Pagi itu, suasana proyek Tanaka Development Cabang Timur tampak lebih hidup dari biasanya. Beberapa staf sudah berkumpul di kantor kecil berwarna putih gading, sibuk menyiapkan laporan dan data lapangan. Di tengah kesibukan itu, Maya terlihat menunduk di mejanya, mencoba fokus pada berkas yang harus direkap. Tapi matanya terus melirik ke arah Ardi, yang berdiri di dekat jendela sambil membetulkan helmnya.
Sejak kejadian malam laporan tempo hari, hubungan mereka terasa lebih dekat — bukan dalam arti romantis, tapi cukup untuk membuat Maya merasa aneh setiap kali pria itu tersenyum padanya.
Dan tentu saja, seseorang sudah menyadari perubahan itu.
Risa mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan. “May, kamu sadar nggak kalau dari tadi kamu ngelihatin Ardi terus?”
Maya spontan mengangkat kepala. “Hah? Nggak! Aku cuma—”
“Cuma ngagumin dari jauh?” potong Risa cepat, menahan tawa.
Maya mendesah. “Kamu ini, Ris. Aku cuma memperhatikan hasil laporan yang dia pegang. Itu dokumen penting, tahu!”
“Hmm… alasan klasik,” Risa terkekeh. “Kalau kamu suka, bilang aja. Aku bisa bantu jodohin.”
Maya menatap sahabatnya tajam. “Ris, serius deh. Jangan mulai gosip aneh.”
Namun, gosip tak butuh izin untuk menyebar. Siang itu, saat Maya dan Ardi keluar memeriksa area pondasi baru, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Cara Maya bicara lebih lembut dari biasanya, dan Ardi tampak selalu berjalan setengah langkah di belakangnya, seolah menjaga jarak yang sopan. Tapi bagi mereka yang menonton, pemandangan itu sudah cukup jadi bahan obrolan segar.
Di ruang pantry, dua karyawan perempuan — Vina, sekretaris divisi, dan Della, staf HRD — sedang menikmati kopi instan sambil berbisik pelan.
“Kamu lihat nggak? Maya sama staf baru itu makin sering bareng,” kata Vina dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Della mengangkat alis. “Yang Ardi itu? Iya, aku juga perhatiin. Padahal biasanya Maya susah deket sama cowok.”
“Makanya. Ini aneh. Ardi baru datang, tapi langsung nyambung sama dia. Aku curiga jangan-jangan mereka udah kenal dulu.”
Della menatap Vina serius. “Jangan asal ngomong. Bisa-bisa nanti bikin suasana kantor nggak enak.”
Vina menyeringai. “Aku cuma ngomong fakta. Lagian, kalaupun bener, lumayan seru, kan? Akhirnya ada kisah cinta di tengah debu proyek.”
Mereka berdua tertawa kecil, tak sadar bahwa tawa itu terdengar sampai ke koridor tempat Andra Putra lewat.
Andra berhenti di depan pintu pantry, pandangannya gelap seketika. Ia tak butuh banyak waktu untuk tahu siapa yang jadi bahan pembicaraan. Suara tawa itu, dikombinasikan dengan pemandangan Maya dan Ardi yang tadi ia lihat di lapangan, sudah cukup membuat dadanya sesak oleh rasa yang bahkan ia sendiri enggan akui.
Sore harinya, saat rapat tim kecil berlangsung, suasana di ruang proyek sedikit berbeda. Maya duduk di ujung meja, fokus menulis catatan. Ardi di seberangnya, menjelaskan progres pekerjaan dengan tenang.
“Bagian fondasi sudah 80%,” ucap Ardi. “Tapi ada sedikit deviasi di sisi barat, mungkin karena hujan dua hari terakhir.”
Maya mengangguk. “Saya sudah minta tim untuk periksa ulang. Besok saya ikut ke lapangan lagi.”
Andra yang duduk di kepala meja mengetukkan penanya pelan. “Bagus. Tapi mulai sekarang, setiap staf baru harus melapor ke saya langsung sebelum turun ke lokasi.”
Ardi menoleh sopan. “Baik, Pak.”
Maya melirik cepat, menyadari nada suara Andra lebih tegas dari biasanya.
Setelah rapat bubar, Risa berbisik ke Maya. “Aku yakin Pak Andra lagi bad mood karena kamu deket sama Ardi.”
Maya menghela napas. “Ris, jangan mulai gosip itu lagi. Tolong, ya.”
Di sisi lain, Ardi tetap menjalani harinya dengan tenang. Ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah jadi topik utama pembicaraan di kantor cabang. Yang ia tahu hanyalah pekerjaan harus selesai dengan benar.
