Kirana langsung terdiam, seolah alarm tak terlihat dalam kepalanya mendadak meraung. Nalurinya menegang begitu menyadari bahwa pria yang berdiri tak jauh di depannya tengah limbung, dengan aroma alkohol menyengat yang menampar hidung seperti gelombang panas.
Cahaya temaram dari lampu gantung kafe tua itu menyorot wajah pria tersebut—mata yang setengah terbuka, senyum miring yang terlalu lebar, dan gerakan tubuh yang seperti wayang goyah kehilangan dalang.
Tanpa ingin memperkeruh suasana, Kirana menghela napas pelan. Ia menatap pria itu sebentar, lalu berkata dengan suara rendah yang nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk musik jazz pelan yang mengalun dari sudut ruangan.
“Maaf… aku benar-benar minta maaf. Kamu… kamu baik-baik saja?”
Suaranya terdengar ragu, seperti seseorang yang meniti tali rapuh. Namun permintaan maaf itu belum sempat menyelesaikan apa pun. Pria di hadapannya menyeringai, mulutnya bergerak membentuk kalimat y
Astaga. Kirana lagi.Bayangan siluet perempuan itu muncul sekilas di layar, diapit liputan media yang mengangkat kisah "romantis" Raka Pradana yang penuh perhatian.Rambut hitam lurus yang tergerai dengan elegan, dagu lancip, senyum tipis yang nyaris identik, bahkan cara ia berdiri—semuanya memanggil kembali satu nama yang menghantui Zelina sejak malam jamuan itu.Seketika wajah Zelina mengeras. Rahangnya menegang, dan pandangannya menusuk layar monitor seperti ingin menembusnya.Sementara itu, bisik-bisik penuh antusiasme mulai menjalar seperti asap rokok di ruang kantor yang penuh aroma kopi basi dan parfum menyesakkan.“Katanya dulu Pak Pradana ogah nikah sama Bu Pratama, tapi ternyata diam-diam perhatian banget, ya!”“Iya, dia ganteng, terus peduli. Kayaknya romantis banget kalau udah cinta. Aduh, pengen banget punya pacar kayak gitu!”Gumaman itu menjalar cepat dari satu meja ke meja lain, berputar d
Mobil itu terparkir tenang di pinggir trotoar, kaca jendela depannya perlahan melorot ke bawah seperti tirai yang disibakkan angin sore.Di baliknya, wajah Raka muncul, sorot matanya tajam seperti sedang mengupas isi kepala Kirana.“Kamu nggak buru-buru ke lembaga riset? Kenapa masih bengong di situ?” tanyanya, datar tapi terasa gerah, seolah keheningan Kirana sudah terlalu lama berdiri di sana, mengganggu ketenangan yang rapuh.Kirana sempat mengulum bibirnya. Ada getir yang sulit disembunyikan, tapi senyum tipis tetap dipaksakan muncul.“Lembaga risetnya dekat kok. Aku jalan kaki saja,” jawabnya pelan, berusaha terdengar ringan walau ada benturan aneh dalam suaranya.Udara sore yang baru saja basah oleh hujan menyusup masuk lewat celah jendela. Wangi tanah yang tersiram menempel di udara, menyatu dengan aroma kabin mobil yang masih menyimpan bekas parfum lembut milik Ellie.Raka menarik napas, lalu mengembuskannya p
Meski wajah Raka nyaris tak memperlihatkan emosi, gejolak di balik matanya tak bisa disembunyikan. Ada ketegangan yang menggumpal di dadanya, seperti awan hujan yang menahan petir.Namun ketika akhirnya ia menjawab dengan satu kata pendek, "Iya," nada suaranya datar, membingungkan.Sulit ditebak apakah itu jawaban yang tulus atau hanya sekadar menyelesaikan percakapan.Kirana menghela napas pelan dan mulai membalikkan badan. Tapi langkahnya tertahan oleh sentuhan ringan—tarikan lembut di ujung bajunya.Tangan mungil Elina mencengkeramnya dengan canggung."Bu Alesha!" serunya, lirih namun jelas.Anak kecil itu berdiri di sana, mata bundarnya yang basah memancarkan kebingungan yang tulus. Ia belum cukup besar untuk memahami obrolan orang dewasa tentang “utang” dan “balas budi.”Bagi Elina, semua itu tak lebih dari gumaman asing. Yang ia tahu, ia tak ingin Kirana pergi.Kirana berbalik, menunduk sedik
