Share

Penguasa Tujuh Benua
Penguasa Tujuh Benua
Author: Fii

Ch. 01 - Upacara Sakral dan Anak yang Malang

Arc 1 - Benua Laut Biru

Ribuan tahun lalu, manusia dan bangsa siluman saling hidup berdampingan. Hingga terjadi sebuah pembantaian terhadap Klan Penjaga Langit dan tewasnya Raja Siluman yang disebabkan oleh perebutan Tujuh Pedang Pusaka Langit yang dikatakan dapat 'membalikkan langit dan semesta’.

Perang yang dikenal sebagai Perang 1000 hari membuat dataran terbelah dan membaginya menjadi tujuh wilayah berbeda-beda. Perang, diskriminasi ras, wabah dan perbudakan merajalela, oleh karena itu abad tersebut disebut sebagai 'Era Kehancuran '.

Setelah Perang 1000 hari berakhir, kehancuran mulai merambat hingga ke Benua Laut Biru, bangsa siluman yang tersisa dibakar hidup-hidup dan dibunuh tanpa terkecuali.

Rumor mengatakan bahwa salah satu dari Tujuh Pedang Pusaka tersebut dijaga oleh Naga Es dari Benua Laut Biru sehingga dimulailah perang berdarah di mana ratusan ribu siluman dibunuh. Hal itu mengakibatkan seperempat dari wilayah Benua Laut Biru terpecah. Siluman yang berhasil melarikan diri mengasingkan diri ke tanah yang kini disebut dengan nama Alam Keabadian.

Setelah perang usai, perlahan semua mulai terlupakan. Alam Keabadian tak pernah terdengar lagi selama ratusan tahun. Namun terkadang terdengar rumor di pesisir pantai yang berhadapan dengan pulau Alam Keabadian, yang mengatakan bahwa penduduk di sana melihat makhluk aneh. Satu legenda yang paling terkenal adalah Air Mata Naga Es. Untuk menolak bala warga Benua Laut Biru khususnya Desa Laoyang menjalankan upacara sakral di penghujung tahun, biasanya air ombak naik menenggelamkan rumah-rumah warga disertai angin kencang serupa kristal es yang dapat membekukan api.

Beberapa rumor mengatakan bahwa setiap 100 tahun di hari yang sama selalu ada nyawa yang melayang akibat amukan Naga Es yang menumpahkan kemarahannya. Siapa pun yang terkena Air Mata Naga Es pasti akan mati. Karena itu di akhir tahun jarang warga beraktifitas karena bulan itu adalah bulan yang sakral.

Namun untuk Lan Xiaoyan kecil yang tidak memedulikan apa pun termasuk suhu dingin di sekitarnya, bulan sakral atau bukan dia akan tetap berkeliaran. Beberapa penduduk kasihan melihatnya. Anak itu muncul entah dari mana dan dia merupakan seorang anak yatim piatu. Beberapa penduduk kadang memberinya makan, sisanya dia mencari sendiri dengan memakan katak, ular, dan meminum air dari bunga beracun.

Dini hari berkabut di tepi laut, Lan Xiaoyan kecil memandang jauh ke laut yang luas seperti merasakan sesuatu sedang menariknya.

Cahaya bintang di atas permukaan laut yang beriak pelan menimbulkan pemandangan indah taburan berlian di depan mata. Anak kecil yang baru berusia 6 tahun itu terkejut melihat ikan-ikan di lautan melompat di atas permukaan air. Sembari mengupil, dia memperhatikan ikan-ikan itu dengan air liur yang menetes di mulut. Dia kelaparan.

Angin sejuk menjelang pagi menembus baju tipisnya. Rambut yang acak-acakan bergoyang mengikuti irama angin. Ketika dia melihat jemarinya membiru, Lan Xiaoyan kaget dan memeluk tubuhnya. Ujung rambut anak kecil itu membeku, begitupun bulu matanya. Dia memeluk diri sambil memekik, "Dingin!"

Lalu hempasan angin kencang menerpa tubuh kecilnya, Lan Xiaoyan terduduk di atas pasir dengan mata terbuka. Kaget. Terdengar pekikan dari mulutnya saat melihat bayangan berkabut berbentuk naga putih jauh di ujung laut yang begitu menakutkan.

"Grooooaarr!!"

Ombak yang tadinya hanya gelombang kecil di atas permukaan laut kini berubah menjadi ombak tinggi yang puluhan kali lebih tinggi di atas kepala Lan Xiaoyan.

Meskipun Lan Xiaoyan masih kecil, dia dapat mengerti pertanda bahaya. Hidup sendirian di dunia yang mengerikan telah membentuk insting bertahan hidupnya. Dia harus segera meninggalkan tempat itu.

