"Apa kamu sudah gila?"teriaknya. Tatapan semua orang mengarah kepadanya.
"Mungkin aku memang sudah gila."Ardian agak mencondongkan kepalanya ke depan. "Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi, kan?"Pelangi mengangguk."Tapi kenapa?""Karena aku ingin dia sembuh.""Tapi kamu tidak akan bisa bersamanya.""Aku tahu dan itu tidak masalah. Cinta akan menemukan jalannya sendiri." Pelangi tersenyum sendu.Ardian menyandarkan tubuhnya dikursi dan bersidekap sambil menatap Pelangi."Cinta sudah membuatmu berpikir tidak waras dan bertindak bodoh.""Itulah cinta. Dalam mencintai seseorang yang terpenting adalah melihat orang itu bahagia.""Kau tahu menjadi pedonor hati itu tidak mudah harus melewati serangkaian tes yang cukup panjang dan si pedonor harus dalam keadaan benar-benar sehat. Selain itu mungkin ada beberapa efek samping setelah mendonorkan hati, tapi tidak terjadi pada setiap pedonor.""Aku sehat.""Masalahnya apa hatimu itu cocok untuk didonorkan, karena ada berbagai macam pertimbangan seperti golongan darah, usia, tinggi badan hingga kesehatan pedonor secara keseluruhan."Pelangi terdiam."Kalau begitu periksa saja aku siapa tahu cocok.""Apa kamu yakin kamu akan melakukan ini?""Tentu saja yakin."Ardian kembali mengembuskan napas panjang. "Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik lagi.""Tidak perlu dipikirkan lagi.""Kamu benar-benar sudah gila. Baiklah. Jika itu keinginanmu. Kamu sudah tahu resikonya."Pelangi mengangguk."Bagaimana dengan Ayahmu?""Jangan mengatakan apa pun pada Ayah. Aku tidak ingin kesehatannya bertambah buruk.""Aku mengerti.""Aku akan bicara pada dokter. Besok pagi datanglah ke sini lagi."Pelangi mengangguk. Ia melihat jam tangannya."Aku harus segera pergi. Aku harus menjual bunga-bungaku."Pelangi segera pergi dari hadapan Ardian. Ia pulang ke rumah susunnya untuk mengambil bunga-bunga buatannya yang akan dijual, kemudian ia pergi berkeliling menjajakan dagangannya sampai masuk ke sebuah komplek perumahan mewah. Pelangi melihat seorang wanita tua yang sedang duduk di taman depan rumahnya. Pelangi menghampiri gerbang rumah itu."Nyonya apa ingin membeli bungaku? Bunganya bagus-bagus."Seorang satpam mengusir Pelangi. "Kamu tidak boleh berjualan di sini.""Lepaskan gadis itu!" teriak seorang wanita tua dari balik gerbang. "Suruh dia masuk!"Satpam melepaskan Pelangi dan gadis itu menyengir lebar kepadanya. Pintu gerbang dibuka dan Pelangi masuk. Ia langsung menghampiri wanita itu."Ayo duduklah!""Apa Nyonya mau membeli bunga-bungaku?"Wanita itu melihat ke arah keranjang bunga yang dibawa Pelangi."Apa kamu yang membuatnya?""Iya."Wanita itu mengambil setangkai bunga mawar ungu."Bunganya sangat bagus."Pelangi tersipu malu mendapat pujian darinya. Mata tajam wanita itu mengawasi Pelangi dari ujung rambut sampai ujung kaki membuat Pelangi sedikit jengah ditatap seperti itu. Ia menjadi salah tingkah."Aku tidak akan membeli bungamu, tapi aku ingin kamu menjadi temanku bicaraku."Senyuman Pelangi memudar."Jangan khwatir! Aku akan membayarmu."Pelangi mengerjap-ngerjapkan matanya. "Aku tidak mengerti, Nyonya."Wanita itu tersenyum simpul. "Aku akan membayarmu sebagai teman bicara."Pelangi menatap wanita itu tak tak percaya, tapi ia juga merasa kasihan pada wanita itu. Pelangi berpikir mungkin wanita tua itu merasa kesepian tinggal di rumah besarnya."Baiklah, tapi aku belum tahu siapa nama Anda?""Ah aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Kayla.""Namaku, Pelangi.""Baiklah Pelangi mulai sekarang kamu akan menjadi teman bicaraku."Sore itu mereka habiskan waktu dengan bicara. Pelangi menceritakan tentang