Pagi itu proyek cabang Timur sudah ramai sejak matahari baru naik sejengkal. Suara mesin las berpadu dengan teriakan pekerja yang saling memberi instruksi. Di tengah hiruk pikuk itu, Ardi berdiri memperhatikan Maya Larasati yang sedang menandai hasil pengukuran di papan laporan. Keringat membasahi pelipisnya, tapi perempuan itu tetap fokus, seolah dunia di sekitarnya tak ada.
Setiap kali Maya bicara dengan pekerja, suaranya tegas tapi tidak kasar. Ia tak segan membantu mengangkat material atau menghapus debu di helm rekan kerjanya. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa keluh kesah. Dalam diam, Ardi mengamati setiap geraknya, menyadari bahwa ketulusan bekerja tidak pernah butuh sorotan — cukup dibuktikan dalam kesunyian tindakan.
“Ardi, tolong catat angka ini ya,” suara Maya memecah lamunannya.
Ardi cepat-cepat mengambil pulpen. “Siap. Dua koma delapan meter?”
“Betul. Pastikan juga selisihnya nggak lebih dari dua sentimeter.”
Ardi menuliskannya hati-hati, lalu mengangguk. “Sudah. Kamu teliti sekali.”
Maya tersenyum tipis. “Kalau nggak teliti, bisa kena marah Pak Andra. Lagipula, ini tanggung jawabku.”
“Berarti kamu sudah sering kena marah?” Ardi menggoda ringan.
“Dulu iya. Sekarang… sudah kebal.”
Ardi terkekeh. “Kebal atau diam-diam dendam?”
Maya menatapnya sambil tertawa kecil. “Kebal. Kalau dendam, saya nggak akan betah di sini.”
Sepanjang hari, Ardi memilih mengamati lebih banyak daripada bicara. Ia mencatat bagaimana Maya memimpin rekan-rekan kerjanya tanpa jabatan formal, hanya dengan keteladanan. Saat ada kesalahan pengukuran, Maya tidak menyalahkan siapa pun — ia justru turun tangan memperbaiki. Ketika ada alat rusak, ia mengajukan perbaikan sendiri tanpa menunggu instruksi.
Di sela istirahat makan siang, Ardi duduk tak jauh dari Maya dan Risa. Mereka makan di bawah tenda sederhana dengan nasi bungkus dan air mineral. Pemandangan yang sederhana, tapi terasa hangat.
Risa melirik Ardi sambil tersenyum nakal. “Pak Ardi, udah betah di proyek belum? Atau masih kangen kantor pusat yang adem?”
Ardi tersenyum kecil. “Kalau kangen AC sih, iya. Tapi di sini udaranya lebih jujur.”
Maya mendongak, menatapnya heran. “Maksudnya?”
“Di kantor pusat, orang banyak ngomong soal kerja keras, tapi jarang kotor tangannya.”
Risa tertawa pelan. “Wah, filosofis banget. Nanti Maya bisa kalah bijak, lho.”
Maya menepuk bahu Risa pelan. “Sudah, makan aja. Nasi kamu keburu dingin.”
Sore hari, Maya terlihat duduk di ruang administrasi proyek, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Laporan bulanan yang harus dikirim ke pusat besok pagi belum selesai. Ardi yang kebetulan lewat memperhatikan dari pintu.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.
Maya mendongak, sedikit kaget. “Oh, nggak usah, Pak Ardi. Ini cuma laporan kecil.”
“Tapi wajahmu bilang lain,” balas Ardi.
Maya terkekeh pelan. “Formatnya agak rumit. Saya baru belajar bikin laporan seperti ini.”
Ardi melangkah mendekat. “Coba saya lihat.”
Maya memutar laptopnya. Ardi memperhatikan cepat, jarinya otomatis menavigasi rumus dan kolom. Dalam beberapa menit, data yang semula acak mulai tersusun rapi.
“Begini aja, tambahkan kolom rasio di sini. Lebih mudah dibaca atasan,” jelas Ardi lembut.
Maya menatapnya kagum. “Kamu tahu banyak soal laporan proyek, ya?”
Ardi tersenyum samar. “Kebetulan pernah bantu teman di bidang ini.”
“Teman?”
“Ya… semacam itu,” jawabnya, menghindar.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan produktif. Hanya terdengar suara ketikan lembut di antara mereka. Maya menatap layar, lalu Ardi, lalu layar lagi — dan tanpa sadar tersenyum.
“Terima kasih, Ardi. Saya jadi cepat selesai,” ucapnya tulus.
“Senang bisa bantu.”
Maya menutup laptop. “Kamu tahu, banyak orang di sini lebih suka menghindar daripada membantu. Kamu beda.”
Ardi menatapnya lama. “Mungkin karena aku tahu rasanya bekerja sendirian.”
Kata-kata itu membuat Maya terdiam sesaat. Ada nada kesepian yang halus di balik ucapan itu, seolah ia berbicara tentang masa lalu yang berat. Tapi Ardi langsung mengalihkannya dengan senyum tipis. “Laporanmu bagus. Kamu pantas jadi supervisor, tahu?”
Maya tertawa pelan. “Jangan bercanda. Saya cuma karyawan kontrak.”
“Justru itu,” Ardi menatapnya serius. “Kamu kerja seperti orang yang percaya masa depan bisa diubah dengan ketulusan, bukan jabatan.”
Sore berubah menjadi malam. Proyek mulai sepi, lampu-lampu lapangan menyala kuning. Maya berjalan keluar dari kantor kecil itu, membawa map laporan yang baru diselesaikan. Ardi berjalan di sampingnya tanpa banyak bicara.
“Terima kasih sekali lagi,” kata Maya. “Kalau kamu nggak bantu, saya pasti lembur.”
“Lembur nggak selalu buruk, asal tahu untuk siapa kamu melakukannya.”
Maya mengernyit. “Maksudmu?”
“Kadang orang bekerja keras hanya untuk diakui. Tapi ada juga yang bekerja karena ingin memberi kebahagiaan pada seseorang. Kamu termasuk yang mana?”
Maya tersenyum lembut. “Saya? Mungkin yang kedua. Saya kerja untuk ibu saya. Beliau sakit, dan biaya pengobatannya besar. Jadi… selama masih kuat, saya akan terus kerja.”
Ardi menunduk, suaranya lirih. “Ibuku juga dulu bilang begitu. Kerja keras itu bukan hukuman, tapi bentuk cinta.”
Maya menatapnya, terkejut mendengar nada lembut dalam kalimat itu. “Kamu sayang banget sama ibumu, ya?”
“Dulu,” jawab Ardi pelan. “Sebelum kehilangan dia karena dunia yang terlalu sibuk mengejar angka.”
Keheningan menyelimuti mereka. Maya menggenggam map di dadanya. “Aku… turut berduka.”
Ardi tersenyum hangat. “Terima kasih. Tapi justru karena itu, aku belajar banyak. Dunia ini terlalu keras untuk orang yang lupa makna sederhana.”
Maya menatap ke depan, ke arah lampu-lampu proyek yang berkelip. “Mungkin makna sederhana itu justru yang paling sulit dijaga.”
“Ya,” balas Ardi. “Seperti kamu yang masih bisa tersenyum meski lelah.”
Mereka berjalan berdampingan tanpa kata, hanya diiringi suara jangkrik dan langkah sepatu di tanah basah. Ardi melirik Maya sekilas — cara jalannya, cara menunduk, bahkan caranya menahan tawa — semuanya tampak ringan, tapi memiliki kekuatan yang sulit dijelaskan.
Dalam hati, Ardi mengakui sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa kagum.
Kagum pada kesederhanaan yang tak berpura-pura. Pada seseorang yang hidup dengan tujuan nyata. Dan pada perasaan baru yang tumbuh pelan-pelan tanpa izin.
Malam itu, saat kembali ke kamar kosnya, Ardi membuka catatan kecil yang selalu ia bawa. Pena itu bergerak pelan, menulis satu kalimat singkat:
“Maya Larasati — perempuan yang membuatku mengerti arti kerja yang sesungguhnya.”
Ia menutup buku itu, memandangi langit gelap di luar jendela. Dalam diam, Ardi tersenyum.
Mungkin, inilah pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa menjadi manusia, bukan sekadar CEO di menara kaca.
“Tidak selalu. Kadang aku juga ingin berteriak.”Maya menatapnya. “Tapi kau tidak melakukannya.”“Karena aku belajar bahwa marah tidak membuat dunia mendengarkan. Kadang, bertahan jauh lebih keras daripada membalas.”Maya menarik napas panjang, lalu memeluk lututnya. “Aku tidak salah kali ini, Ardi. Aku tahu datanya benar. Tapi kenapa rasanya... seperti semua orang senang kalau aku disalahkan?”“Karena mereka butuh seseorang untuk menanggung kesalahan,” jawab Ardi lembut. “Dalam dunia yang berisik seperti ini, orang sering mencari kambing hitam, bukan kebenaran.”Ia membuka botol air dan menyerahkannya pada Maya. “Minumlah dulu.”Maya menerimanya pelan. Tangan mereka bersentuhan sekilas — dingin air berpadu dengan hangat kulit manusia.Ardi melanjutkan dengan suara rendah, seolah takut merusak keheningan.“Dulu aku pernah membuat keputusan yang salah di tempat kerja. Aku pikir itu keputusan terbaik karena semua orang menekan waktu. Tapi akhirnya banyak orang yang menanggung akibatnya,
Ardi tersenyum, menunduk. “Mungkin aku hanya pernah salah menilai apa artinya tanggung jawab.”Hening mengisi ruang di antara mereka.Lalu Maya berkata pelan, “Terima kasih, Ardi. Aku tahu kau tidak suka sorotan, tapi aku ingin kau tahu — bantuanku kemarin menyelamatkan proyek ini.”“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Ardi lembut. “Kau yang berani bicara duluan.”Sore harinya, kabar uji material menyebar. Vendor dipanggil ulang ke lokasi, dan kali ini, bukti hasil laboratorium membuat mereka tak bisa mengelak.Pak Darto bahkan memuji Maya di depan semua staf karena “ketelitian administrasinya.”Maya hanya tersenyum samar, sementara matanya secara refleks mencari seseorang di antara kerumunan.Ardi berdiri di belakang, tidak banyak bicara. Hanya mengangguk kecil ketika tatapan mereka bertemu.Maya membalasnya dengan senyum tipis — senyum yang mengandung ucapan terima kasih yang tak perlu diucapkan.Malam tiba, dan proyek kembali sunyi.Maya duduk di ruang administrasi sendirian, menat
Pagi itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit mendung, tapi bukan karena hujan — melainkan suasana di area proyek yang mendadak tegang.Maya berdiri di depan meja vendor, berhadapan dengan pria berjaket hitam yang menatapnya dengan ekspresi menantang.“Jadi intinya, kami tidak bisa ganti rugi,” kata pria itu dengan nada ketus.“Tapi material yang kalian kirim tidak sesuai spesifikasi. Itu melanggar kontrak.”“Kontrak itu bisa ditafsirkan. Kami sudah kirim sesuai yang disepakati lewat telepon.”“Yang disepakati tertulis, bukan lewat kata-kata!” suara Maya meninggi tanpa bisa ditahan.Beberapa pekerja yang lewat berhenti sejenak, pura-pura sibuk tapi jelas memperhatikan.Pria vendor itu bersedekap. “Kalau tidak suka, silakan komplain ke kantor pusat. Tapi sampai surat resmi keluar, kami tidak akan mengganti satu pun.”Maya menggigit bibir. Ia tahu jalur resmi akan memakan waktu, sementara deadline pengecoran sudah di depan mata. Beton butuh pasir dan semen dengan kadar tertent
Matanya sedikit perih, tapi semangatnya masih menyala.Entah kenapa, pikirannya sempat terlintas pada seseorang — Ardi, rekan barunya yang diam-diam menjadi alasan kenapa hari-hari di proyek terasa lebih ringan.Ia ingat bagaimana pria itu memperbaiki sistem laporan tanpa diminta, membantu tanpa pamrih, mendengarkan tanpa menghakimi.Mungkin karena itu, ia percaya padanya. Mungkin karena itu juga, ia tidak tahu bahwa kepercayaannya sedang menempel pada kebohongan yang besar.Di kamar kosnya, Adrian membuka buku catatan hitam yang sudah mulai penuh dengan coretan observasi, pikiran, dan refleksi kecil yang ia tulis setiap malam.Halaman terakhir bertuliskan:Hari ini aku sadar, penyamaran ini bukan lagi tentang menyelidiki sistem, tapi tentang menyelami manusia. Aku belajar bahwa bekerja keras bukan selalu soal ambisi — kadang, itu soal bertahan.Ia menatap kalimat itu lama, kemudian menambahkan baris baru:Aku pikir aku turun untuk memperbaiki mereka. Tapi ternyata, akulah yang diperb
Adrian berhenti sejenak dan melanjutkan kata-katanya.“Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jujur — meski semua ini adalah kebohongan.”Setelah panggilan berakhir, Adrian menatap layar ponselnya lama. Lalu, perlahan ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan duduk di tepi ranjang.Dalam kegelapan kamar, pikirannya melayang pada dua dunia yang kini sama-sama memanggilnya.Di satu sisi, dunia lamanya — ruang rapat beraroma kopi mahal, suara sepatu mengilap di lantai marmer, laporan laba rugi yang tumbuh tanpa wajah manusia di baliknya.Di sisi lain, dunia yang kini ia tempati — barak kayu dengan lampu redup, tawa para pekerja yang sederhana, dan seorang perempuan bernama Maya yang bekerja bukan demi ambisi, tapi demi bertahan hidup.Ia memejamkan mata, dan dua dunia itu seolah berdiri berdampingan di pikirannya — tinggi dan rendah, bersih dan berdebu, dingin dan hangat.Kontrasnya begitu nyata, tapi anehnya, justru membuatnya ingin menjembatani keduanya.Keesokan harinya
Malam turun perlahan di langit Timur.Proyek sudah sepi, hanya suara serangga dan mesin pendingin barak yang berputar malas. Di kamar kos sempit yang ia sewa di dekat lokasi proyek, Ardi — atau lebih tepatnya, Adrian Tanaka — duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka dan layar ponsel menyala redup.Cahaya lampu pijar membuat bayangan wajahnya tampak samar. Tidak ada jas mahal, tidak ada ruang rapat kaca dengan panorama kota — hanya pria biasa dengan kemeja kusut, wajah letih, dan tangan yang masih berdebu sisa siang tadi.Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Davin Haryono.Asisten pribadinya.Satu-satunya orang yang tahu siapa dia sebenarnya.Adrian menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.“Davin.”Suara di seberang terdengar pelan, tapi penuh ketegangan. “Akhirnya kau menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali.”“Maaf, sinyal di sini buruk.”“Sinyal buruk atau memang kau sengaja menghindar?”Adrian tersenyum samar. “Kau masih sama, Davin. Selalu menuduh dulu s