikit … takut. Takut akan hal yang tidak ku ketahui. Atau takut pada Clara. “Kau perlu sesuatu untuk membersihkan noda di tanganmu?” tanya Azlan, matanya menunjuk ke arah tangan kananku yang memerah. “Tidak, tidak apa-apa. Ini … nanti juga hilang.” Aku berusaha terdengar biasa, tapi suaraku sedikit bergetar. Azlan hanya mengangguk, lalu berbalik. “Aku akan ke toilet untuk membersihkan kemejaku.” Dia meninggalkanku sendirian di tengah kedai yang riuh namun terasa begitu sepi. Aku memegang cangkir kopi yang hangat, menatap punggungnya yang menjauh. Lalu, tatapanku beralih ke meja Clara. Dia menatapku dengan mata menyipit, bibirnya membentuk garis tipis penuh ancaman. Tidak ada lagi senyum sinis. Hanya tatapan penuh amarah. Jantungku berdebar lagi, kali ini bukan karena debaran aneh dari Azlan, tapi karena rasa takut yang nyata. Aku tahu, persis di saat itu, duniaku baru saja jungkir balik. Aku baru saja menabrak tembok yang tidak terlihat, dan bukan hanya Azlan yang merasakan dampaknya. Aku kini menjadi target baru, dan itu semua karena pangeran pindahan yang angkuh itu. Aku menghabiskan kopi baruku dalam tegukan-tegukan kecil, merasakan pahitnya menyengat lidah. Pahit yang sama seperti firasat buruk yang kini merayapi hatiku. Aku tahu, setelah kejadian ini, tidak ada lagi “status quo” bagiku. Dinding yang susah payah ku bangun di sekelilingku, kini perlahan mulai runtuh, bukan karena keinginanku sendiri, tapi karena ulah tak terduga dari seorang Azlan Sharim. Dan tatapan benci Clara adalah bukti yang tak terbantahkan. Ketika Azlan kembali, kemejanya sudah bersih, nyaris tanpa noda. Ia tampak lebih segar, tapi tatapan matanya tetap sama. Dingin. Misterius. Dia berjalan melewati ku lagi, seolah tidak pernah ada insiden kopi. Tapi aku tahu, bagi kami berdua, sesuatu baru saja dimulai. Aku keluar dari kedai kopi, mencoba mencari Rina. Aku harus menceritakan ini padanya. Aku harus mencari tahu apa yang baru saja terjadi. Atau setidaknya, mencari cara untuk keluar dari masalah yang akan datang.Ada semacam keajaiban dalam keheningan yang kami bagi di bangku taman sore itu. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah sisa gerimis sore yang baru saja reda—aroma yang selalu kusebut sebagai petrichor, dan Azlan selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkannya. Lampu-lampu taman baru saja menyala, memantulkan cahaya keemasan di atas dedaunan yang basah, menciptakan permadani berkelip di sekeliling kami. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, merasakan tekstur kain kemejanya yang lembut di pipiku. Napasnya teratur, dalam, sebuah melodi damai yang beberapa tahun lalu hanyalah sebuah angan-angan baginya. “Kamu tahu,” suaraku memecah keheningan, lebih pelan dari bisikan. “Aku masih ingat betul bagaimana canggungnya momen pertama kita di bawah payung, tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang.” Azlan terkekeh pelan, getaran di dadanya menjalar ke seluruh tubuhku. “Canggung? Menurutku kamu lebih terlihat seperti kucing liar yang siap mencakar siapa pun yang mendekat.” Aku mencubi
Hari itu, semuanya terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang dulu kupikir terlalu muluk untuk digapai, kini terbentang nyata di depan mata. Jubah toga hitam itu terasa berat namun memancarkan kebanggaan, lencana cum laude di dadaku berkilau di bawah lampu aula. Aku berdiri di panggung, menatap lautan wajah bangga di depanku, mencari-cari mereka. "Lihat, Tara! Orang tua kita!" Rina berbisik di sampingku, suaranya tercekat. Ia meraih lenganku, menguatkan ku. Aku mengangguk, mataku berkaca-kaca. Tangan Ibu melambai, senyumnya begitu lebar hingga matanya menyipit. Ayah tersenyum kecil, namun di matanya terpancar keharuan yang tak terhingga. Orang tua Rina juga ada di sana. Di samping mereka, Azlan berdiri tegak, tatapannya lekat padaku. Senyum tipisnya adalah sebuah janji, sebuah dukungan yang tak pernah goyah. Setelah upacara, keramaian memenuhi lobi. Aku nyaris tenggelam dalam pelukan Ibu yang erat. "Anak Ibu pintar sekali," bisiknya, suaranya bergetar. "Terima kasih, Nak. Terima k
