Pelan tapi pasti, jari-jari tangan milik Akarsana mulai bergerak. Meskipun hanya pelan, terkesan halu, masih dapat ditangkap oleh penglihatan Ardian. Laki-laki itu lantas berjalan ke sisi brankar, tubuhnya sedikit mencondong, memastikan penglihatannya tidak salah.
Jari itu kembali bergerak. Kali ini Ardian sangat yakin dengan penglihatannya. Dengan cepat, tangan Ardian menekan tombol nurse call di atas brankar milik Akarsana.“Akarsana, bisa mendengar saya?” Ardian tentu saja mengerti jika pertanyaannya tidak akan dijawab, tapi itu semua keluar begitu saja dari mulutnya. Reflek saat melihat pergerakan dari Akarsana yang dikatakan koma.Tidak tenang karena belum ada tanda-tanda dokter akan datang, Ardian memilih untuk bergegas melangkah keluar. Dia ingin Akarsana segera mendapatkan pemeriksaan terkait kondisinya saat ini.Ini kabar baik. Sangat baik.Bangunnya Akarsana dari koma adalah keajaiban yang ditunggu oleh Pelangi, sepupunya. Ardian sudah bisa membayangkan seperti apa respon Pelangi saat mendengar kabar ini. Namun, sebelum memberitahu kabar bahagia ini, Ardian ingin terlebih dahulu memastikan. Dia tidak ingin sepupunya kembali kecewa.“Bagaimana, Dok?” tanya Ardian setelah Dokter selesai memeriksa Akarsana.“Syukurlah, Tuan Akarsana sudah melalui masa kritisnya.” Dokter itu memberi kabar bahagia seraya tersenyum. “Kita hanya menunggu Tuan membuka matanya. Seandainya Tuan mengeluhkan badannya lemas dan kaku, itu hal biasa bagi orang yang bangun dari koma.”Senyum Ardian semakin lebar. Setelah mengucapkan terima kasih, Ardian mengantarkan Dokter untuk keluar. Dia harus menyampaikan berita bahagia ini pada Pelangi. Tangannya lantas mengambil ponsel di saku celana, mencari nama Pelangi sebelum menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan.“Halo!” sapa suara di seberang sana membuat senyum Ardian semakin lebar, sudah tidak sabar. “Tumben kamu menelepon? Ada apa? Dia baik-baik saja, kan? Tidak ada masalah, kan? Kenapa kamu diam, Ar? Tolong jawab pertanyaan aku jawab! Jangan buat aku penasaran.”Bukannya menjawab Ardian justru terkekeh mendengar rentetan pertanyaan dari Pelangi. Apakah Pelangi sudah se-cinta ini dengan laki-laki itu? Bagaimana mau jawab kalau Pelangi saja terus bertanya?“Kamu tidak usah panik, Pelangi.” Ardian kembali terkekeh. “Bukan kabar buruk. Justru, aku membawa kabar baik buat kamu.”“Kabar baik apa? Jangan minta aku main tebak-tebakkan ya, Ar,” ancam Pelangi yang sudah terdengar tidak sabar. “Ar, berita ap–”“Akarsana sudah sadar.” Ardian kembali tersenyum. “Dia sudah bangun dari koma.”Satu detik, dua detik, tidak ada jawaban dari Pelangi. Bahkan, Ardian sampai harus menjauhkan ponsel guna memastikan sambungan telepon mereka tidak terputus. Dia kembali berusaha memanggil Pelangi. Namun, yang terdengar justru isak tangis.“Jangan bercanda kamu,” seru Pelangi dengan suara serak menahan tangis. Rasanya begitu bahagia mendengar kabar ini.Ardian tersenyum simpul mendengar suara serak Pelangi. Dia turut bahagia jika Pelangi bahagia. “Aku tidak bohong, Pelangi. Aku tidak berani mempermainkan kehidupan orang lain.”Suara tangis di seberang telepon sana menyayat hati Ardian. Dia masih tidak habis pikir bagaimana bisa Plangi mengambil keputusan itu untuk menyelamatkan laki-laki asing yang baru ditemui.Ucapan syukur terdengar beberapa kali sebelum akhirnya sambungan telepon terputus setelah Pelangi mengungkapkan rasa bahagianya. Belum, tugasnya belum selesai sampai di sini. Ardian masih harus bertemu dengan dokter Candra untuk membicarakan permintaan Pelangi yang menurutnya cukup gila.