Pundaknya gemetaran tak karuan ketika hempasan angin selanjutnya menerpa kulitnya, bulu kuduk Lan Xiaoyan berdiri saat gemaan suara aneh mendengung dan membuat pepohonan di tepi pantai berguncang, membuat kedua kakinya tak bisa digerakkan karena begitu takut.

Kepala naga di balik kabut mengarah ke tempat dia berada. Lan Xiaoyan melihat kanan kiri, berusaha untuk segera berdiri dan ambil langkah seribu. Namun sebelum dia benar-benar meninggalkan tempat itu Lan Xiaoyan sempat berpaling ke belakang, seketika sekujur tubuhnya dingin.

Sebuah kepala Naga Es yang hanya berwujud kabut tipis muncul di bibir pantai, begitu besar sampai yang saat ini Lan Xiaoyan lihat hanyalah lubang mata biru bercahaya terang. Dia merinding sejadi-jadinya hingga tak mampu bernapas.

Napas Naga itu terasa di kulit Lan Xiaoyan, sejuk membekuk tulang sendinya. Lan Xiaoyan tak mampu berkedip sampai naga raksasa itu membuka mulut lebar-lebar, cahaya putih silau menghalau pandangannya. Dalam selintas terdengar suara denging panjang disertai rasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.

Lan Xiaoyan terpental menghantam pohon di pesisir pantai, dia memuntahkan darah cukup banyak, pandangannya buram oleh kabut tebal dan akhirnya anak kecil itu sudah tak sadarkan diri.

*

Keesokan harinya ketika upacara sakral, kabut tebal hampir menutupi seluruh Desa Laoyang. Tempat yang biasanya sepi mulai kembali padat.

Festival akan berlangsung selama satu hari penuh. Di hari itu penduduk Desa Laoyang memenuhi jalanan lengkap dengan baju berwarna hitam diiringi oleh para tetua dan pemimpin desa.

Tepat saat matahari mulai terbenam, penduduk desa membawa obor dan lilin kecil yang dinyalakan. Mereka berjalan mengiringi seluruh bagian desa dengan pelan sambil membaca mantra kuno yang turun-temurun diwariskan untuk mengusir hal-hal jahat.

Rombongan tiba di tepi pantai untuk upacara terakhir, menerbangkan lentera ke laut sebagai bentuk mengembalikan kemalangan kembali ke tempat asalnya.

Namun tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita, lantas semua orang menoleh mendapati tubuh seorang anak kecil terkapar di bawah pohon.

"Anak itu ..." Para wanita menutup mulutnya kasihan.

"Bukankah dia anak yang selalu berkeliaran di desa kita? Sungguh malang nasibnya." Salah seorang pemuda desa ikut berbicara.

"Aku penasaran siapa orang tua yang telah menelantarkannya..."

Salah seorang laki-laki berjalan ke arah anak kecil itu dan memeriksa tubuhnya yang telah dingin. Bibir biru, kulit kelabu dan sama sekali tidak terdengar detak jantungnya.

"Dia telah mati."

Jelas kepala desa setelah mencermati cukup lama, para penduduk cukup ketakutan dibuatnya.

"Tidak perlu heran, ini selalu terjadi ..." pandangannya berangsur ke arah laut lepas. "Naga Es ingin mendobrak pembatas antara dunia manusia dengan dunia siluman dan merebut masa kejayaan mereka dengan menguasai dunia ini."

Seorang tetua turun tangan untuk memeriksa tubuh anak kecil malang itu.

"Anehnya anak kecil ini masih utuh, tidak seperti mayat yang sebelumnya."

Mata kepala desa menyipit. "Apakah justru ini adalah pertanda buruk?"

Karena malam sebentar lagi akan turun dan mereka harus segera kembali ke rumah sebelum kabut semakin tebal, kepala desa mengambil suara bersama penduduknya. "Bagaimana menurut kalian? Kita apakan jasad anak ini?"

"Buang saja!" seru wanita desa yang ketakutan.

Petir besar menyambar di tengah laut, sontak mengagetkan puluhan orang bersama kepala desa. Mereka saling berpandangan untuk sejenak menunggu seseorang mengeluarkan pendapat.

"Anak ini sudah seharusnya kita kuburkan, tapi ke mana kita menguburnya? Aku takut ... Dia justru membawa kemalangan di tempat di mana dia dimakamkan."

Tetua desa mengalihkan perhatian tiba-tiba ke sebuah gunung yang dipenuhi kabut hitam disertai petir dan angin badai kencang. Matanya yang telah memutih meyakini bahwa satu-satunya tempat yang bisa menampung jasad yang 'terkutuk' itu hanyalah gunung tersebut.

"Mungkin di sana lah satu-satunya tempat yang bisa menerima jasad anak ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status