Inicio / Romansa / Penyamaran CEO Tanaka / Bab 4 – Kesederhanaan yang Menggugah

Compartir

Bab 4 – Kesederhanaan yang Menggugah

Autor: Jeff Ry
last update Última actualización: 2025-10-15 14:43:41

Pagi itu proyek cabang Timur sudah ramai sejak matahari baru naik sejengkal. Suara mesin las berpadu dengan teriakan pekerja yang saling memberi instruksi. Di tengah hiruk pikuk itu, Ardi berdiri memperhatikan Maya Larasati yang sedang menandai hasil pengukuran di papan laporan. Keringat membasahi pelipisnya, tapi perempuan itu tetap fokus, seolah dunia di sekitarnya tak ada.

Setiap kali Maya bicara dengan pekerja, suaranya tegas tapi tidak kasar. Ia tak segan membantu mengangkat material atau menghapus debu di helm rekan kerjanya. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa keluh kesah. Dalam diam, Ardi mengamati setiap geraknya, menyadari bahwa ketulusan bekerja tidak pernah butuh sorotan — cukup dibuktikan dalam kesunyian tindakan.

“Ardi, tolong catat angka ini ya,” suara Maya memecah lamunannya.

Ardi cepat-cepat mengambil pulpen. “Siap. Dua koma delapan meter?”

“Betul. Pastikan juga selisihnya nggak lebih dari dua sentimeter.”

Ardi menuliskannya hati-hati, lalu mengangguk. “Sudah. Kamu teliti sekali.”

Maya tersenyum tipis. “Kalau nggak teliti, bisa kena marah Pak Andra. Lagipula, ini tanggung jawabku.”

“Berarti kamu sudah sering kena marah?” Ardi menggoda ringan.

“Dulu iya. Sekarang… sudah kebal.”

Ardi terkekeh. “Kebal atau diam-diam dendam?”

Maya menatapnya sambil tertawa kecil. “Kebal. Kalau dendam, saya nggak akan betah di sini.”

Sepanjang hari, Ardi memilih mengamati lebih banyak daripada bicara. Ia mencatat bagaimana Maya memimpin rekan-rekan kerjanya tanpa jabatan formal, hanya dengan keteladanan. Saat ada kesalahan pengukuran, Maya tidak menyalahkan siapa pun — ia justru turun tangan memperbaiki. Ketika ada alat rusak, ia mengajukan perbaikan sendiri tanpa menunggu instruksi.

Di sela istirahat makan siang, Ardi duduk tak jauh dari Maya dan Risa. Mereka makan di bawah tenda sederhana dengan nasi bungkus dan air mineral. Pemandangan yang sederhana, tapi terasa hangat.

Risa melirik Ardi sambil tersenyum nakal. “Pak Ardi, udah betah di proyek belum? Atau masih kangen kantor pusat yang adem?”

Ardi tersenyum kecil. “Kalau kangen AC sih, iya. Tapi di sini udaranya lebih jujur.”

Maya mendongak, menatapnya heran. “Maksudnya?”

“Di kantor pusat, orang banyak ngomong soal kerja keras, tapi jarang kotor tangannya.”

Risa tertawa pelan. “Wah, filosofis banget. Nanti Maya bisa kalah bijak, lho.”

Maya menepuk bahu Risa pelan. “Sudah, makan aja. Nasi kamu keburu dingin.”

Sore hari, Maya terlihat duduk di ruang administrasi proyek, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Laporan bulanan yang harus dikirim ke pusat besok pagi belum selesai. Ardi yang kebetulan lewat memperhatikan dari pintu.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

Maya mendongak, sedikit kaget. “Oh, nggak usah, Pak Ardi. Ini cuma laporan kecil.”

“Tapi wajahmu bilang lain,” balas Ardi.

Maya terkekeh pelan. “Formatnya agak rumit. Saya baru belajar bikin laporan seperti ini.”

Ardi melangkah mendekat. “Coba saya lihat.”

Maya memutar laptopnya. Ardi memperhatikan cepat, jarinya otomatis menavigasi rumus dan kolom. Dalam beberapa menit, data yang semula acak mulai tersusun rapi.

“Begini aja, tambahkan kolom rasio di sini. Lebih mudah dibaca atasan,” jelas Ardi lembut.

Maya menatapnya kagum. “Kamu tahu banyak soal laporan proyek, ya?”

Ardi tersenyum samar. “Kebetulan pernah bantu teman di bidang ini.”

“Teman?”

“Ya… semacam itu,” jawabnya, menghindar.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan produktif. Hanya terdengar suara ketikan lembut di antara mereka. Maya menatap layar, lalu Ardi, lalu layar lagi — dan tanpa sadar tersenyum.

“Terima kasih, Ardi. Saya jadi cepat selesai,” ucapnya tulus.

“Senang bisa bantu.”

Maya menutup laptop. “Kamu tahu, banyak orang di sini lebih suka menghindar daripada membantu. Kamu beda.”

Ardi menatapnya lama. “Mungkin karena aku tahu rasanya bekerja sendirian.”

Kata-kata itu membuat Maya terdiam sesaat. Ada nada kesepian yang halus di balik ucapan itu, seolah ia berbicara tentang masa lalu yang berat. Tapi Ardi langsung mengalihkannya dengan senyum tipis. “Laporanmu bagus. Kamu pantas jadi supervisor, tahu?”

Maya tertawa pelan. “Jangan bercanda. Saya cuma karyawan kontrak.”

“Justru itu,” Ardi menatapnya serius. “Kamu kerja seperti orang yang percaya masa depan bisa diubah dengan ketulusan, bukan jabatan.”

Sore berubah menjadi malam. Proyek mulai sepi, lampu-lampu lapangan menyala kuning. Maya berjalan keluar dari kantor kecil itu, membawa map laporan yang baru diselesaikan. Ardi berjalan di sampingnya tanpa banyak bicara.

“Terima kasih sekali lagi,” kata Maya. “Kalau kamu nggak bantu, saya pasti lembur.”

“Lembur nggak selalu buruk, asal tahu untuk siapa kamu melakukannya.”

Maya mengernyit. “Maksudmu?”

“Kadang orang bekerja keras hanya untuk diakui. Tapi ada juga yang bekerja karena ingin memberi kebahagiaan pada seseorang. Kamu termasuk yang mana?”

Maya tersenyum lembut. “Saya? Mungkin yang kedua. Saya kerja untuk ibu saya. Beliau sakit, dan biaya pengobatannya besar. Jadi… selama masih kuat, saya akan terus kerja.”

Ardi menunduk, suaranya lirih. “Ibuku juga dulu bilang begitu. Kerja keras itu bukan hukuman, tapi bentuk cinta.”

Maya menatapnya, terkejut mendengar nada lembut dalam kalimat itu. “Kamu sayang banget sama ibumu, ya?”

“Dulu,” jawab Ardi pelan. “Sebelum kehilangan dia karena dunia yang terlalu sibuk mengejar angka.”

Keheningan menyelimuti mereka. Maya menggenggam map di dadanya. “Aku… turut berduka.”

Ardi tersenyum hangat. “Terima kasih. Tapi justru karena itu, aku belajar banyak. Dunia ini terlalu keras untuk orang yang lupa makna sederhana.”

Maya menatap ke depan, ke arah lampu-lampu proyek yang berkelip. “Mungkin makna sederhana itu justru yang paling sulit dijaga.”

“Ya,” balas Ardi. “Seperti kamu yang masih bisa tersenyum meski lelah.”

Mereka berjalan berdampingan tanpa kata, hanya diiringi suara jangkrik dan langkah sepatu di tanah basah. Ardi melirik Maya sekilas — cara jalannya, cara menunduk, bahkan caranya menahan tawa — semuanya tampak ringan, tapi memiliki kekuatan yang sulit dijelaskan.

Dalam hati, Ardi mengakui sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa kagum.

Kagum pada kesederhanaan yang tak berpura-pura. Pada seseorang yang hidup dengan tujuan nyata. Dan pada perasaan baru yang tumbuh pelan-pelan tanpa izin.

