Share

Bab 8

Tara Nadira baru saja selesai mandi dan merasa segar kembali. Ia segera membuat makan malam yang sederhana untuk dirinya sendiri, dan makan dengan lahap. Biasanya nafsu makannya akan meningkat ketika ia merasa lelah. Hari ini adalah salah satu hari yang paling melelahkan bagi Tara. Bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga hati dan fikirannya. 

Selama ia kuliah di Sharim Universitas, tak pernah sekalipun ia mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman sekelasnya. Karena memang ia selalu menghindar dari mereka, dan semua hal yang sekiranya bisa mendatangkan masalah pada teman-temannya.

Sejauh ini semua itu berhasil untuknya, Tara bahkan selalu membantu mereka sebisanya. Tapi, hari ini semua berubah. Hanya karena orang itu, seseorang yang baru datang di kelasnya. Seluruh perhatian para gadis telah beralih pada sosoknya yang misterius. 

Tara mengambil salah satu majalah bisnis yang tadi ia pinjam dari Nadia, sang pemilik mini market yang cantik dan baik hatinya pada Tara selama ini. 

Tara meminjam majalah itu sebagai referensinya nanti untuk tugas kuliah bisnis. Begitu ia membuka majalah yang penuh dengan berita para pebisnis di Kotanya. Namun setiap ia membuka lembar demi lembar majalah, yang terlihat adalah sosok Azlan. 

Tara langsung menepuk kedua pipinya yang terasa panas seketika. Tara kembali teringat kejadian sore tadi.

Saat ia tengah bersiap untuk jatuh di lantai dengan kedua tangannya, sebuah tangan kekar justru menangkap tubuh mungilnya. Tara sontak membuka mata dan tatapannya beradu dengan mata elang Azlan yang saat itu masih dalam posisi menahan Tara agar tak terjatuh.

"Bisa berdiri sendiri kan? Berat!" Suara dalam khas milik Azlan menyadarkan Tara yang sempat terdiam dan hilang kesadarannya untuk beberapa detik lamanya. Gadis bertubuh mungil itu langsung tersentak dan mencoba berdiri. "Terima kasih," ucap Tara lirih pada Azlan dan langsung melangkahkan kedua kakinya menjauh dari kelas. Ia bahkan tak sempat mendengar jawaban dari pria yang menolongnya tadi, karena yang ada dalam benaknya adalah secepatnya menghilang dari tempat yang memalukan itu. 

Mengingat kejadian tadi sore, membuat Tara merasa malu dan jantungnya kembali berdetak lebih cepat dari biasanya. Alhasil ia menyerah untuk membaca majalah itu dan memilih untuk menelpon ke rumah. Hampir setiap ada waktu luang Tara selalu menyempatkan untuk Sekedar bertanya kabar tentang Ibu Bapak dan ketiga adiknya. Terlebih saat ia sedang merasa butuh dukungan seperti sekarang ini, maka mendengar suara atau melakukan panggilan video dengan mereka yang tercinta adalah obat terbaik untuk semuanya. Selelah atau sesulit apa pun kehidupannya di kampus, Tara tak pernah mengeluh. Dengan mendengar suara mereka, seakan bebannya terhempas seketika. Ia hanya percaya tak ada kerja keras yang berbuah pahit, bahkan rasa sakit adalah nikmat yang harus di syukuri. 

Waktu baru menunjukkan jam sembilan malam, tapi Tara berharap Ibu Bapaknya belum tidur. Ia ingin melihat wajah sendu penuh kerinduan mereka. Wajah yang selalu tersenyum dengan kerasnya hidup yang dijalani, namun mampu menguatkan hati Tara yang lelah.

Panggilan video tengah menunggu untuk tersambung, ponsel Adiknya Mira adalah satu-satunya penghubung mereka. Tara menanti dengan tak sabar, hatinya sedang gelisah. Di luar ia terlihat kuat, seolah tak bisa diterjang badai kencang sekali pun, tapi sebenarnya ia pun mudah rapuh. Hari ini adalah hari pertama ia mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman sekelasnya, entah esok hari. Semoga semua kesalah pahaman itu segera berlalu. 

"Kak, Kak Tara __" Suaara Mira menyadarkan Tara dari lamunannya. 

"I-iya Dek, Maaf Kakak lagi-liatin ini=materi buat kuliah besok ...." jawab Tara terbata sambil tersenyum pada sang Adik yang menatapnya bingung. 

"Oh, kirain kenapa Kak. Kakak baik-baik saja kan di sana?"

"Iya Dek, Kakak baik. Kalian di sana apa kabar? Sekolah gimana? Ibu sama Bapak sehat kan?"

"Kita semua baik Kak, Bapak sama Ibu sudah istirahat dari dua puluh menit lalu, tadi pagi mereka sudah mulai pemupukan, jadi ya ... gitu kak, Bapak sama Ibu pasti capek. Sayangnya Mira belum bisa bantu ..."

"Dengan jagain Adek-adek dan sekolah dengan baik, Kamu sudah bantu Bapak dan Ibu untuk nggak khawatir Dek. Kakak juga ngerti gimana perasaan Kamu."

"Iya Kak, Mira akan selalu berusaha melakukan yang terbaik seperti pesan Kakak. Mira juga akan jaga Bapak dan Ibu serta Adik-adik di sini, jadi Kakak kuliah yang tenang di sana, dan paling penting jaga kesehatan Kakak ...."

"Wah, Adik Kakak udah besar ternyata ...." Tara memuji kedewasaan Adiknya yang langsung tersenyum malu. "Kan Kakak yang ngajarin Mira ...."

"Makasih ya Dek," ucap Tara dengan senyum tulus pada sang Adik. "Untuk apa kak?" tanya Mira bingung. "Karena sudah jadi Adik sekaligus Kakak yang baik ...." Mira terdiam mendengar ucapan tulus sang Kakak yang langsung menghangatkan hatinya dan membuat matanya berkaca-kaca. Tapi gadis yang masih duduk di bangku SMA itu, tak ingin ketahuan Kakaknya menangis. Ia tahu selama ini kehidupan Tara di Kota pasti tak kalah sulit darinya, tapi seperti Tara yang sebisa mungkin menyembunyikan kesulitannya, maka begitu pun dengan sang Adik. Mira langsung mengakhiri panggilan video dengan alasan baterai handphonnya lowbat. "Maaf Kak, Mira bohong sama Kakak," lirih Mira dengan isak tangis yang tertahan karena tak ingin membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap dan ke dua adiknya yang juga telah terbuai mimpi.

Di malam yang tenang Mira merindukan sang Kakak yang jadi panutan dan alasan terbesarnya bertahan dengan keadaan mereka yang sulit. Mira meletakkan handphone pemberian sang kakak setahun lalu di atas nakas dan ke luar dari kamar tidur yang ia tempati dengan kedua adiknya. Ya, rumah mungil mereka hanya memiliki dua kamar. Tadinya Ibu dan Bapak mereka memberikan kedua kamar itu untuk ke empat anaknya, namun mereka menolak karena tak ingin kedua orang tua yang sudah bekerja keras itu harus menahan dinginnya malam di ruang tamu. 

Mira merasa sesak di dadanya sedikit berkurang saat ia duduk sendiri di ruang tamu sambil menatap satu per satu potret masa kecil mereka yang terkumpul dalam satu-satunya album foto yang mengabadikan momen bahagia mereka. Mira tersenyum sambil meneteskan air mata melihat lembar-demi lembar kenangan keluarganya. Terutama melihat Bapak dan Ibu yang masih terlihat begitu muda dan segar, sekarang mereka terlihat lebih tua dan lelah. Walau tak pernah mengeluh, tapi Mira tahu beban kedua malaikat tak bersayapnya itu begitu berat hingga kakaknya rela menghabiskan waktunya bekerja bahkan jika ia libur kuliah. "Semoga Kakak baik-baik saja di sana ...." Doa tulus Mira dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status