Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.
Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.
Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.
Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.
Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.
Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.
Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-
Dan kini, Elina bicara lagi… saat bersama Kirana.Bukan sekadar kebetulan. Dua momen yang membuat Elina bersuara, keduanya terjadi saat Kirana ada di sisinya.Ada sesuatu yang tak terlihat, yang mengalir di antara mereka. Bukan udara, bukan pula kata, tapi mungkin… ikatan.Ikatan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika, namun bisa dirasakan. Raka tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya memudar, seperti langit yang perlahan kehilangan warna senja.Ia berjongkok setinggi Elina, menatap anak itu seakan mencoba mengingat bentuk suara yang pernah ia rindukan.“Ellie, kamu senang tadi main sama pausnya?”Elina mengangkat wajah, tersenyum kecil. Lesung pipinya muncul singkat, seperti seberkas cahaya yang menyelinap di balik tirai.Ia mengangguk. Diam.Raka tersenyum, tapi tipis. Ada sesuatu di balik senyum itu—kecewa yang tak ingin diumbar. Ia masih mencoba, suaranya lebih pelan dan penuh harap.
Kirana hanya mengangguk singkat pada Raka, lalu segera memalingkan wajah, matanya tertarik penuh pada atraksi paus yang menari di kolam besar berbentuk bulan sabit.Dinding kaca tinggi membingkai dunia bawah air yang seolah hidup sendiri, biru berpendar dengan riak cahaya memantul dari permukaan.Raka tak mengatakan apa-apa. Ia memilih berdiri beberapa langkah di belakang, membiarkan jarak berbicara untuknya.Seekor paus beluga yang mengilap seperti porselen putih berenang mendekat ke sisi kaca. Pemandu berseragam biru laut berdiri tegak di tepi kolam, peluit kecil tergantung di lehernya.Dengan gerakan tangan yang terlatih dan lembut, ia memberikan aba-aba. Paus itu, seperti mengerti isyarat, tiba-tiba memutar tubuhnya di udara, lalu menyelam kembali dengan elegan.Anak-anak tertawa. Mata mereka membulat, bersinar seperti lampu kecil yang baru dinyalakan.“Adakah di antara penonton yang ingin bermain langsung dengan paus beluga kami?&
Kirana memperlakukan Elina layaknya bagian dari jiwanya yang pernah hilang. Ada sesuatu di mata gadis kecil itu yang mengingatkan Kirana pada masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.Ia merawat Elina bukan hanya karena belas kasih, tapi juga sebagai semacam penebusan atas kehilangan yang tak pernah ia beri nama.Hari-hari berlalu dalam ritme yang baru, lebih hangat. Aidan dan Bayu, dua anak laki-laki yang biasanya tak mudah akrab dengan orang asing, lambat laun mulai menerima kehadiran Elina seperti adik yang sudah lama mereka tunggu.Di rumah, mereka suka bermain bersama, menggambar di lantai ruang tengah, tertawa sampai lupa waktu.Di taman kanak-kanak, mereka seperti pengawal kecil, berdiri di kiri-kanan Elina, melindungi dari keributan anak-anak lain yang kadang terlalu riuh.Dan Elina? Gadis kecil itu tampak bahagia, dengan senyum yang tak pernah betah bersembunyi terlalu lama.Ada kilau di matanya, seolah tempat baru ini perlahan-
"Udah malam, Pak Pradana. Mending Bapak pulang dulu. Terima kasih ya, udah repot-repot jemput anak-anak hari ini."Suara Kirana terdengar tenang, tapi ada getaran halus yang tersembunyi di ujung kalimatnya. Raka menatapnya sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun bibirnya hanya bergerak sedikit sebelum ia akhirnya mengangguk pelan.Langkahnya berat saat berbalik, seperti ada beban tak kasat mata yang menggantung di punggungnya.Angin malam menyambutnya ketika ia keluar dari rumah itu. Suara serangga yang bersahutan di halaman hanya menambah kegelisahan yang sejak tadi mengendap di dadanya.Jalanan sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah, membuat bayangan pepohonan tampak meliuk pelan, nyaris seperti menari di atas genangan.Dalam perjalanan pulang, pikirannya tidak bisa diam. Ada sesuatu yang mencengkeram, mencubit dari dalam.Bukan rasa bersalah, bukan pula amarah. Lebih seperti… kehilangan.
Keheningan turun pelan-pelan seperti kabut tipis yang menyusup masuk dari celah jendela. Ruang makan itu—berdinding abu lembut dan lampu gantung berpendar kekuningan—mendadak terasa terlalu luas, terlalu sunyi.Suara garpu yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya tanda bahwa waktu masih berjalan. Tak satu pun dari mereka berbicara, bahkan napas pun ditahan seolah suara bisa menyakiti.Elina, duduk di ujung meja dengan punggung tegak namun mata kosong, ikut terbawa suasana. Sorot matanya memantul dari wajah Raka yang tegang ke dua adik laki-lakinya yang menunduk dalam diam.Ia belum paham seluruhnya, tapi perasaan berat itu menular—seperti mendung yang menyelimuti hatinya sendiri.Bibirnya yang mungil terkatup rapat, dan sejenak, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya.Raka, yang duduk di kursi kepala meja, sempat mencoba menyisipkan humor ringan—tentang kucing yang ia temui di parkiran kantor, atau tentang betapa konyolnya bosnya ter
Malam itu, ruang makan kecil yang disinari cahaya kuning lampu gantung berubah senyap. Aroma hangat sup ayam masih melayang-layang di udara, namun tak ada satu pun yang tampak benar-benar menikmati hidangan di hadapan mereka.Raka sempat tertegun, napasnya tertahan sejenak sebelum ia menarik senyum seadanya—senyum tipis yang terlalu tergesa untuk bisa terlihat tulus.“Nggak kok… cuma pengin tahu aja. Sedikit rasa penasaran, itu aja,” ujarnya pelan, seperti berjalan di atas kaca tipis.Aidan memandangnya tajam, lama, dengan sorot mata yang tak lagi ramah. Ada sesuatu yang retak di balik tatapan itu—mungkin kemarahan, atau luka lama yang menganga.Ia kemudian membuang muka, rahangnya mengeras.“Sejak kami lahir, kami belum pernah lihat wajah ayah kami,” ucapnya, dingin dan tegas, setiap katanya seperti lemparan batu ke dalam danau yang tenang.“Dia ninggalin Ibu dan kami. Buatku, dia pengecut. Aku nggak suka dia.”Suaranya tak tinggi, t