Malam itu, saat kembali ke kamar kosnya, Ardi membuka catatan kecil yang selalu ia bawa. Pena itu bergerak pelan, menulis satu kalimat singkat:

“Maya Larasati — perempuan yang membuatku mengerti arti kerja yang sesungguhnya.”

Ia menutup buku itu, memandangi langit gelap di luar jendela. Dalam diam, Ardi tersenyum.

Mungkin, inilah pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa menjadi manusia, bukan sekadar CEO di menara kaca.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 111 – Kunjungan Tersembunyi

    “Ya, makanya! Ini kayak mendadak banget.” Vina menurunkan suara. “Tapi aku dengar gosip, katanya ada kemungkinan besar… CEO baru bakal turun langsung.”Risa spontan menoleh, matanya membesar. “Hah? Yang Adrian Tanaka itu?”“Shhh! Jangan keras-keras,” bisik Vina. “Cuma kemungkinan, ya. Tapi kalau iya… ya ampun, aku belum sempat ke salon!”Risa menghela napas panjang sambil menggeleng. “Sudah deh, Vin. Kalau beneran dia yang datang, kamu kira dia sempat lihat rambutmu? Orang kayak gitu kan sibuk mikirin laporan, bukan poni orang.”Tegar yang baru masuk ruangan menimpali, “Atau mungkin sibuk mikirin seseorang di sini.”Risa menoleh cepat. “Apa maksudmu?”Tegar hanya tersenyum misterius. “Nggak tahu. Perasaanku aja. Soalnya tiap kali nama CEO itu disebut, ada satu orang di sini yang tiba-tiba diam.”Risa spontan menatap ke arah meja Maya yang berada di pojok ruangan.Maya sedang menulis laporan proyek, matanya fokus, ekspresinya datar — tapi jari-jarinya sedikit gemetar.Risa mendekat pel

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 110 – Makna

    Adrian membuka matanya. Kali ini, pandangannya mantap.Ia berdiri, mengambil ponselnya, lalu menekan nomor yang sudah lama tidak ia hubungi — sekretaris pribadinya.“Halo, Pak Adrian?” suara di seberang terdengar sopan.“Siapkan jadwal perjalanan ke cabang Timur,” katanya pelan.“Jangan umumkan dulu ke media. Ini kunjungan internal. Rahasia.”“Baik, Pak. Tanggalnya?”Adrian menatap kalender di meja. Ada banyak pertemuan besar minggu depan, tapi ia tidak peduli.“Dua hari lagi.”“Baik, saya atur.”Setelah sambungan ditutup, Adrian menatap jendela besar di depan mejanya. Kota Jakarta malam itu dipenuhi cahaya — tapi entah kenapa, pikirannya tertuju pada langit di Timur.Ia tersenyum kecil, nyaris seperti seseorang yang baru saja menemukan arah setelah sekian lama tersesat.Davin yang diam-diam kembali masuk ke ruangan hanya bisa menggeleng sambil menatap sahabatnya yang kini berdiri menatap jauh keluar jendela.“Jadi, kau benar-benar mau pergi ke sana?” tanyanya pelan.Adrian menoleh, m

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 109 – Senyum di Balik Layar

    Ruang kerja CEO Tanaka Group sore itu dipenuhi cahaya jingga dari matahari yang mulai condong ke barat. Suasana kantor pusat perlahan mereda; pegawai pulang satu per satu, meninggalkan jejak langkah di koridor marmer yang mulai sunyi. Di tengah keheningan itu, Adrian Tanaka duduk sendirian di depan layar komputer, matanya terpaku pada video berdurasi tiga menit yang dikirim oleh tim komunikasi internal perusahaan.Di layar, tampak aula cabang Timur yang sederhana.Bunga-bunga kertas menghiasi dinding, dan di tengah panggung berdiri sosok perempuan dengan senyum hangat yang tidak pernah gagal membuatnya terdiam.Maya Larasati.Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan rok hitam, rambutnya disanggul rapi. Tidak ada kemewahan, tidak ada polesan yang berlebihan — tapi justru di situlah pesonanya.Suara pembawa acara terdengar, disusul tepuk tangan riuh dari rekan-rekan kantor. Maya maju perlahan ke depan untuk menerima penghargaan. Saat berbicara di podium, suaranya jernih namun penuh ketu

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 108 – Senyum Kecil

    Sore itu, Maya duduk sendirian di taman belakang kantor, di bangku kayu tua yang menghadap ke area proyek yang kini hampir rampung.Plakat penghargaan itu ia letakkan di pangkuan.Langit mulai berubah warna ke jingga, seperti selalu terjadi setiap kali hidupnya berada di persimpangan.Ia membuka ponselnya, menatap foto ibunya yang tersenyum di rumah sakit.Bu Ratna sudah mulai membaik. Kondisinya stabil, dan dokter bilang beberapa minggu lagi boleh pulang.Maya menatap foto itu lama, lalu berbisik pelan,“Bu, aku berhasil. Aku kuat, seperti yang Ibu mau.”Angin berhembus lembut, membawa aroma semen dan tanah basah dari proyek.Suara tawa para pekerja terdengar di kejauhan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Maya merasa hidupnya kembali berjalan ke arah yang benar.Tidak sempurna, tapi tenang.Tidak bahagia sepenuhnya, tapi penuh syukur.Ia tahu ada satu ruang kosong di dadanya, ruang yang dulu diisi oleh seseorang bernama Ardi.Namun alih-alih menutupnya dengan amarah, ia

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 107 – Penghargaan Sang Pejuang

    Malam harinya, sebelum pulang, Adrian kembali ke ruang ayahnya.Lampu ruangan sudah dimatikan, tapi di meja kerja masih ada secangkir kopi yang belum habis. Di sampingnya, selembar catatan tangan:“Untuk Adrian.Aku tak tahu apakah aku ayah yang baik,tapi hari ini, aku bangga menjadi ayahmu.”– Bima TanakaAdrian menatap tulisan itu lama.Air matanya menetes, tapi kali ini bukan karena kehilangan, melainkan karena penerimaan.Ia melipat catatan itu hati-hati, menyimpannya di saku jas, lalu berjalan keluar.Langit malam Jakarta tampak luas, bintang-bintang jarang tapi nyata.Untuk pertama kalinya, Adrian merasa pulang.Bukan ke rumah megah Tanaka, tapi ke pelukan ayah, ke pengakuan, dan ke dirinya sendiri.Dan di kejauhan, entah kenapa, ia merasa—ada seseorang yang juga memandang langit yang sama, memikirkan hal yang sama: bahwa cinta, seberapa pun rumitnya, selalu punya cara untuk membawa pulang.Beberapa pengakuan datang terlambat,tapi tak pernah sia-sia —karena sebagian hati mema

  • Penyamaran CEO Tanaka   Bab 106 – Pengakuan dari Sang Ayah

    Pagi itu, langit Jakarta berwarna keemasan. Sinar mentari jatuh menembus kaca tinggi ruang direksi Tanaka Group, memantulkan cahaya lembut di dinding-dinding yang selama ini dingin. Di balik pintu kayu besar bertuliskan Chairman Office, seorang pria tua duduk diam di balik meja besar dari kayu mahoni.Bima Tanaka—nama yang selama ini menggema dengan wibawa dan ketegasan, kini tampak lelah.Di depannya, beberapa laporan keuangan terbuka begitu saja. Angka-angka yang biasanya membuatnya bangga kini terasa kosong. Pandangannya tidak benar-benar tertuju ke kertas, melainkan ke bayangan masa lalu: seorang anak lelaki kecil yang dulu sering ia marahi karena bermain di gudang proyek, dan seorang pria dewasa yang kini berdiri di dunia yang sama—tapi jauh lebih berani dari dirinya.Ketukan pelan terdengar di pintu.“Masuk,” katanya tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan langkah tenang.Wajahnya tampak lebih matang, lebih dewasa daripada beberapa bulan lalu. Tidak ada l

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status