Raka memandang Zelina dalam diam, lama, seolah berusaha menemukan jawaban di balik sorot matanya yang membara. Angin pagi menyusup di antara mereka, menggoyang lembut dedaunan di halaman rumah yang senyap.
Tapi ketegangan di antara keduanya membuat udara terasa seakan membeku.
Di hadapannya, Zelina menggenggam tangan Raka begitu erat hingga ujung kukunya menancap ke kulit, meninggalkan bekas kemerahan yang mulai memucat. Tangannya gemetar, tapi bukan karena dingin.
Ada amarah yang bersembunyi dalam genggaman itu—amarah yang ditahan rapat, seperti kawah yang menunggu saat untuk meletus.
“Lebih baik kamu tidak menyembunyikan apa pun lagi,” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan, tapi nadanya menggigit. Suaranya menyelinap masuk seperti jarum halus ke dalam dada Raka.
Raka menundukkan wajah, tak mampu menatap lebih lama. Seulas bayangan rasa bersalah melintas cepat di matanya sebelum ia memalingkan wajah, menatap Zayyan yang berdiri di dekat gerbang, tangan terlipat di depan dada, ekspresinya penuh cemas.
“Polisi sudah menghubungi lagi?” tanya Raka, suaranya nyaris tak terdengar, seakan beban di dadanya membuat tiap kata menjadi berat.
Zayyan menggeleng pelan, mata cokelat gelapnya menelusuri wajah Raka, mencari celah untuk mengerti, atau mungkin hanya sekadar memastikan bahwa pria itu masih sanggup berdiri.
“Belum ada kabar,” jawabnya akhirnya, dengan nada berat seperti seseorang yang sudah lelah menunggu. Lalu ia menambahkan, “Apa mungkin... Nona Elina diculik?” Kalimat itu seperti duri yang menusuk ketenangan yang rapuh.
Ia mengatakannya ragu, nyaris berbisik, tapi kekhawatiran tergambar jelas di raut wajahnya.
Elina. Nama itu menggantung di udara seperti kabut yang enggan menghilang. Putri semata wayang Raka. Gadis dengan tawa jernih seperti lonceng kecil, mata cerdas yang selalu bersinar penuh rasa ingin tahu, dan langkah ringan yang tak pernah jauh dari pelukan ayahnya.
Ia adalah cahaya di tengah keluarga Pradana—dan sekaligus magnet bagi bahaya.
Raka menegang. Sorot matanya berubah, menggelap. Ada badai yang menyapu dalam diam, menciptakan gemuruh yang hanya bisa didengar lewat cara ia mengepalkan tangan atau tarikan napas yang dalam.
“Perluas pencarian,” ucapnya, tegas namun pelan, seperti perintah yang tak perlu diulang. “Tambah orang. Aku ingin dia ditemukan... sebelum matahari terbenam hari ini.”
Zayyan langsung mengangguk. “Siap!” jawabnya cepat, nyaris membentak karena gugup. Udara di sekeliling mereka berubah lebih dingin, seperti sedang menyambut datangnya badai.
Baru saja Raka memutar badan, bersiap melangkah pergi, dering ponsel memecah ketegangan. Suaranya tajam dan mendadak, seperti cambuk di tengah senyap.
Ia sempat akan mengabaikannya, jarinya hampir menekan tombol tolak. Namun, sesuatu menghentikannya. Nomor asing. Tidak dikenal. Wajahnya mengernyit, nalurinya menegang.
Ia menjawab.
“Halo?” Suara seorang perempuan. Lembut, tapi ada kegugupan samar di baliknya.
Raka menyipitkan mata. Suara itu... sesuatu di dalamnya menggugah memori lama. Samar dan jauh, tapi tak pernah benar-benar pudar. Seperti bayangan yang terus menguntit di belakang cahaya.
“Halo? Halo?” ulang suara itu, kini terdengar ragu, seolah takut sambungannya salah sasaran.
Raka menghela napas pelan, mencoba mengatur nadanya. “Ya,” jawabnya, pendek dan datar.
Wanita di seberang sepertinya tak mengenali suaranya.
“Aku tadi bertemu seorang anak kecil,” lanjutnya. “Dia memberiku nomor ini. Kamu ayahnya, bukan? Bisa jemput dia sekarang?”
Raka diam. Setiap kata yang diucapkan wanita itu seperti mengetuk pintu-pintu ingatannya. Suara itu... kini ia tahu pasti. Hatinya mencelos. Wajahnya menegang, matanya menatap kosong ke kejauhan.
Kilas balik itu datang cepat—siluet perempuan di bandara, sore hari, dengan langkah tergesa dan wajah yang ia pikir tak akan pernah ia lihat lagi.
Kirana Alesha.
Suara itu milik perempuan yang sudah lama hilang dari hidupnya. Perempuan yang meninggalkan banyak hal tanpa penjelasan. Perempuan yang kini, entah kenapa, memegang kunci untuk menemukan Elina.
Ia mengepalkan rahangnya. Saat akhirnya ia membuka suara, nada bicaranya dalam dan dingin. “Di mana kamu?”
“Kami di Warung Nyi Darmi, yang di pojok jalan dekat alun-alun,” jawab Kirana cepat. “Kami menunggu di sini bersama gadis kecil itu. Bisa datang sekarang?”
“Ya. Aku ke sana,” ucap Raka singkat, tapi suaranya mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban. Ada badai yang tertahan.
Begitu sambungan terputus, Raka membalikkan badan dengan langkah cepat.
“Siapkan mobil. Kita ke Warung Nyi Darmi sekarang.”
Zayyan tak sempat bertanya. Ia hanya mengangguk dan segera mengikuti langkah sang atasan, yang kini berubah menjadi bayangan panjang yang berlari di bawah cahaya matahari pagi yang mulai menghangat, tapi tak mampu mencairkan kebekuan yang menggantung di udara.
Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m
Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat
“Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang
Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden
Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya
Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya
Mahira otomatis menegakkan tubuh, meski dadanya sesak oleh degup jantung yang seolah memukul-mukul dari dalam. Ia menarik napas perlahan, berusaha menciptakan ilusi ketenangan. Padahal, tubuhnya nyaris gemetar.Langkah sepatu kulit terdengar menjejak lantai marmer yang mengilap, memantulkan cahaya lampu gantung di langit-langit restoran mewah itu. Dari balik pintu yang terbuka, muncul sosok tinggi bersetelan jas gelap.Gerakannya tenang tapi penuh kendali, nyaris seperti siluet dari mimpi buruk yang datang tanpa aba-aba.Raka Pradana. Aura dinginnya menyebar cepat, seperti kabut yang menyerbu masuk ke dalam ruangan.Kini, hanya ada dua orang dewasa yang saling menatap dalam ketegangan yang mengental di udara. Sementara di sudut ruangan, duduk seorang gadis kecil bersandar di sofa empuk berlapis beludru biru gelap.Elina. Dengan kedua tangan bersedekap dan alis berkerut, ekspresinya memperjelas kemarahannya—bukan karena Raka, tapi karena Kirana yang pergi tanpa sepatah kata pun.Begitu
Mahira, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar diam, perlahan meletakkan sendoknya ke tepi piring. Gemerincing halus terdengar saat logam itu menyentuh keramik, mengisi jeda percakapan yang tiba-tiba menggantung di udara.Ia menatap gadis kecil itu lekat-lekat, matanya menyipit, seolah mencoba menerjemahkan sesuatu yang tak terucap.“Itu... kebetulan banget, nggak sih?” bisiknya, nyaris seperti gumaman. Nadanya limbung—antara ragu yang menggantung dan harapan yang nyaris menyentuh permukaan.Sebagai sahabat yang tahu persis alur naik-turun hidup Kirana selama enam tahun terakhir, Mahira bukan hanya mendengar cerita—ia menyaksikan sendiri luka yang menganga, malam-malam panjang yang tak berujung, dan cara Kirana belajar tersenyum lagi dari kepingan yang berserakan.Ia tahu kapan Kirana menangis tanpa suara, kapan tawa itu hanya penutup rapuh. Dan sekarang, gadis kecil ini…Kalau anak itu benar berusia enam tahun, maka... dia lahir tak lama setelah perceraian itu.Mahira menarik napas
Warung Nyi Darmi—meski dari luar hanya tampak seperti warung sederhana di sudut jalan yang sering terlewat pandang di Bandung Selatan—menyimpan aura eksklusivitas yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.Dindingnya dari bata merah yang dibiarkan terekspos, menyambut pengunjung dengan nuansa hangat dan bersahaja, tapi begitu melangkah masuk, dunia seolah berubah.Aroma rempah-rempah yang menggoda langsung menyergap indera penciuman—ada jejak lengkuas yang membara, wangi serai yang menyelinap halus, dan samar-samar asap dari ikan bakar yang baru diangkat dari panggangan arang.Interiornya unik: memadukan kelembutan nuansa Jawa kuno dengan sentuhan elegan yang sederhana. Meja-meja jati tua dibatasi oleh sekat-sekat berukir motif bunga kamboja, sementara cahaya temaram dari lampu gantung berbahan anyaman bambu menciptakan bayangan yang menari di dinding.Langit-langit bangunan dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan langit malam yang jernih.Cahaya bulan menetes perlahan ke dal