Kirana langsung terdiam, seolah alarm tak terlihat dalam kepalanya mendadak meraung. Nalurinya menegang begitu menyadari bahwa pria yang berdiri tak jauh di depannya tengah limbung, dengan aroma alkohol menyengat yang menampar hidung seperti gelombang panas.
Cahaya temaram dari lampu gantung kafe tua itu menyorot wajah pria tersebut—mata yang setengah terbuka, senyum miring yang terlalu lebar, dan gerakan tubuh yang seperti wayang goyah kehilangan dalang.
Tanpa ingin memperkeruh suasana, Kirana menghela napas pelan. Ia menatap pria itu sebentar, lalu berkata dengan suara rendah yang nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk musik jazz pelan yang mengalun dari sudut ruangan.
“Maaf… aku benar-benar minta maaf. Kamu… kamu baik-baik saja?”
Suaranya terdengar ragu, seperti seseorang yang meniti tali rapuh. Namun permintaan maaf itu belum sempat menyelesaikan apa pun. Pria di hadapannya menyeringai, mulutnya bergerak membentuk kalimat y
Ia memutar badan, bersiap membuka pintu untuk keluar dari ruang tamu yang terasa semakin sesak oleh udara tegang.Namun, sebelum sempat menyentuh kenop pintu, sepasang jari dingin mencengkeram pergelangan tangannya—erat, namun tidak menyakitkan.Tubuhnya menegang. Alisnya spontan mengernyit, dan ia berbalik dengan sorot mata yang menyala tak sabar, siap melontarkan teguran.Tapi saat matanya bertemu dengan wajah yang sudah tak asing lagi itu—dingin, tenang, namun entah kenapa selalu mampu mengguncang keseimbangannya—kata-kata yang hendak ia ucapkan terhenti di ujung lidah.Raka.Sosok lelaki itu berdiri di hadapannya, hanya berjarak sejengkal. Pandangan matanya tajam, menghujam, namun tak sepenuhnya keras.Ada sesuatu di sana—perlindungan, barangkali, atau sekadar kepedulian yang disamarkan.Jantung Kirana berdetak lebih kencang, seperti hendak keluar dari tempatnya. Ia menahan napas tanpa sadar.Siapa d
Tak ada satu pun dari mereka yang menyangka Kirana akan menyerah secepat itu. Perempuan yang sejak awal tampak teguh dan penuh keyakinan untuk membantu Arga, kini berbalik arah tanpa banyak kata.Udara di dalam kamar mendadak mengeras, seolah merespons ketegangan yang baru saja terjadi.Bara tercekat. Sejenak ia hanya berdiri mematung, mencoba merangkai ulang peristiwa barusan. Begitu kesadarannya kembali, ia buru-buru melangkah ke depan, seolah ingin menambal suasana yang telah sobek.“Maafkan kami, Dr. Alesha...” ucapnya pelan, nadanya terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan yang ragu.“Jujur saja, keluarga kami memang banyak yang berlatar belakang medis, jadi... kami cukup paham soal akupunktur. Kakak saya hanya panik. Dia mengira titik yang Anda tusuk itu berbahaya dan khawatir dengan kondisi Kakek. Sekali lagi, mohon maaf.”Namun Kirana tetap tak menjawab. Ia hanya sibuk merapikan alat-alatnya dengan gerakan yang
Kirana tetap membungkam gelisah yang merayap dari arah lain ruangan. Jemarinya lincah, hampir seperti tarian yang sudah dihafal bertahun-tahun, memilih satu per satu jarum perak kecil dari dalam wadah logam.Di hadapannya, lampu gantung temaram memantulkan cahaya dingin pada permukaan jarum yang berkilau samar.Ia mencelupkannya ke dalam alkohol, menyaksikan gelembung-gelembung kecil pecah pelan di permukaan cairan bening itu.Di balik kesunyiannya, gemuruh langkah dan desahan nafas masih terasa; namun Kirana mengabaikannya, menutup diri dalam benteng konsentrasi yang nyaris suci.Di sisi lain ranjang, Bara tampak berkutat dengan tubuh Arga yang lemas bagai kain basah. Lelaki tua itu terkulai, matanya terpejam, napasnya tak beraturan—seperti daun yang hanyut terbawa arus deras.Dengan satu tangan, Bara menyanggah punggung Arga, tangan lainnya meraba kancing kemeja satu per satu, membukanya dengan sabar namun gelisah.Tubuh Arga tak mem
“Kau benar-benar—!”Suara Senja pecah di udara, tapi langsung menggantung, seolah terbentur dinding tak terlihat. Matanya membelalak, tak percaya Kirana bisa bicara seterang itu, setelanjang itu, seolah tak ada filter antara isi hati dan mulutnya.Ketegangan di ruangan menebal, seperti kabut tipis yang perlahan-lahan berubah menjadi awan badai.Bara, yang sejak tadi berdiri sedikit di belakang, diam-diam mengamati. Cahaya lampu dari langit-langit rumah sakit memantul di bola matanya yang gelap, membingkai wajahnya yang tegas dalam keremangan.Ia menoleh, sorot matanya tajam menyapu Senja. Tak ada suara yang keluar, tapi isyarat itu jelas: cukup.Senja—yang biasanya keras kepala seperti batu karang diterjang ombak—akhirnya mengendurkan bahunya.Ia menghela napas kasar, menelan kekesalan yang masih menggumpal di tenggorokannya saat bertemu mata Bara.Tidak ada pertengkaran yang bisa ia menangkan ketika Bara
“Apa maksudmu barusan?” Suara Senja menggema, tajam dan meluncur seperti anak panah yang dilepaskan tanpa ampun.Matanya menyala penuh amarah, menusuk Kirana seperti ingin mengoyak jawabannya dari kedalaman pikirannya.Ruang tamu keluarga itu—yang biasanya tenang dengan aroma teh melati dan tirai tipis yang bergoyang lembut diterpa angin sore—kini terasa panas dan tegang, seolah waktu ikut menahan napas.“Kau bisa menyembuhkannya atau tidak? Kalau tidak bisa, bilang saja! Jangan seolah-olah mengutuk kakekku seperti itu!”Kirana berdiri membatu, wajahnya setenang batu pualam di tengah badai. Ia menatap balik, namun bukan dengan amarah—melainkan dengan dingin yang jauh lebih menggetarkan.Suaranya datar, tapi membawa beban seperti kabar duka yang ditulis dalam huruf-huruf halus.“Aku sudah mencoba menyampaikannya sehalus mungkin,” ucapnya perlahan, namun kata-katanya menggema di antara dind
Begitu daun pintu bergeser perlahan, aroma tajam bercampur antiseptik segera menyeruak keluar, menyergap indera penciuman Kirana seperti kabut yang datang tanpa permisi—menusuk, dingin, dan asing.Bau khas rumah sakit, tapi kali ini berasal dari dalam rumah.Langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun dari langit-langit membuat kontras mencolok dengan ranjang medis yang berdiri di tengah ruangan.Dindingnya masih mempertahankan corak krem elegan khas rumah keluarga tua, tapi keberadaan monitor, tabung oksigen, dan alat medis lain menyulap ruang itu menjadi semacam unit perawatan intensif versi mewah.Ini bukan lagi kamar tidur biasa—ini adalah benteng terakhir tempat hidup digantungkan pada detak mesin dan kesigapan manusia.Beberapa sosok berseragam putih berdiri tegak di sekeliling ranjang, dengan sikap dan gerak-gerik yang efisien, minim bicara.Tatapan mereka sesekali saling bertemu, seolah berbagi