keluarganya dan tentang kegiatannya selama ini. Kayla merasa iba dengan kehidupan Pelangi yang menjadi tulang punggung keluarganya."Jadi kamu tiga bersaudara?""Iya.""Adik perempuanmu baru saja selesai kuliah?""Iya.""Kenapa kamu putus sekolah?""Aku harus memgutamakan pendidikan adik-adikku dulu.""Kamu sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Kamu adalah Kakak yang baik.""Aku sangat menyayangi mereka.""Tentu saja kamu sangat sayang mereka."Kayla meminum tehnya. Wajah sendunya diangkat menatap langit yang semakin beranjak sore."Aku senang bisa bicara denganmu, Pelangi."Wanita itu kembali menatapnya. "Aku jadi merasa tidak kesepian lagi.""Apa Nyonya Kayla tinggal di sini sendirian?""Suamiku sudah meninggal dan aku tidak memiliki anak. Aku tinggal bersama saudara kembarku dan dua keponakanku, tapi walapun begitu aku merasa tidak tinggal bersama mereka.""Kenapa merasa seperti itu?""Aku memiliki hubungan yang buruk dengan saudara kembarku. Dia menginginkan aku cepat mati untuk mengambil semua harta yang aku miliki. Dia tidak pernah mempedulikanku yang dia pedulikan hanyalah uang. Adikku itu gila harta.""Aku turut prihatin."Pelangi tidak tahu harus berkata apa. Seharusnya ia tidak pernah bertanya soal keluarganya."Sebaiknya kamu segera pulang. Ini sudah sangat sore. Adik-adikmu sudah menunggumu di rumah.""Anda benar. Aku akan pulang sekarang.""Dan ini bayaranmu."Pelangi kaget melihat uang begitu banyak yang diberikan oleh nyonya Kayla."Ini terlalu banyak.""Tidak apa-apa. Ambil saja! Sisanya bisa kamu simpan untuk pengobatan Ayahmu.""Terima kasih banyak, Nyonya Kayla!""Besok siang aku akan menunggumu di sini."Pelangi pergi dan tidak lama kemudian sebuah mobil sedan hitam memasuki gerbang. Seorang wanita keluar dari mobil, lalu berjalan menghampiri Kayla dengan wajah angkuh dan sombong."Bagaimana keadaan Akarsana?""Aku tidak tahu kamu peduli padanya,"sindirnya."Prita, bagaimana pun juga dia adalah keponakanku."Wanita yang bernama Prita itu berdecak. "Kamu pasti mengharapkan dia mati secepatnya agar kamu tidak perlu memberikan hartamu padanya." Wanita itu terdengar yakin."Prita, kamu keterlaluan sekali. Kenapa kamu selalu berpikiran kotor terhadap saudaramu sendiri?" Kayla geram dibuatnya."Bukannya kamu juga sama?""Aku tidak pernah salah menilai orang. Hati dan pikiranmu sudah diselimuti oleh rasa dengki dan iri hati padaku sejak dulu. Jika bukan karena permintaan orang tua kita, aku tidak akan mengizinkanmu tinggal di rumahku. Mungkin kalian sudah tinggal di jalanan sekarang dan tentu saja dengan kebaikan hatiku aku memperkerjakan putramu di perusahaanku. Akarsana, dia anak yang baik, tapi sayang dia memiliki Ibu macam kamu yang selalu meracuni pikirannya."Prita menatap geram pada saudara kembarnya. Ia sudah tidak tahan hidup satu atap dengan saudara kembarnya itu. Kebenciannya pada Kayla dimulai sejak orang tua mereka selalu membeda-bedakan mereka. Kayla selalu menjadi anak kesayangan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya mulai dari karir, cinta, dan harta yang melimpah."Dari dulu sampai sekarang, kamu tidak pernah berubah. Setiap hari kamu selalu memboroskan uangmu pantas saja kamu tidak pernah bisa menjadi orang kaya sebaliknya kamu jatuh miskin. Harta warisan bagianmu dari orang tua kita sudah kamu habiskan begitu saja.""Diam kau Kayla! Aku tidak ingin mendengar ceramahmu lagi. Aku sudah muak." Wajah Prita diliputi oleh seribu satu kekesalan. Ia masuk ke dalam rumah.Di rumah sakit, Ardian yang sedang melihat keadaan Akarsana, pria itu tiba-tiba membuka matanya.Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak