Share

Bab 10: Insting seorang Ibu

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-05-19 19:12:14

Layar ponsel di tangan Kirana padam, menyisakan pantulan samar wajahnya sendiri di permukaan gelap itu. Jantungnya berdebar tanpa sebab yang jelas, seperti ada sesuatu yang tak terlihat tengah menarik-narik benaknya.

Suara pria yang tadi terdengar di telepon masih terngiang—serak, berat, dengan gema yang menyisakan kesan... mengganggu. Ada nuansa asing dalam nada suaranya, tapi juga, secara ganjil, seakan Kirana pernah mendengarnya dalam suatu kehidupan yang telah lewat.

Ia menarik napas, mengenyahkan rasa tak nyaman itu. Bukan saatnya untuk mengungkit masa lalu, pikirnya, meski dada kirinya belum juga tenang.

“Lapar nggak?” suara Mahira menyelusup ringan ke telinga, disertai sentuhan hangat di lengannya. Temannya itu berdiri di sisi kanan, menggandeng erat lengan Kirana, seperti ingin membagikan semangat hidupnya yang tak pernah padam.

“Kita udah berdiri dari tadi. Aku udah kelaparan, sumpah. Makan dulu yuk. Nanti kalau ayahnya datang, tinggal panggil aja,” ujarnya sambil mengedarkan pandang ke sekeliling, memastikan tak ada wajah baru yang muncul dari jalanan.

Kirana hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak menyimpan pikiran daripada melepaskan beban. “Oke. Kita masuk.”

Ia lalu merunduk, menyamai tinggi si gadis kecil yang berdiri kaku di sebelahnya. Anak itu seperti patung kecil di tengah trotoar yang mulai sepi, matanya menatap lurus ke depan tanpa fokus, seolah jiwanya terdampar di tempat lain.

“Kamu lapar, Sayang?” tanya Kirana dengan suara selembut bisikan angin sore. “Mau makan dulu? Nanti kalau ayahmu datang, aku akan temani kamu keluar, ya. Gimana?”

Tatapan si gadis berpindah perlahan, menangkap wajah Kirana yang tenang dan tulus. Ada keraguan di sana—seperti mata yang terlalu sering disakiti untuk percaya begitu saja. Tapi di balik ragu itu, secercah kepercayaan mulai tumbuh, kecil dan rapuh seperti tunas pertama di awal musim semi.

“Kalo kamu nggak mau masuk, aku bisa tungguin kamu di sini,” tambah Kirana, setengah berbisik, seolah takut suara terlalu keras bisa meretakkan kepercayaan yang baru mulai tumbuh itu.

“Dan kami juga akan nungguin!” seru Aidan dan Bayu serempak dari belakang, suara mereka riang seperti anak kecil yang sedang menyambut teman main baru.

Mahira mendesah panjang, tangannya terangkat dramatis. “Yaa ampun, cuma aku yang kelaparan di sini? Dengar, Dek... Kami bukan orang jahat, lho. Orang jahat nggak bakal ngajak makan di restoran cozy kayak gini!” ujarnya sambil menunjuk ke arah bangunan mungil bercahaya hangat di belakang mereka. Aroma mentega dan kayu manis samar menyelinap dari balik pintu kaca yang sesekali terbuka.

“Kamu pasti juga lapar, kan? Ayo masuk, jangan malu-malu.”

Mata semua orang kini tertuju pada si gadis. Aidan dan Bayu berdiri setengah berjinjit, ekspresi mereka seperti menahan napas.

Gadis kecil itu menggigit bibirnya, gerakan ragu yang terasa terlalu dewasa untuk usianya. Namun perlahan, ia melangkah maju. Tangannya yang kecil dan dingin menyentuh lengan baju Kirana, menariknya pelan, seakan meminta perlindungan tanpa suara.

Ia mengangguk, singkat.

Kirana menatapnya, membaca keresahan yang belum sempat diucap. “Kamu nggak perlu maksa diri,” bisiknya, nada suaranya mengalun seperti pelukan.

Namun si gadis hanya menggeleng, kali ini lebih mantap. Ada sesuatu yang bergeser di matanya—ketakutan yang mulai luluh, ditukar dengan harapan.

Kirana tersenyum hangat, menepuk lembut kepala anak itu sebelum meraih tangannya. Genggamannya mantap, seperti jembatan yang menjanjikan tempat aman di ujungnya.

Mereka pun mulai berjalan menuju pintu restoran yang hangat temaram. Dari dalam, cahaya kuning jatuh lembut ke trotoar, menggambar siluet mereka di lantai yang dingin.

Mahira menyusul, kali ini dengan kedua putranya di kedua sisi. Matanya sempat melirik cepat ke arah gadis kecil yang kini menempel erat di sisi Kirana.

“Baru tadi dia kelihatan takut setengah mati... sekarang udah lengket sama kamu,” katanya sambil menyenggol bahu Kirana, senyum menggoda merekah di bibirnya.

Ia menghela napas panjang. “Pasti karena kamu cantik, ya. Selalu begitu!”

Kirana hanya menyeringai kecil, tak perlu jawaban. Tapi genggamannya pada tangan si gadis kecil menguat, seolah ia ingin memastikan anak itu takkan terlepas darinya.

Dan di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergerak pelan-pelan. Bukan sekadar empati atau naluri... tapi gema samar dari masa lalu. Seperti ada pintu lama yang kembali berderit terbuka, mengundang kenangan untuk menyusup di antara detak waktu yang terus berjalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 19: Rahasia Itu Bernama Aidan dan Bayu

    Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 18: Tangis yang Tak Pernah Jatuh

    Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 17: Pelukan yang Tak Diinginkan

    “Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 16: Pahlawan Kecil di Malam Panjang

    Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 15: Rahasia yang Tak Pernah Padam

    Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 14: Dering yang Membongkar Segalanya

    Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 13: Bayang Dingin di Balik Pintu

    Mahira otomatis menegakkan tubuh, meski dadanya sesak oleh degup jantung yang seolah memukul-mukul dari dalam. Ia menarik napas perlahan, berusaha menciptakan ilusi ketenangan. Padahal, tubuhnya nyaris gemetar.Langkah sepatu kulit terdengar menjejak lantai marmer yang mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung di langit-langit restoran mewah itu. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok tinggi bersetelan jas gelap.Gerakannya tenang tapi penuh kendali, nyaris seperti siluet dari mimpi buruk yang datang tanpa aba-aba.Raka Pradana. Aura dinginnya menyebar cepat, seperti kabut yang menyerbu masuk ke dalam ruangan.Kini, hanya ada dua orang dewasa yang saling menatap dalam ketegangan yang mengental di udara. Sementara di sudut ruangan, duduk seorang gadis kecil bersandar di sofa empuk berlapis beludru biru gelap.Elina. Dengan kedua tangan bersedekap dan alis berkerut, ekspresinya memperjelas kemarahannya—bukan karena Raka, tapi karena Kirana yang pergi tanpa sepatah kata pun.Begitu

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 12: Genggaman yang Tak Ingin Lepas

    Mahira, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar diam, perlahan meletakkan sendoknya ke tepi piring. Gemerincing halus terdengar saat logam itu menyentuh keramik, mengisi jeda percakapan yang tiba-tiba menggantung di udara.Ia menatap gadis kecil itu lekat-lekat, matanya menyipit, seolah mencoba menerjemahkan sesuatu yang tak terucap.“Itu... kebetulan banget, nggak sih?” bisiknya, nyaris seperti gumaman. Nadanya limbung—antara ragu yang menggantung dan harapan yang nyaris menyentuh permukaan.Sebagai sahabat yang tahu persis alur naik-turun hidup Kirana selama enam tahun terakhir, Mahira bukan hanya mendengar cerita—ia menyaksikan sendiri luka yang menganga, malam-malam panjang yang tak berujung, dan cara Kirana belajar tersenyum lagi dari kepingan yang berserakan.Ia tahu kapan Kirana menangis tanpa suara, kapan tawa itu hanya penutup rapuh. Dan sekarang, gadis kecil ini…Kalau anak itu benar berusia enam tahun, maka... dia lahir tak lama setelah perceraian itu.Mahira menarik napas

  • Penyesalan CEO: Mantan Istri Melahirkan Pewaris Rahasia   Bab 11: Terkejut

    Warung Nyi Darmi—meski dari luar hanya tampak seperti warung sederhana di sudut jalan yang sering terlewat pandang di Bandung Selatan—menyimpan aura eksklusivitas yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.Dindingnya dari bata merah yang dibiarkan terekspos, menyambut pengunjung dengan nuansa hangat dan bersahaja, tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah berubah.Aroma rempah-rempah yang menggoda langsung menyergap indera penciuman—ada jejak lengkuas yang membara, wangi serai yang menyelinap halus, dan samar-samar asap dari ikan bakar yang baru diangkat dari panggangan arang.Interiornya unik: memadukan kelembutan nuansa Jawa kuno dengan sentuhan elegan yang sederhana. Meja-meja jati tua dibatasi oleh sekat-sekat berukir motif bunga kamboja, sementara cahaya temaram dari lampu gantung berbahan anyaman bambu menciptakan bayangan yang menari di dinding.Langit-langit bangunan dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan langit malam yang jernih.Cahaya bulan menetes perlahan ke dal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status