Share

Lelaki

Author: dibatezal
last update Last Updated: 2021-08-17 13:14:12

[Mahesa ….] Suara yang lembut menyapanya di pagi hari. Mahesa menunduk, sambil memperlihatkan jari-jari kakinya yang mempermainkan ubin.

“Ya, Pa?”

[Hari ini ada agenda apa?]

“Hmmm … Echa mau ke mall, Pa. Ketemu beberapa temen yang udah bantuin riset aku di buku yang kemaren.”

[Gitu.] Suara napas panjang terdengar, sunyi. [Makan siang, yuk!]

Mahesa terdiam lama, menghela napas. “Di mana, Pa?”

[Di mall aja, habis kamu ketemuan sama temen-temen, mau?]

Mahesa mengangguk, “Oke.”

[Jam 1?]

“Siap, Pa!”

***

Mahesa terdiam beberapa lama, kakinya diangkat ke atas sofa, diam memperhatikan pola atap, pola dinding, melamun. Hal yang sangat sering ia lakukan. Berlama-lama padahal agenda lain sudah padat merayap untuk segera dieksekusi.

Lalu menyadari kelalaiannya, ia bangun dan melompat. “Ayo, Mahesa! Semangat!!” teriaknya. Lalu berlari melompat-lompat seperti kangguru, mengambil handuk, dan masuk ke dalam toilet.

Tidak butuh waktu lama bagi Mahesa mempersiapkan diri. Ia bukan tipe perempuan yang harus tampil sempurna dan selalu cantik. Muka hanya dipoles pelembab wajah, pelembab bibir sudah cukup baginya. Pakaian pun ala kadarnya, kaos oblong berwarna hitam, dan celana jeans belel dipadukan dengan sepatu kets berwarna merah, warna kesukaannya. Ia mengendarai sedan merah kesayangannya ke arah Dago, di sana ada sebuah mal tua yang merupakan ikon pemuda kota Bandung. Dikunjungi muda-mudi hingga yang sudah berumur. Namun, bukan mal itu yang akan dia datangi.

[Food court biasa, ya genk!]

Mahesa harus menyebrang jalan, lalu masuk ke dalam sebuah foodcourt kecil di belakang toko kue legenda di kota. Di sana sekumpulan anak muda berpakaian hitam-hitam, beberapa mengenakan rantai di celananya sebagai aksesoris, mengenakan make-up gothic. Ia mendekati mereka.

“Halo!” sapanya cerita, lalu disambut dengan ramai oleh mereka. Mereka bersenda gurau, berbincang, terkadang berteriak, dan main fisik. Mahesa tersenyum, teman-teman barunya memang seperti itu. Namun, jauh di dalam hati mereka, di balik tampilan nyentrik, mereka memiliki hati yang baik. Ia memandang keluar foodcourt, dan melihat seorang pemuda jangkung berambut ikal memasuki foodcourt, menemui dua orang temannya yang sudah datang sekitar sepuluh menit yang lalu, bersamaan dengan kedatangan Mahesa. Ia tersenyum, dan kembali berbincang dengan teman-temannya.

***

 Wibi menaruh beberapa textbook di atas meja. “Si Bombom belum dateng?” tanyanya sambil duduk di atas kursi berwarna kuning.

Teu acan.” Bobby, lelaki yang rambutnya panjang lalu diikat itu menjawab acuh, matanya tak pernah lepas dari layar LCD gawai monokromnya.

“Kenapa sih, dimajuin segala kerja kelompoknya? Katanya mau malam?”

“Dia ada kencam sama sesecewek, hihi,” jawab Zasky. “tuh!” Dia memperlihatkan wajah seorang gadis di layar gawai polifoniknya.

“Jiaaah.” Lalu memandang ke depannya. Di depan, ia melihat seorang perempuan yang sangat ia kenal. Wajahnya hampir setiap hadir dalam mimpinya, dan pernah ditemui dua bulan sebelumnya. Mengenakan kebaya putih dan kain batik serta sepatu kets. Dia …. Cewek itu! Wibi lalu menarik salah satu textbook, dan mulai mengintip dari baliknya.  

Dua puluh menit telah berlalu.

“Euleuh, si Bombom teu baleg1, minta ketemuan jam segini, maksa-maksa, eh sekarang dianya enggak bisa!” keluh Zasky sambil membuang napas kesal.

