Suasana malam itu sepi, hanya suara detak jarum jam dan semilir angin dari celah jendela yang menemani rumah besar Evan. Hampir tengah malam ketika lampu depan menyala oleh sensor gerak, menandai kedatangan Evan. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu utama yang memang tak dikunci. Helaan nafas panjang lepas dari bibirnya.Seorang pelayan yang sudah bersiap membuka pintu untuk Evan segera menuju ke pintu utama. Dan ia membuka segera pintu menyambut kehadiran tuannya, "Selamat malam, Tuan Evan."Evan mengangguk singkat. Matanya sedikit sembab, terlihat lelah, namun masih menyisakan ketegasan seperti biasa. "Cale dan Alya di mana?""Tuan Cale makan malam lebih awal tadi. Dia terus bertanya kapan Tuan pulang," ujar pelayan itu pelan, seperti takut menyampaikan fakta yang bisa menyayat.Evan mengangguk pelan. Tak berkata apa-apa lagi, ia melepas jas, menggantungnya di sandaran kursi, lalu melangkah menuju wastafel di dapur untuk mencuci tangan dan wajah. Wajahnya basah, matanya memeja
Langit malam mulai menggelap sempurna ketika lampu-lampu di halaman rumah Evan menyala satu per satu. Cahaya kekuningan yang terpancar dari balik jendela kaca memberi kesan hangat, tetapi hati Alya tetap terasa dingin.Ia menatap meja makan yang sudah tertata rapi oleh para asisten rumah tangga Evan. Ada semangkuk sup ayam dengan jagung manis yang masih mengepul, sepiring ayam panggang madu yang aromanya menggiurkan, dan salad buah kesukaan Cale. Alya duduk di ujung meja, di sisi kanan Cale, yang tampak sibuk memainkan sendoknya di dalam piring, tapi tak sedikit pun makanan yang benar-benar masuk ke mulut kecilnya."Ayo makan, Sayang. Ayam panggangnya masih hangat," bujuk Alya lembut, meski suaranya terdengar lebih seperti desahan lelah.Ia tahu apa yang dipikirkan oleh anaknya itu saat ini. Cale mengangkat wajahnya, mata bulatnya penuh harap. "Ayah belum pulang, Mom?" tanya anak empat tahun itu. Alya terdiam sejenak, meremas sendok di tangannya. Pertanyaan itu bukan yang pertama k
Ruangan yang semi-terbuka itu dilapisi dinding kaca, membuat cahaya matahari masuk dengan lembut. Di atas meja panjang dari kayu coklat tua, berbagai portofolio dan draft desain sudah tertata. Alya meletakkan map yang dibawanya dan mengeluarkan beberapa lembar desain alternatif.“Kita mulai kembali ya, saya juga minta maaf atas hal tak terduga tadi.” katanya pada semua yang hadir, dengan suara yang lebih tenang.Selesai istirahat, meeting kembali dilanjutkan untuk pembahasan progress kerja selanjutnya. Alya tak ingin buang waktu, sebab semakin cepat selesai, baginya akan lebih cepat bisa melepaskan diri dari Evan. Pikirnya. Beberapa desainer muda—dua di antaranya mengenakan hoodie dan kaus oblong ala pekerja kreatif—mengangguk dan mulai membuka dokumen presentasi mereka. Diskusi berjalan intens tapi kondusif. Sesekali Alya menyelipkan pendapat, mempertajam ide-ide yang masih kasar. Meski pikirannya sempat terpecah ke mana-mana, tapi setiap kali berbicara tentang desain, ia menemukan
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda dengan sapuan awan tipis yang tampak seperti lukisan air di atas kanvas raksasa. Udara terasa segar setelah hujan semalam. Alya melangkah keluar dari mobil dengan degup jantung sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan karena gugup, tapi karena antusiasme yang tidak biasa. Sudah lama ia tidak merasa sebersemangat ini untuk sebuah pertemuan kerja.“Aku akan menggunakan taksi,” ujar Alya, saat bersamaan akan berangkat bersama Evan ke tempat pertemuan di hari pertamanya bekerja. Terlebih, saat sebelumnya Evan menawarkan tumpangan padanya saat akan berangkat. Alya tak ingin menjadi buah bibir karyawan Evan nantinya. Sebab, ia sendiri tidak mengetahui status Evan apa sudah memiliki istri atau masih menyendiri. “Naik!” perintah Evan yang sudah membuka pintu mobil berwarna hitam metalic tak ingin dibantah. “Tolong … biarkan aku bekerja sesuai kapasitasku. Jangan buat aku jadi tak nyaman seperti ini.” Alya menatap Evan dengan permohonan yang penuh
“Kamu bertanya apa mauku?” tanya Evan tak mengerti. Pria itu yang semula sikapnya melunak itu pun berubah mulai tak bersahabat. Ia sangat tak senang saat Alya mengatakan hal yang seharusnya tak lagi ia pertanyakan. Apa sikap yang ia lakukan belakangan ini untuk dirinya dan Cale masih belum cukup untuk menjawab rasa penasarannya?Alya terpaku, tapi ia berusaha menguasai diri untuk tidak takut terhadap Evan lagi untuk saat ini. Ia bukan Alya yang dulu. Alya yang sekarang adalah wanita kuat yang tak akan lagi mudah ditekan oleh apa pun. “Saya pikir. Kita sudah tak ada lagi—”“Apa maksudmu? Tak ada hubungan lagi? Seperti itu?” Evan menyela kalimat yang hendak Alya katakan padanya. Ia tak memberi celah untuk wanitanya yang ia tahu jika Alya ingin terbebas darinya. Tidak. Evan tak akan lagi membiarkan Alya lari lagi dari kehidupannya. Bahkan, setelah ia dengan seenaknya pergi begitu saja meninggalkan kehidupan mereka begitu saja tanpa kabar. Lalu, wanita yang ada di hadapannya ini berpi