Meski baru beberapa pekan bekerja untuk Kirana, Lisa sudah bisa merasakan denyut kehidupan perempuan itu, sekeras dan serapuh arus ombak dalam satu waktu.Ia menyaksikan sendiri bagaimana Kirana menyeimbangkan hidupnya dengan presisi seorang penari di atas kawat: mengurus anak-anak yang masih kecil, mengelola lembaga riset, dan tetap tersenyum seolah semuanya mudah.Jika bukan karena demam hebat yang tiba-tiba datang kemarin, mungkin orang-orang di sekelilingnya akan terus percaya bahwa Kirana adalah sosok tanpa batas, nyaris seperti mesin yang tak pernah lelah.Lisa kerap menangkap bayangan lelah di balik mata jernih Kirana. Ada saat-saat tertentu di mana Kirana menatap keluar jendela, diam, sejenak saja… dan Lisa tahu, perempuan itu menyimpan lebih banyak dari yang ia tunjukkan.Makin lama tinggal bersama keluarga ini, makin dalam rasa empati Lisa tumbuh. Kirana sudah seperti keluarga sendiri.Bahkan lebih dari itu.“Tidak apa
Pintu kamar terbuka perlahan, menimbulkan bunyi engsel yang nyaris tenggelam oleh deru lembut AC rumah sakit.Cahaya matahari pagi menyelinap masuk, membingkai tubuh Kirana yang sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan selimut setengah menutupi kakinya.Wajahnya masih pucat, namun senyumnya cukup untuk membuat ruangan itu terasa lebih hangat.Begitu melihat sosok ibunya terjaga, ketiga anak itu langsung berhamburan masuk. Mata mereka bersinar, seolah rasa khawatir yang menyesakkan dada sejak semalam akhirnya menemukan pelabuhan.Aidan dan Bayu berlomba mendekat, langkah kecil mereka tergesa di lantai keramik yang dingin.“Apa Ibu masih demam?” tanya mereka nyaris bersamaan, suara mereka memecah kesunyian pagi dengan nada khawatir yang nyaris seperti desakan.Kirana tersenyum kecil, senyum yang belum benar-benar pulih, lalu menggeleng pelan. “Enggak, sekarang Ibu sudah jauh lebih baik.”Tapi anak-anak itu b
Kirana mengepalkan tangannya, jari-jarinya menekan lembut permukaan kulit telapak, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak.Ia menarik napas pendek, lalu menghembuskannya perlahan. Suaranya terdengar lebih hangat dari sebelumnya, tapi nadanya tak kehilangan ketegasan.“Kita ini nggak punya hubungan apa-apa, Pak Pradana,” ujarnya, menatap lurus pada pria yang duduk tak jauh darinya.“Jadi aku merasa nggak enak kamu jagain aku seperti ini. Malah bikin aku terbebani.”Kalimat itu meluncur tanpa jeda, namun ada pergolakan halus di balik sorot matanya. Tatapan Kirana tajam dan mantap, tapi ada sesuatu di baliknya, seperti selaput tipis yang menahan perasaan lain agar tak tumpah.Raka terdiam, sedikit mengernyit, nyaris tak percaya bahwa perhatian yang ia berikan justru berubah menjadi beban.Rahangnya mengeras sejenak, tetapi ia menahan diri. Tatapannya beralih ke lantai berubin putih yang memantulkan sedikit cahaya lamp