“Bagaimana, Dok?” tanya Ardian setelah mengatakan keinginan Pelangi untuk menjadi donor hati.“Aka lebih baik kalau Tuan membawa Nona Pelangi ke rumah sakit. Kita akan melakukan rangkaian pemeriksaan terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi.” Dokter Candra menghela nafas. “Operasi seperti ini, tidak bisa dikatakan sebagai operasi kecil. Bisa jadi di tengah jalan terjadi sesuatu. Untuk mencegah semuanya, Kami akan memastikan terlebih dahulu kondisi Nyonya Pelangi.”Ardian mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Dokter. Tidak salah, operasi ini bukanlah operasi kecil. Salah mengambil tindakan, nyawa dua orang yang menjadi taruhannya. Dan Ardian tidak ingin kehilangan Pelangi.Tangan Ardian kembali berkutat dengan ponsel. Ada setitik ragu. Namun, dia harus mengatakan ini agar Pelangi bisa mempertimbangkan lagi. Setelah memastikan isi pesan sesuai, Ardian lantas mengirimkannya pada Pelangi. Kebetulan Pelangi akan ke rumah sakit untuk melihat keadaan Akarsana.Di sebuah rumah, tangis haru terdengar begitu menusuk hati. Orang itu adalah Pelangi. Doa-doa yang selama ini ia ucapkan akhirnya didengar oleh Tuhan. Akarsana, laki-laki yang memikat hatinya pada pandangan pertama sudah sadar dari koma. Tidak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan melihat orang yang kita sayangi baik-baik saja.“Aku akan melihatnya sambil menjenguk ayah.”Selama di dalam taksi, senyum Pelangi tidak pernah luntur. Tatapannya beralih pada ponsel yang menampilkan pesan dari Ardian. Sepertinya, dia harus berjumpa dengan Dokter Candra sebelum menjenguk Akarsana. Ah, apakah dia bisa bertemu dengan Akarsana kembali? Entahlah. Kalau tidak Pelangi sudah bahagia menatap Akarsana dari jauh.***Tiba di rumah sakit, Pelangi lantas menemui Ardian. Laki-laki itu yang akan mengantarnya untuk bertemu dengan dokter Candra. Pelangi tidak merasa keberatan saat Ardian izin untuk melakukan kunjungan pada pasien lain.Di dalam ruangan tidak cukup besar itu, Pelangi mendengarkan setiap kata yang dikatakan dokter Candra. Taku? Tentu. Terbesit rasa takut di hati Pelangi. Mau bagaimana pun operasi ini bisa saja gagal di tengah jalan. Itu artinya bukan hanya Akarsana yang tiada, dia juga bisa.Hanya saja tekadnya sudah bulat. Pelangi akan melakukan operasi ini untuk membantu Akarsana, laki-laki yang sudah memikat hatinya sejak pertama kali bertemu. Pelangi hanya bisa berdoa agar Tuhan masih memberikan izin dirinya hidup lebih lama.“Sudah siap?” tanya Dokter Candra seakan memastikan Pelangi tidak akan mundur.Pelangi mengangguk. Hari ini, dia akan melakukan serangkaian tes. Termasuk tes kesehatan yang didalamnya ada tes fungsi hati, tes penyakit menular, tes penyakit yang mengancam psikologi atau jiwa, tes darah dan yang paling penting adalah pencocokan hati.“Terima kasih, Dok,” ucap Pelangi setelah menyelesaikan serangkaian tes, yang jujur saja sangat melelahkan.“Sama-sama. Selama menunggu, saya meminta agar asupan makanan kamu lebih diperhatikan.”“Baik, Dok.”Di sisi lain, Prita baru saja tiba di rumah sakit setelah mendapatkan berita sang Anak sudah siuman. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari kabar bahagia dari sang anak. Ibu mana yang tidak khawatir melihat sang anak terbaring lemah dengan bantuan alat rumah sakit?Dari arah berlawanan, Pelangi baru saja keluar dari ruang dokter. Mereka saling berpapasan hanya melirik sekilas, lalu kembali pada tujuan masing-masing.Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak