Nicholas kembali masuk ke kamar perawatan setelah Dokter yang memeriksa wanita yang memiliki wajah seperti Sesilia itu keluar. Nicholas hanya melempar senyum tipis ketika sang Dokter dan suster yang keluar dari pintu itu mengangguk ramah saat melewatinya.
“Kamu masih berada di sini?” Wanita itu bertanya kepada Nicholas. Seketika Nicholas meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. “Hm, sebentar lagi aku akan ke kantor,” jawabnya. Nicholas belum pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. Terlihat kaku, gugup dan tidak tahu apa yang harus ia katakan. Benar-benar membuat Nicholas merasa kesal sendiri. “Kamu bekerja di kantor? Pantas saja penampilanmu seperti itu.” Wanita itu kembali bersuara. Nicholas mengernyit. Apa wanita itu tidak mengenal siapa dirinya? Bukankah kebanyakkan wanita yang ada di negara ini cukup tahu siapa dirinya, bahkan termasuk latar belakaSepanjang perjalanan menuju kantor, Nicholas terus memikirkan sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Untuk pertama kalinya Nicholas begitu peduli terhadap orang asing yang baru pertama kali ia temui. Seumur hidupnya, Nicholas tidak pernah memperlakukan wanita asing selembut itu. Mungkin hanya keluarganya atau beberapa orang yang sangat dekat dengannya saja. Bahkan dulu, saat pertama kali bertemu dengan Aleeta saja Nicholas tidak pernah sepeduli ini. Apalagi bersikap lembut. Tapi kenapa dengan wanita itu? Apa yang membuat Nicholas bersikap seperti itu padanya? Padahal wanita itu juga termasuk orang asing? Dia bukan Sesilia? “Berengsek!” Nicholas berteriak seraya memukul stir kemudinya. Kenapa wanita yang berwajah seperti Sesilia itu harus muncul sekarang? Kenapa wanita itu harus muncul di saat Nicholas sudah mati-matian berusaha melupakan tentang Sesilia? Kenapa wanita itu harus muncul di saat Nicholas sudah berusaha
Nicholas kembali masuk ke kamar perawatan setelah Dokter yang memeriksa wanita yang memiliki wajah seperti Sesilia itu keluar. Nicholas hanya melempar senyum tipis ketika sang Dokter dan suster yang keluar dari pintu itu mengangguk ramah saat melewatinya. “Kamu masih berada di sini?” Wanita itu bertanya kepada Nicholas. Seketika Nicholas meringis seraya menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. “Hm, sebentar lagi aku akan ke kantor,” jawabnya. Nicholas belum pernah bertingkah seperti ini sebelumnya. Terlihat kaku, gugup dan tidak tahu apa yang harus ia katakan. Benar-benar membuat Nicholas merasa kesal sendiri. “Kamu bekerja di kantor? Pantas saja penampilanmu seperti itu.” Wanita itu kembali bersuara. Nicholas mengernyit. Apa wanita itu tidak mengenal siapa dirinya? Bukankah kebanyakkan wanita yang ada di negara ini cukup tahu siapa dirinya, bahkan termasuk latar belaka
“Nicho …,”Aleeta segera memanggil suaminya saat melihat pria itu hendak berjalan menuruni tangga.“Hari ini sarapan dulu, kan?” Tanya Aleeta begitu Nicholas menoleh.“Em …,” Nicholas menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Aku sarapan di kantor saja.”“Lagi? Kemarin kamu sudah nggak sarapan di rumah, Nicho.”“Tapi aku benar-benar sarapan di kantor.”Aleeta menggeleng. “Pokoknya kali ini kamu harus sarapan di rumah.”“Aleeta, nggak bisa. Aku …,” Nicholas menunduk sejenak. “Aku harus segera berangkat.”“Tapi ini masih pagi. Bahkan lebih pagi dari jam berangkatmu biasanya. Apa kamu nggak bisa sarapan sebentar saja?” Pinta Aleeta.“Aleeta …,”“Aku mohon.”Nicholas lalu mendesah. “Aku benar-benar harus segera berangkat, Aleeta. Ada hal penting yang harus aku lakukan pagi ini.”“Tapi—““Aku berjanji nanti akan sarapan di kantor.”Aleeta me
Sudah dua hari ini Nicholas selalu lembur dan pulang larut malam. Dua hari ini juga jam makan Nicholas selalu terganggu, sering terlambat bahkan terlupa. Meski sampai detik ini Nicholas belum merasakan tanda-tanda akan sakit, tapi Nicholas tetap berharap bahwa semoga saja ia akan selalu sehat. Lagipula kalau ia sakit pekerjaannya justru akan semakin menjadi bertambah banyak. Belum lagi Nicholas pasti juga akan merepotkan orang lain, termasuk istrinya—Aleeta.Nicholas tidak ingin semua itu terjadi. Maka dari itu, ia akan bekerja semaksimal mungkin supaya bisa segera menyelesaikan setiap pekerjaannya. Dan tidak perlu lagi bekerja lembur dan pulang hingga larut malam.Nicholas sedang sibuk membaca satu persatu laporan yang ada di hadapannya, saat Ella—sekretarisnya masuk.“Maaf, Tuan Nicholas. Apa ada yang perlu saya bantu lagi?” Tanya Ella.Pertanyaan seperti itu selalu Nicholas dengar setiap kali sekretarisnya itu hendak pulang. Setiap Nich
“Kamu ingin makan siang apa, Kak?”Aleeta menoleh ketika mendengar suara Emily. “Em, terserah kamu saja.”“Bagaimana kalau makanan Jepang? Sudah lama kita nggak makan siang dengan susshi, kan?”“Iya, Emily. Terserah kamu. Asal itu enak aku pasti akan suka,” ujar Aleeta kemudian.Emily mengangguk, lalu kembali ke luar ruangan untuk menyuruh karyawannya memesankan makanan. Sementara itu, Aleeta yang tengah duduk di ruangan kembali lagi mengecek ponsel, menunggu sebuah panggilan atau barangkali pesan dari Nicholas. Karena biasanya menjelang jam istirahat seperti ini, suaminya itu pasti akan menghubunginya untuk menanyakan kabar atau pun hanya sekedar berbasai-basi menanyakan makan siang. Tapi beberapa menit menunggu, Aleeta tak kunjung juga mendapatkan panggilan atau pun pesan dari Nicholas.“Apa Nicho masih sibuk, ya?” Pikir Aleeta seraya membuka layar ponselnya.Kemarin Nicholas memang juga sedikit terlambat saat mengh
Nicholas menjemput Aleeta tepat saat jam menunjukkan di angka enam sore. Tidak kurang dan tidak lebih. Dan karena ketepatan waktunya itu Nicholas harus rela menunggu Aleeta sejenak, selama istrinya itu membantu Emily membereskan ruang kerjanya.“Sudah selesai?” Nicholas langsung berdiri begitu melihat Aleeta meraih tas yang ada di atas mejanya.Sejak tadi pria itu memang menunggu di ruang kerja Aleeta dan Emily. Duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.“Sudah.” Kata Aleeta seraya mengangguk. Ia lalu menatap Emily yang juga sudah bersiap untuk pulang. “Ayo, Emily. Kita pulang.”Emily hanya bergumam seraya mendekati Aleeta dan Nicholas.“Minggu besok Mama menyuruhmu datang ke rumah, kak,” ujar Emily kepada Nicholas.Nicholas menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya ada acara apa?”Emily memutar bola mata. “Sejak dulu kamu ini selalu saja bertanya seperti itu setiap kali aku menyuruhmu datang ke rumah.”