“Masa??!” Bobby akhirnya teralihkan matanya dari game di gawainya. “tau gitu urang molor dupi ka poe2!

“Diiih, tidur mulu!” Zasky gemes sambil membenamkan kepala sobatnya ke dalam capucon kesayangan yang entah berapa tahun tidak dicuci.

Sedangkan lelaki satu lagi matanya tak pernah lepas dari memandang perempuan bertubuh langsing yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk. Ia ikut bangkit ketika mereka bubar. Lalu ikut berjalan.

“Ke mana, Bi?!” teriak Zasky. “Kerja kelompok kumaha?”

“Besok aja, nungguin Bombom,” jawab Wibi tanpa menengok, kembali berjalan mengikuti perempuan yang kemudian menyebrangi jalan, kembali masuk ke dalam mal.

Wibi mengikuti Mahesa sampai bagian belakang mal, tempat yang lebih teduh dengan banyak pohon besar di sisi-sisi jalan. Gadis itu mendekati sebuah sedan keluaran Eropa sambil memegang gawai yang sebelumnya ia gunakan untuk bertelepon. Sebelum ia sampai, seorang lelaki paruh baya dengan wajah tampan dan gagah keluar, tangannya terentang, dan Mahesa jatuh ke pelukannya.

Sejenak Wibi menghentikan langkah, hendak berbalik. Namun, dahinya berdraperi, beberapa lintasan visual dipanggil. Seperti yang tersihir, ia berlari mendekati Mahesa, meraih tangannya, menonjok sang lelaki tua itu dan membawa lari sang gadis.

“Hei!!!” teriak Mahesa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penguasa hati   Hukuman

    Rima membuka kacamata hitamnya, lalu berjongkok di depan sebuah pusara yang telah dikelilingi oleh keramik berwarna biru. Jari-jari lentiknya menyisihkan beberapa helai daun kering yang berada di atas tanah menyumbul itu. Nama Zaenal Ibrahim Bin Ali tertera di nisan.“Kamu apa kabar di sana?” Suaranya tercekat, lalu terisak. "Aku kangen. Hidup tanpamu terasa begitu hampa." Baru dua bulan semenjak kepergian Zaenal, tetapi Rima merasa sudah satu abad berlalu. Malam-malam sepi tanpa ada lelakinya di sisi yang terkadang mendengkur, manja, dan memeluknya. Dua bulan yang teramat menyiksa hingga membuatnya terasa sesak. Ia inginkan lelaki yang sebelumnya terkadang menyusahkan dan sulit diatur itu kembali. Namun, apa yang bisa dibuatnya? Takdir berkata sebaliknya. Lelakinya pergi, dengan satu wasiat yang sangat berat untuk bisa ia jalani. Ingatannya berputar pada hari itu, ketika Zaenal baru saja keluar dari rumah sakit. Ia menyuapi lelakinya, meski hany

  • Penguasa hati   Mas Kawin

    Wibi mendengkus keras. Bobby, Bombom, Zasky kemudian memandanginya. Mereka sedang duduk melingkar di atas kursi kuliah yang memiliki meja berwarna putih di sebelah kanannya. “Bi, Loe denger enggak?” tanya Bombom agak keras. “Akhir-akhir ini loe kenapa, sih? Bahkan hitung data penelitian kita aja enggak becus. Jadi aja nilai kita Cuma dapet C! Padahal gue udah kerja keras mikirin konsep, Zasky dan Bobby hilir mudik nyari responden penelitian. Tapi kok, elu malah asal-asalan?!” Wibi menggenggam tangannya keras, kembali mendengkus.

  • Penguasa hati   Rusak

    “Echa … Echa ….” Suara halus Zaenal membangunkan Mahesa dari tidurnya,. “Papa ….” Ia bangkit dari ranjangnya, “Papa masih hidup?” Mahesa semringah. “Kamu ngomong apa? Ayo pergi ke sekolah,” bujuknya. Mahesa berdiri, tiba-tiba ia sudah mengenakan seragam putih-abu, dari luar ia mencium aroma udang goreng kesukaannya, berjalanlah ia ke dapur, dilihatnya seorang perempuan sedang memasak, yang tak lama kemudian berbalik. “Echa ….” Ia tersenyum, senyum yang sangat didambakan, sangat ia rindukan, “Mama ....” Ia tersenyum bahagia, sambil menangis. “Kamu kenapa, Sayang?” ibunya mendekati. “Echa kangen Mama … bertahun-tahun Echa menunggu kehadiran Mama, mengantar sekolah, berbagi cerita seperti teman-teman lainnya.” “Sayaang ....” “Echa kangen Mama.” Ia menangis. “Bangunlah, Sayang. Hidupmu masih panjang.” Senyumannya lebar. Lalu kemudian Mahesa membuka matanya. Ia menyadari bahwa barusan hanyalah mimpi. Tubuhnya l

