Ruang privat di restoran itu remang, pencahayaannya temaram dari lampu gantung berdesain vintage, menyebar hangat ke seluruh penjuru ruangan.
Dindingnya dilapisi panel kayu gelap dan lukisan abstrak bergaya kontemporer menggantung angkuh di tengah.
Meja bundar dari marmer putih telah tertata rapi, dengan piring porselen dan peralatan makan berkilau.
Zelina duduk membisu di salah satu kursi beludru hijau zamrud. Wajahnya pucat, lehernya kaku. Ia menunduk dalam diam, matanya hanya menatap ujung jemarinya yang saling menggenggam erat di pangkuan.
Di sisi kanan dan kirinya, Gina dan suaminya duduk dengan ekspresi yang tak kalah murung. Tak ada senyum basa-basi, hanya atmosfer yang menggantung penuh ketegangan.
Pintu terbuka. Suara langkah tumit Sekar terdengar mantap, diiringi jejak sepatu kulit milik Ilham. Aroma parfum floral dari Sekar langsung mengisi ruangan, mendahului kehadirannya.
“Selamat malam, Bu Sekar, Pak Ilham.” Suara Z
Raka menarik napas panjang, lalu ucapnya lirih, “Ya sudah, Ayah tunggu di sini sama kalian.”Suaranya nyaris tenggelam di antara riuh rendah angin sore yang menyibak dedaunan kering. Ia melipat lengan, berdiri canggung di dekat bangku taman yang mulai sepi.Sejak Raka datang, suasana yang tadinya penuh tawa berubah beku. Aidan, Bayu, dan Elina hanya duduk diam, seperti tiga boneka kayu yang kehilangan tali kendali.Tak ada lagi permainan kejar-kejaran atau tawa renyah yang menggema. Mereka menunduk, sesekali saling melirik, tapi tak satu pun bicara.Langit perlahan beralih warna, dari biru cerah menjadi kelabu tua, pertanda hari mulai menua.Tapi Kirana belum juga datang.Raka melirik ponsel. Layar menyala, nama Kirana terpampang. Ia menekan panggilan, menunggu nada sambung… tidak diangkat.Ia mencoba lagi. Lalu lagi. Tetap sama.Mungkin dia masih di ruang operasi, batinnya, mencoba menenangkan keresahan yang
Beberapa dokter spesialis sudah berdiri di luar ruang ICU, mengenakan jas putih mereka yang nyaris tak berkerut, mengisyaratkan profesionalisme yang sudah terlatih bertahun-tahun.Aroma antiseptik memenuhi lorong itu, tajam dan dingin, menempel di ujung hidung seperti bayang-bayang kematian yang menanti di balik tirai rumah sakit.Mereka memutar kepala ketika Kirana melangkah masuk. Perempuan itu masih muda, jauh lebih muda daripada yang mereka bayangkan.Wajahnya bersih, tanpa riasan, tapi sorot matanya tajam dan teduh sekaligus. Setenang dan setangguh batu karang di tengah badai."Ini Janet?" salah satu dari mereka bertanya pelan, seolah tak percaya.Lukman mengangguk. Nama samaran itu sudah lebih dulu disampaikan, tetapi tetap saja sulit bagi mereka memadukan nama itu dengan sosok Kirana yang tampak terlalu tenang, terlalu muda untuk reputasi yang dibawanya.Tanpa membuang waktu, Kirana melangkah mendekat ke tempat pasien terbaring. Ia me
Udara sore menyusup lembut lewat sela-sela jendela rumah, membawa serta wangi samar rumput basah dan dedaunan yang baru tersiram hujan.Di ruang keluarga yang teduh, tawa kecil sesekali terdengar—namun kini mulai meredup.Elina duduk di sofa dengan selimut tipis menyelimuti kakinya, sementara Kirana duduk di lantai, bersandar pada sisi sofa dengan tangan memegang tangan Elina yang terasa dingin tapi lembut.Mata Elina menatap Kirana dengan sorot yang sulit dijelaskan, campuran harap dan rasa terima kasih yang tak sempat terucap.Matanya masih tajam, meski suara belum mampu mengikuti.Kedekatan mereka terjalin dalam keheningan-keheningan itu. Dalam sentuhan ringan, dalam lirikan mata, dalam cengkeraman jari yang sedikit lebih kuat dari hari kemarin.Aidan dan Bayu, dua bocah laki-laki yang mulai terbiasa dengan kehadiran Kirana, menuruni tangga dengan langkah pelan.Mereka melihat sang ibu menunduk, mata berkaca-kaca, memandang E
Namun, aku akan sebisa mungkin menghindari Raka, batin Kirana, seraya berdiri membeku di ambang ketegangan yang menggantung di udara.Ruangan itu hening, nyaris seperti ruang vakum yang menyedot suara dan napas. Hanya detak jam dinding yang terdengar, bergema dalam kehampaan yang menggumpal.Raka berdiri di dekat jendela, tubuhnya kaku, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, hanya sorot mata yang sayu, seperti memendam banyak hal yang tak sempat terucap.Akhirnya, ia menyerah. Suaranya rendah dan hambar, “Kalau itu maumu.”Kirana mengangguk kecil, tanpa membalas pandangan itu. Ia segera melangkah naik ke lantai dua, anak tangga berderit pelan di bawah langkahnya.Di tengah keheningan rumah, suara itu terdengar seperti detik-detik perpisahan yang tak terhindarkan.Kamar Aidan dan Bayu dipenuhi cahaya sore yang mengambang lewat jendela besar. Aroma kayu mainan bercampur dengan bau bedak bayi yang samar, menciptakan kehangatan ya
Pikirannya masih berkabut, seperti embun pagi yang belum mau terangkat oleh sinar matahari. Ia tidak punya energi untuk menebak-nebak lagi, apalagi menyusun kemungkinan yang hanya akan membuat dadanya sesak.Enam tahun kemudian.Hidup terus berjalan, dan entah bagaimana, Raka akhirnya bertunangan dengan Zelina. Sebuah kehendak lama yang akhirnya menemukan jalannya, meski mungkin bukan pada waktu yang tepat.Di ruang tamu yang senyap, Kirana duduk sendirian, bahunya sedikit menunduk, matanya kosong menatap ke arah jendela yang separuh terbuka.Angin sore menerobos masuk, mengibaskan tirai tipis seperti tangan-tangan kecil yang ingin menyentuh masa lalu.Suara televisi mengalun pelan di latar belakang, menyampaikan berita dengan nada datar—salah satunya adalah kabar tentang pertunangan Raka.Lalu, bel pintu tiba-tiba berbunyi.Nada tajamnya memecah keheningan, membuat Kirana tersentak dari lamunannya. Dengan langkah cepat
Gosip berhembus kencang, seperti asap pekat yang menjalar di antara kerumunan yang tadi malam memenuhi aula pesta.Begitu Raka meninggalkan acara itu dengan Kirana di sisinya, bisik-bisik liar menyebar ke segala penjuru.Sekalipun ia sudah terbiasa jadi sorotan, kali ini rasanya berbeda. Lebih tajam. Lebih pribadi.Ia memang tak pernah benar-benar menyukai Zelina, tapi rasa hormatnya pada sang kakek membuatnya tak bisa begitu saja berbalik badan dan pergi.Ada utang budi yang menggantung di hati, menggumpal bersama perasaan tak nyaman yang sulit ia uraikan.Sayangnya, sebelum ia bisa mengambil langkah apa pun, situasinya justru berubah seperti benang kusut yang ditarik dari segala arah.Dan sekarang, ia terseret lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan."Itu nggak penting. Satu-satunya cara buat hentikan omongan itu ya ini!" suara Sekar terdengar dari ujung sambungan telepon, keras, datar, dan tak memberi ruang untuk bantahan.