Aku ingat dengan jelas bagaimana deru mesin sedan mewah yang Azlan kendarai perlahan meredup, digantikan oleh orkestra alam yang selama bertahun-tahun menjadi lagu pengantarku. Suara jangkrik, gemericik air dari selokan kecil, dan desau angin yang menyapu pucuk-pucuk padi. Perjalanan berjam-jam dari gemerlap kota berakhir di sebuah jalan setapak yang hanya muat untuk satu mobil. Di sinilah duniaku dimulai, dan aku gemetar memikirkan bagaimana dunia Azlan akan bertabrakan dengannya. “Kita sudah sampai,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Azlan mematikan mesin. Hening sejenak. Aku melihatnya menatap lurus ke depan, ke hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani raksasa di bawah langit sore. Aroma tanah basah sehabis hujan kemarin sore merembes masuk ke dalam mobil, aroma yang bagiku adalah rumah. Aku bertanya-tanya, aroma apa yang tercium olehnya? Asing? Atau menenangkan? “Jadi … tempat magis-mu ada di sini?” suaranya memecah keheningan, lembut dan penuh kekaguman. A
Aku ingat hari itu sejelas kristal. Udara di perpustakaan terasa pekat dengan aroma kertas tua dan janji masa depan, sebuah kontras yang ironis dengan awan gelap yang selama berbulan-bulan menggantung di atasku. Kami duduk di sudut terpencil, hanya diterangi oleh lampu baca berwarna kuning hangat yang membuat wajah Azlan terlihat lembut. "Sudah selesai." Suaranya memecah keheningan yang nyaman di antara kami. Aku mendongak dari buku yang bahkan tidak ku baca. "Selesai? Apanya yang selesai?" "Clara. Dan semua masalahnya." Aku meletakkan buku. Seluruh tubuhku menegang. "Apa maksudmu?" "Aku sudah melaporkannya ke komite disiplin. Dengan semua bukti yang ku kumpulkan. Insiden laboratorium, kesaksian beberapa mahasiswa yang melihatnya, rekaman cctv yang menangkap apa yang terjadi di gudang, semuanya." Napas yang tak kusadari ku tahan, akhirnya terlepas dalam satu embusan panjang. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menekan pundakku akhirnya terangkat. Tapi ada rasa lain yang
Ponselku bergetar di atas tumpukan buku catatan, memecah keheningan kamar kos yang selama berbulan-bulan menjadi salah satu tempat ternyaman ku. Sebuah notifikasi singkat dari nomor yang kini kusimpan dengan nama aslinya, bukan lagi ‘Pria Misterius’ atau ‘Pengganggu’. [Azlan: Kencan?] Satu kata. Hanya satu kata tanpa basa-basi, namun cukup untuk membuat jantungku melakukan maraton di dalam rongga dada. Aku menatap layar, membaca ulang kata sederhana tersebut seolah mengandung sandi rahasia. Setelah semua kebenaran yang terungkap, setelah permintaan maaf dan pengampunan yang hening di taman kampus hari sebelumnya, kami berdiri di titik nol. Dan kata tersebut adalah langkah pertama. [Aku: Kencan seperti apa?] Balasanku terasa kaku, pragmatis. Bagian diriku yang lama masih berusaha mengambil alih, menuntut kejelasan dan rencana yang logis. [Azlan: Seperti yang kamu mau. Aturannya, kamu yang tentukan tempatnya. Aku hanya akan mengikuti.] Aku tersenyum tipis. Dia menyerahkan kendal
Dengan napas tersengal, aku berlari. Bukan lagi lari dari Azlan, tapi lari menuju dirinya. Koridor kampus yang ramai terasa sunyi, suara tawa mahasiswa lain terdengar seperti dengungan jauh. Hanya ada derap langkahku dan detak jantungku yang memukul-mukul tulang rusuk, menuntut sebuah pertanggungjawaban. Aku tidak tahu di mana harus mencarinya, tapi kakiku seolah punya pikiran sendiri. Mereka membawaku melewati gedung fakultas, melintasi pelataran, menuju satu-satunya tempat di kampus yang menawarkan sedikit kedamaian: taman di tepi danau. Dan di sanalah ia. Duduk sendirian di bangku kayu yang menghadap ke air yang tenang. Dari belakang, punggungnya terlihat tegap namun sarat akan kesepian. Bahunya yang lebar tampak menanggung beban yang tak seharusnya. Beban pencarian selama tiga tahun. Beban penolakan demi penolakan dariku. Aku berhenti beberapa meter di belakangnya, mencoba mengatur napas yang tak mau diatur. Suara apa yang harus ku keluarkan? Kata apa yang pantas untuk memulai