“Kelihatannya aku akan menitipkan Aidan dan Bayu lagi ke tanganmu,” ujar Kirana, senyumnya hangat seperti cahaya pagi yang menyelinap lewat jendela dapur.
Rini menanggapi dengan anggukan dan ekspresi ramah yang sudah sangat dikenalnya sebagai wajah seorang guru yang menyayangi murid-muridnya.
“Tentu saja! Mereka itu anak-anak yang sopan, penurut, dan selalu tahu waktu. Malah kadang bikin hari saya jadi lebih ringan.”
Kirana mengangguk pelan, tapi matanya sejenak berpindah arah ke seorang gadis kecil yang berdiri tak jauh dari mereka—Elina, atau Ellie, begitu panggilannya di rumah.
Wajah mungil itu tampak sedikit tertutup bayang, seperti langit cerah yang mendungnya belum sepenuhnya reda.
“Oh iya, Ellie… belakangan ini dia agak berbeda,” ucap Kirana perlahan, suaranya nyaris menjadi bisikan.
“Dia lebih banyak diam. Jarang bicara, bahkan dengan Aidan dan Bayu.”
Ada jeda. Sejenak ia menatap tanah, seolah memilih-milih kata agar tak meluk
Kirana membeku sejenak. Bukan karena pelukan itu—bukan karena sentuhan lembut yang tiba-tiba—melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, lebih halus, dan tak terucap: rasa yang pernah menghilang, kini perlahan muncul kembali, seperti sinar tipis menembus kabut pekat.Pelukan itu terasa familiar, seperti halaman lama yang akhirnya ditemukan di tengah buku yang berserakan.Dulu, Elina selalu menyambutnya begitu—dengan pelukan hangat, lengket, dan spontan, setiap kali ia pulang kerja, masih berseragam, dan belum sempat melepas lelah.Sekarang, di tengah isaknya yang nyaris tanpa suara, gadis kecil itu kembali memberi isyarat: dirinya belum sepenuhnya hilang.Masih ada pintu yang terbuka.Dengan gerakan perlahan, Kirana mengangkat lengan kirinya yang tak dibalut perban, lalu memeluk balas tubuh mungil itu.Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Elina, suaranya teredam tapi penuh kehangatan.“Ellie... kamu sadar, ya? Kamu tahu siapa aku?”
Aidan dan Bayu sempat saling menatap, ragu. Pandangan mereka melirik ke arah Elina yang berdiri membisu, wajahnya datar tanpa ekspresi, seperti patung yang enggan bergeser dari tempatnya.Tapi akhirnya mereka mengangguk pelan, isyarat diam bahwa mereka siap membawa Elina menjauh dari ketegangan yang baru saja meledak.Namun langkah mereka terhenti. Elina tidak bergerak. Kaki kecilnya mencengkeram lantai seolah menyatu dengannya, dan matanya terpaku lurus ke depan—ke arah Kirana dan Raka.Ada sesuatu di tatapannya yang membuat waktu seperti melambat: campuran kekosongan, kebingungan, dan sesuatu yang lebih dalam... rasa takut, mungkin?Ketika Aidan hendak meraih tangan Elina, suara lirih menghentikan segalanya.Tangisan.Bukan tangisan keras yang meledak dalam suara dan jeritan, melainkan lirih, tersamar, seperti angin malam yang menusuk diam-diam.Semua kepala menoleh ke sumber suara itu.Elina berdiri kaku, matanya yang tadiny