Siang menjelang sore, ia melihat Maya masih di meja kerjanya, menulis laporan dengan ekspresi lelah. Tanpa pikir panjang, Ardi mendekat sambil membawa dua gelas air dingin.
“Kamu belum istirahat?”
Maya mendongak, sedikit terkejut. “Belum, masih banyak yang harus direkap.”
“Kalau kamu terus-terusan begini, nanti malah sakit.” Ardi meletakkan satu gelas di depan Maya. “Minum dulu.”
Maya menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Ardi. Kamu perhatian banget.”
Ardi mengangkat bahu. “Aku cuma nggak mau timku tumbang sebelum proyeknya selesai.”
“Timku?” Maya menggoda, tersenyum geli.
Ardi menatapnya sebentar sebelum ikut tersenyum. “Ya, kamu bagian dari timku juga, kan?”
Suasana di antara mereka tiba-tiba menjadi lebih ringan — terlalu ringan, hingga Risa yang baru masuk ruangan harus menahan senyum lebar melihatnya.
Sore itu, saat sebagian besar staf sudah pulang, Maya membereskan meja kerjanya. Ia merasa hari ini terasa aneh — semua orang seolah memperhatikan setiap geraknya. Ketika ia keluar dari kantor, Della menghampiri dengan wajah canggung.
“Maya, aku mau bilang sesuatu.”
“Ya?”
Della menatapnya ragu. “Hati-hati aja. Beberapa orang mulai ngomongin kamu dan Ardi. Katanya kalian... dekat.”
Maya tertegun sesaat, lalu tersenyum pahit. “Gosip kantor nggak ada matinya, ya?”
“Aku tahu kamu orang baik. Tapi kadang, niat tulus bisa disalahpahami,” ujar Della lembut.
Maya mengangguk pelan. “Terima kasih, Del. Aku ngerti.”
Ia berjalan pulang sambil menarik napas panjang. Dalam hatinya, Maya tahu tak ada yang salah dengan hubungannya dan Ardi — semuanya profesional. Tapi entah kenapa, ucapan Della menimbulkan rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan.
Di kamar kos malam itu, Ardi menatap layar laptopnya, mengecek laporan yang dikirim Maya. Semuanya rapi, akurat, dan disusun dengan dedikasi tinggi. Ia tersenyum kecil, merasa kagum sekaligus bangga.
Namun, di notifikasi ponselnya muncul pesan baru dari Davin, asisten pribadinya di kantor pusat:
“Kabar cepat menyebar, Bos. Kalau kamu nggak hati-hati, penyamaranmu bisa runtuh gara-gara satu perempuan.”
“Tidak selalu. Kadang aku juga ingin berteriak.”Maya menatapnya. “Tapi kau tidak melakukannya.”“Karena aku belajar bahwa marah tidak membuat dunia mendengarkan. Kadang, bertahan jauh lebih keras daripada membalas.”Maya menarik napas panjang, lalu memeluk lututnya. “Aku tidak salah kali ini, Ardi. Aku tahu datanya benar. Tapi kenapa rasanya... seperti semua orang senang kalau aku disalahkan?”“Karena mereka butuh seseorang untuk menanggung kesalahan,” jawab Ardi lembut. “Dalam dunia yang berisik seperti ini, orang sering mencari kambing hitam, bukan kebenaran.”Ia membuka botol air dan menyerahkannya pada Maya. “Minumlah dulu.”Maya menerimanya pelan. Tangan mereka bersentuhan sekilas — dingin air berpadu dengan hangat kulit manusia.Ardi melanjutkan dengan suara rendah, seolah takut merusak keheningan.“Dulu aku pernah membuat keputusan yang salah di tempat kerja. Aku pikir itu keputusan terbaik karena semua orang menekan waktu. Tapi akhirnya banyak orang yang menanggung akibatnya,
Ardi tersenyum, menunduk. “Mungkin aku hanya pernah salah menilai apa artinya tanggung jawab.”Hening mengisi ruang di antara mereka.Lalu Maya berkata pelan, “Terima kasih, Ardi. Aku tahu kau tidak suka sorotan, tapi aku ingin kau tahu — bantuanku kemarin menyelamatkan proyek ini.”“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Ardi lembut. “Kau yang berani bicara duluan.”Sore harinya, kabar uji material menyebar. Vendor dipanggil ulang ke lokasi, dan kali ini, bukti hasil laboratorium membuat mereka tak bisa mengelak.Pak Darto bahkan memuji Maya di depan semua staf karena “ketelitian administrasinya.”Maya hanya tersenyum samar, sementara matanya secara refleks mencari seseorang di antara kerumunan.Ardi berdiri di belakang, tidak banyak bicara. Hanya mengangguk kecil ketika tatapan mereka bertemu.Maya membalasnya dengan senyum tipis — senyum yang mengandung ucapan terima kasih yang tak perlu diucapkan.Malam tiba, dan proyek kembali sunyi.Maya duduk di ruang administrasi sendirian, menat
Pagi itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung, tapi bukan karena hujan — melainkan suasana di area proyek yang mendadak tegang.Maya berdiri di depan meja vendor, berhadapan dengan pria berjaket hitam yang menatapnya dengan ekspresi menantang.“Jadi intinya, kami tidak bisa ganti rugi,” kata pria itu dengan nada ketus.“Tapi material yang kalian kirim tidak sesuai spesifikasi. Itu melanggar kontrak.”“Kontrak itu bisa ditafsirkan. Kami sudah kirim sesuai yang disepakati lewat telepon.”“Yang disepakati tertulis, bukan lewat kata-kata!” suara Maya meninggi tanpa bisa ditahan.Beberapa pekerja yang lewat berhenti sejenak, pura-pura sibuk tapi jelas memperhatikan.Pria vendor itu bersedekap. “Kalau tidak suka, silakan komplain ke kantor pusat. Tapi sampai surat resmi keluar, kami tidak akan mengganti satu pun.”Maya menggigit bibir. Ia tahu jalur resmi akan memakan waktu, sementara deadline pengecoran sudah di depan mata. Beton butuh pasir dan semen dengan kadar tertent
Matanya sedikit perih, tapi semangatnya masih menyala.Entah kenapa, pikirannya sempat terlintas pada seseorang — Ardi, rekan barunya yang diam-diam menjadi alasan kenapa hari-hari di proyek terasa lebih ringan.Ia ingat bagaimana pria itu memperbaiki sistem laporan tanpa diminta, membantu tanpa pamrih, mendengarkan tanpa menghakimi.Mungkin karena itu, ia percaya padanya. Mungkin karena itu juga, ia tidak tahu bahwa kepercayaannya sedang menempel pada kebohongan yang besar.Di kamar kosnya, Adrian membuka buku catatan hitam yang sudah mulai penuh dengan coretan observasi, pikiran, dan refleksi kecil yang ia tulis setiap malam.Halaman terakhir bertuliskan:Hari ini aku sadar, penyamaran ini bukan lagi tentang menyelidiki sistem, tapi tentang menyelami manusia. Aku belajar bahwa bekerja keras bukan selalu soal ambisi — kadang, itu soal bertahan.Ia menatap kalimat itu lama, kemudian menambahkan baris baru:Aku pikir aku turun untuk memperbaiki mereka. Tapi ternyata, akulah yang diperb
Adrian berhenti sejenak dan melanjutkan kata-katanya.“Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jujur — meski semua ini adalah kebohongan.”Setelah panggilan berakhir, Adrian menatap layar ponselnya lama. Lalu, perlahan ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan duduk di tepi ranjang.Dalam kegelapan kamar, pikirannya melayang pada dua dunia yang kini sama-sama memanggilnya.Di satu sisi, dunia lamanya — ruang rapat beraroma kopi mahal, suara sepatu mengilap di lantai marmer, laporan laba rugi yang tumbuh tanpa wajah manusia di baliknya.Di sisi lain, dunia yang kini ia tempati — barak kayu dengan lampu redup, tawa para pekerja yang sederhana, dan seorang perempuan bernama Maya yang bekerja bukan demi ambisi, tapi demi bertahan hidup.Ia memejamkan mata, dan dua dunia itu seolah berdiri berdampingan di pikirannya — tinggi dan rendah, bersih dan berdebu, dingin dan hangat.Kontrasnya begitu nyata, tapi anehnya, justru membuatnya ingin menjembatani keduanya.Keesokan harinya
Malam turun perlahan di langit Timur.Proyek sudah sepi, hanya suara serangga dan mesin pendingin barak yang berputar malas. Di kamar kos sempit yang ia sewa di dekat lokasi proyek, Ardi — atau lebih tepatnya, Adrian Tanaka — duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka dan layar ponsel menyala redup.Cahaya lampu pijar membuat bayangan wajahnya tampak samar. Tidak ada jas mahal, tidak ada ruang rapat kaca dengan panorama kota — hanya pria biasa dengan kemeja kusut, wajah letih, dan tangan yang masih berdebu sisa siang tadi.Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Davin Haryono.Asisten pribadinya.Satu-satunya orang yang tahu siapa dia sebenarnya.Adrian menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.“Davin.”Suara di seberang terdengar pelan, tapi penuh ketegangan. “Akhirnya kau menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali.”“Maaf, sinyal di sini buruk.”“Sinyal buruk atau memang kau sengaja menghindar?”Adrian tersenyum samar. “Kau masih sama, Davin. Selalu menuduh dulu s