  • Penguasa hati   Sebuah Akhir

    Belum lagi Mahesa mengunci kembali pintu rumahnya ia menyadari kehadiran Wibi di sampingnya. Lelaki itu tersenyum seakan-akan tidak terjadi apa-apa semalam, padahal Mahesa sudah mengadakan acara mengunci semua barang-barang yang dapat mengingat hubungan mereka berdua di dalam sebuah kotak kayu berwarna hitam, dan berdoa kepada Tuhan agar perasaannya dibuat tegar, tetapi kini, bukannya tegar yang ia dapatkan, rasa cinta itu kembali mencuat. “Hai,” Wibi menyapanya masih dengan ekspresi yang sama, “tidur nyenyak?” Mahesa menarik napas panjang, ia kesal tidak bisa menjawab apa adanya, tetapi juga tidak dapat berbohong karena terlihat jelas rona-rona hitam di sekeliling matanya. “Kelihatannya?” Ia melemparkan pertanyaan kembali kepada Wibi, lalu berjalan menjauhi lelaki itu. “Kelihatannya sih tidak bisa tidur, atau tidurnya cuma sedikit, atau selama tidur kamu kemimpi-mimpi aku.” Wibi mengejar Mahesa. “Minggir ….” Tangan Mahesa menggeser tubuh Wibi

  • Penguasa hati   Sebuah Keputusan

    Rima menyendok makanannya dengan lesu, ia harus makan setelah sebelumnya pingsan, siang dan malam menunggui Zaenal tanpa tidur dan makan yang cukup. Pikirannya menerawang jauh ke kamar suaminya, prihatin akan keadaannya. Dokter meminta agar Zaenal tidak diberi beban pikiran yang terlalu berat, karena kinerja jantungnya melemah. Lalu pikirannya terbang lagi ke rumah, memikirkan anak-anaknya, Aini masih kecil dan Yasmin sedang membutuhkan banyak bantuan. Lalu ia juga mengingat Mahesa, anak pembuat masalah. Dari ujung matanya, Rima dapat melihat Mahesa memasuki kantin rumah sakit, kemudian duduk di hadapannya. Cukup lama mereka terdiam, pertemuan yang hening. Rima dapat melihat wajah Mahesa yang kebingungan. Berkali-kali menahan napas. “Mama ....” Akhirnya Mahesa mengeluarkan suaranya. “Aku tidak tahu, mengapa dulu sulit sekali menyebutmu Mama.” Rima terdiam, tetap menekuri gelasnya. ”Dulu aku sangat sulit diatur, ya? Selalu melawan, membua

  • Penguasa hati   Kenangan Buruk

    Mahesa kecil kecewa, ayahnya menikah lagi, padahal belum lama ini mereka mengubur ibunya, baru minggu kemarin Mahesa bersama Zaenal pergi ke pemakaman mengganti pusara ibunya dengan keramik. Harumnya masih tercium di rumah, suaranya masih terngiang di telinga. Wujudnya selalu ada di hati. Baru saja Mahesa merasakan kebahagiaan bersama ayahnya, berjalan bersama, menunggu Zaenal memasak nasi goreng dan telur hingga gosong, tertawa hingga perut terasa sakit. Pergi ke Dunia Fantasi dan dibelikan banyak mainan. Namun, Zaenal telah menikah lagi, dan Mahesa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak juga merasa apa-apa. Tidak menangis. “Hei ....” Suara Rima lembut, lalu menyentuh pipi Mahesa yang tirus. “Selamat pagi, Sayang.” Mahesa menelan ludahnya melihat Rima yang berpakaian tidur serba putih, berjalan menjauhinya. “Kita sarapan, yuk.” Ia menoleh ke belakang. “Pagi, Sayang.” Zaenal datang menghadang sambil menciumi kening Rima. “Sssttt, ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status