Langit Jakarta siang itu cerah, seakan menyambut kedatangan tiga sosok yang baru saja mendarat dari Tokyo. Di antara hiruk pikuk Bandara Soekarno-Hatta, langkah kaki Alya terasa berat. Bukan karena kelelahan perjalanan belasan jam, tapi karena ia tahu, keputusannya untuk kembali ke Indonesia bukan kehendaknya sepenuhnya. Semuanya sudah diatur—dari tiket pesawat, akomodasi, hingga pemindahan sekolah Cale. Bahkan Susan, pengasuh Cale, turut serta diboyong Evan ke tanah kelahirannya.Seharusnya Alya merasa bahagia bisa kembali ke Indonesia, sebab bisa berjumpa dengan ibu dan adiknya. Jika biasa ia datang seorang diri, tanpa Cale ikut bersamanya. Tapi, tidak untuk kali ini. Anak lelakinya ikut kembali pulang dan ini kali pertama bagi Cale berkunjung ke Indonesia. Evan...Nama itu kembali terngiang-ngiang di kepala Alya. Lelaki yang selama lima tahun terakhir berusaha dia hindari, kini justru menjadi alasan utama kenapa hidupnya kembali berubah. Ia kembali datang dengan alasan sama, yait
Suasana apartemen tampak lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara pintu yang terbuka dengan tergesa, tak ada aroma kopi khas yang biasa Evan bawa saat mampir, dan yang paling terasa—tak ada tawa riang Cale yang berlari menyambut pria itu sambil memamerkan gambar-gambar hasil coretannya.Sudah dua hari Evan tak berkunjung. Hal itu mampu membuat Alya sedikit terusik akan perubahan tak biasa ini. Apa Evan sengaja muncul, lalu mempermainkan perasaan anaknya? Atau … dia yang mulai merindu sosok pria itu. Alya menyadari betul perubahan kecil itu. Walau dirinya berusaha menampik rasa rindu yang mulai mengakar, ia tak bisa mengelak saat Cale mulai melontarkan pertanyaan polos yang membuat hatinya mencelos."Mommy, Ayah Evan ke mana? Kenapa nggak main ke sini lagi?" tanya Cale sambil memeluk boneka rubah kesayangannya. Mata bulat anak itu menatapnya penuh harap.Alya terdiam sejenak. Ia mengelus kepala putranya pelan, mencoba merangkai jawaban yang tak menimbulkan kecurigaan."Om Evan lagi ker
Dengan tangan di saku jas, dan tatapan lurus penuh makna. Evan menatap Alya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Evan menatapnya tanpa keraguan. “Aku tahu Cale darah dagingku, Alya. Kau tidak perlu mengelak lagi.”Suara pria itu tenang, tapi menyimpan dentuman. Kata-katanya menusuk langsung ke dasar hati Alya. Nafasnya tercekat. Kata-kata mengendap di tenggorokannya, tak bisa keluar.Dari mana Evan tahu?Bagaimana bisa dia tahu?Seharusnya rahasia itu terkunci rapat. Selama lima tahun ini, Alya menyimpannya sebaik mungkin, demi menjaga ketenangan hidupnya dan Cale, demi menjaga luka lamanya tetap terkubur.“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Alya ragu, memberanikan diri untuk bersikap tenang, tapi sejujurnya ia dihantam oleh ketakutan yang begitu sulit diartikan. Evan memicing, tersenyum smirk penuh misteri. “Kamu tahu kan, aku bisa melakukan apa pun yang bahkan, kamu tidak bisa menduganya.”“Aku sudah punya semua bukti. Bahkan, hasil tes DNA Cale pun telah aku kantongin. Jadi,
Jangan Terlalu DekatMalam telah larut saat Evan akhirnya meninggalkan apartemen Alya. Pintu tertutup dengan pelan, menyisakan keheningan yang anehnya terasa sunyi tapi juga padat akan segala rasa. Di dalam, Alya masih berdiri di balik pintu, tidak segera bergerak. Nafasnya teratur, namun pikirannya kacau.Ia melangkah pelan ke ruang tengah, menatap lampu gantung yang menggantung tenang di atas sofa, seakan tak peduli betapa hatinya bergetar hebat. Sesuatu dalam dirinya terguncang—dan bukan hanya karena Evan muncul kembali dalam hidupnya, melainkan karena bagaimana pria itu, dengan begitu mudah, masuk dan menyentuh sisi hatinya yang sudah lama ia kunci rapat.“Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus membatasi Evan agar tidak semakin dekat dengan Cale,” bisiknya dalam hati. Cale sudah tertidur sejak dua jam lalu, setelah drama sakit dan kepanikan yang membuat malam itu menjadi titik balik dalam hidup Alya. Namun bagi Alya sendiri, malam itu baru saja dimulai.Ia berjalan men