Raka menatap Kirana, sempat terdiam. Ada keheningan singkat yang melingkupi mereka, hanya dipecahkan oleh desir halus angin Lembang yang menyusup lewat jendela terbuka.Wajahnya sempat diliputi keraguan, namun perlahan-lahan ia mengangguk. “Terima kasih. Aku terima tawaranmu.”Kirana mengangguk pelan, senyum kecil terselip di sudut bibirnya—sebuah ekspresi lega yang nyaris tak kentara.Ia melangkah masuk, memanggil anak-anak dengan suara lembut yang nyaris seperti nyanyian. Aidan dan Bayu bergegas menghampirinya, dan Elina mengikuti langkah mereka, tangannya menggenggam ujung sweater Kirana seperti anak kucing yang mencari kehangatan.Raka menutup pintu belakang, memastikan mobilnya terparkir rapi di halaman rumah kecil mereka—sebuah bangunan sederhana beratap merah bata yang dikelilingi aroma khas pinus basah selepas hujan.Di dapur yang mungil namun hangat, Kirana mencuci tangannya di bawah pancuran air hangat, lalu mulai mengeluarkan bahan-bahan
Waktu berlarian seperti anak kecil yang tak sabar menjemput senja. Kekhawatiran masih bertengger di sudut pikiran Kirana, menggelayut seperti kabut tipis yang belum juga luruh.Tapi tugas memanggil—tugas yang tak bisa ditunda oleh keresahan hati. Dengan senyum tipis yang dipaksakan dan genggaman lembut pada pundak Elina, ia pamit meninggalkan rumah.Langkahnya mantap, meski pikirannya tertinggal beberapa langkah di belakang.Tak berselang lama, Raka ikut menyusul. Tak ada kata yang diucapkan, hanya udara pagi yang memisahkan mereka seperti dua pulau kecil di lautan luas.Sore menjingga turun perlahan di langit Dago Atas, mewarnai pucuk-pucuk pepohonan dengan semburat emas yang hangat.Cahaya senja merambat di sela-sela jendela laboratorium tempat Kirana bekerja, menyentuh meja-meja yang penuh dengan berkas dan botol reagen.Ia melihat jam dinding—jarum pendek sudah bersandar di angka lima.Tanpa pikir panjang, ia bergegas merapikan ba
“Kelihatannya aku akan menitipkan Aidan dan Bayu lagi ke tanganmu,” ujar Kirana, senyumnya hangat seperti cahaya pagi yang menyelinap lewat jendela dapur.Rini menanggapi dengan anggukan dan ekspresi ramah yang sudah sangat dikenalnya sebagai wajah seorang guru yang menyayangi murid-muridnya.“Tentu saja! Mereka itu anak-anak yang sopan, penurut, dan selalu tahu waktu. Malah kadang bikin hari saya jadi lebih ringan.”Kirana mengangguk pelan, tapi matanya sejenak berpindah arah ke seorang gadis kecil yang berdiri tak jauh dari mereka—Elina, atau Ellie, begitu panggilannya di rumah.Wajah mungil itu tampak sedikit tertutup bayang, seperti langit cerah yang mendungnya belum sepenuhnya reda.“Oh iya, Ellie… belakangan ini dia agak berbeda,” ucap Kirana perlahan, suaranya nyaris menjadi bisikan.“Dia lebih banyak diam. Jarang bicara, bahkan dengan Aidan dan Bayu.”Ada jeda. Sejenak ia menatap tanah, seolah memilih-milih kata agar tak meluk
Kirana mengangguk cepat, nyaris seperti refleks. "Baik. Lagipula, menurutku Ellie juga sebaiknya tetap sekolah di sana. Dia butuh berinteraksi dengan anak-anak lain," ucapnya, berusaha terdengar mantap meski ada nada ragu yang menyelinap di ujung suaranya.Angin dingin dari sela-sela jendela yang belum tertutup rapat menyentuh lehernya, seperti mengingatkannya bahwa segala sesuatu bisa berubah dengan cepat.Membawa Ellie kembali ke lingkungan yang sudah dikenalnya mungkin bisa menjadi langkah awal untuk menyambung kembali sesuatu yang sempat terputus di dalam dirinya.Tapi tetap saja, Kirana melirik Raka, diam-diam berharap akan ada pertanyaan, semacam konfirmasi bahwa ini bukan keputusan sepihak.Namun pria itu hanya menatap lantai beberapa detik, seolah sedang mencari kata di antara kerikil pikirannya, lalu berkata datar, "Silakan. Lakukan saja apa yang menurutmu terbaik. Enggak perlu lapor aku soal itu."Suaranya tidak tinggi, tapi cukup tegas u