Bara sudah duduk di ruang tamu sejak beberapa menit lalu. Tubuhnya agak condong ke depan, kedua sikunya bertumpu di lutut, seolah ia menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Ada kesabaran dalam sorot matanya, tapi juga kegelisahan yang tipis, seperti api kecil yang enggan padam.
Cahaya sore menembus tirai tipis yang hanya setengah tertutup. Semburat jingga menari lembut di dinding marmer, memantulkan kilau hangat pada ruang tamu yang luas. Sofa abu-abu tua tempat Bara duduk nyaris tak bergeser dari susunan semula; begitu rapi, seakan menyimpan cerita keheningan rumah itu.
Langkah-langkah ringan terdengar mendekat. Kirana muncul di ambang pintu, berhenti sesaat ketika matanya menangkap sosok Bara sendirian. Keningnya berkerut samar.
“Tuan Baskoro di mana?” tanyanya dengan suara pelan, namun tetap bergema lembut di ruangan yang terlalu tenang.
Bara mengangkat tangan, menunjuk ke arah tangga berukir jati yang menjulang. “Beliau sedang tidu
Suara Kirana dari balik pintu rapat terdengar lembut, serupa alunan senja yang menembus hati Lisa.“Sudah sore, Lisa. Tolong jemput anak-anak, ya. Tidak apa-apa, saya bisa sendiri di sini.”Kata-kata itu seakan menyentuh sesuatu yang rapuh dalam diri Lisa. Ia berdiri diam di ambang pintu, matanya menatap ruang yang dipenuhi cahaya jingga dari jendela besar. Senja mulai tenggelam di balik pegunungan, menyisakan warna keemasan yang memantul di meja panjang.Hening merayap di koridor, hanya jarum jam yang terdengar berdetak.Perasaan tidak tenang tetap menyelinap. Ada dorongan dalam hati Lisa untuk memaksa Kirana pulang. Namun ketika ia melihat cahaya hangat di wajah para peserta rapat, keceriaan yang tak bisa disembunyikan, keinginan itu meredup.Ia sadar, pertemuan ini bukan sesuatu yang bisa dihentikan begitu saja.Dengan helaan napas ragu, Lisa akhirnya mengangguk pelan. “Baik, Bu,” gumamnya, lalu melangkah pergi. Suar
Meski Raka sudah menduganya, tetap saja ada selimut gelap yang merayapi dadanya. Hawa dingin di ruang tamu terasa menusuk ketika ia bertanya, suaranya parau, seakan setiap kata ditarik paksa dari kerongkongan.“Sekarang dia di mana?”Nada itu bukan sekadar pertanyaan—lebih mirip teriakan batin yang ditahan dengan sisa kesabaran.“Orangnya terus berpindah-pindah, Pak,” jawab Zayyan di seberang telepon, terdengar ragu, tapi tetap jelas. “Sering terlihat di tempat hiburan sekitar Buah Batu. Sepertinya dia sadar sedang diincar.”Raka memejamkan mata, keningnya berkerut tajam. “Kalau dia masih di Bandung, tangkap dia secepatnya.” Suaranya tegas, tapi ada keresahan yang bocor dari sela ketegasan itu, seperti api kecil yang diam-diam membakar dada.Pandangannya jatuh pada layar ponsel, tetapi pikirannya melayang jauh, berlari liar, mencari kepingan jawaban yang masih berserakan. Ibunya… selalu m
Kirana tersenyum samar, senyum yang lebih mirip upaya menutup resah daripada ketulusan yang lahir dari hati. Ia mengangkat wajahnya, menatap Lisa yang masih menyimpan bayangan kekhawatiran di sorot matanya.“Luka kecil saja, Lis,” ucap Kirana pelan, suaranya lembut, berusaha menenangkan. “Tadi terinjak kerang di pantai. Istirahat dua-tiga hari cukup, nanti juga sembuh.”Nada hangatnya terasa menenangkan, tapi lelah yang tak bisa disembunyikan tetap merayap di sela-sela intonasinya.Namun Lisa tak langsung luluh. Kedua matanya masih saja berputar resah, berpindah dari wajah Kirana ke sosok Raka yang berdiri tak jauh, tegak dan tenang seperti batu karang yang tak mudah digoyahkan. Lisa menunduk sopan, lalu berujar dengan nada tulus yang tak bisa dipalsukan.“Untung ada Pak Raka. Terima kasih, sudah repot-repot antar pulang tengah malam begini.”Raka hanya mengangguk tipis. Matanya bergerak singkat ke arah Kirana, s
Elina menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu di sorot matanya yang membuat udara di sekitar mereka seakan menegang: campuran resah, bingung, dan marah yang tak terucap. Tatapannya menancap pada sosok ayahnya, seolah hendak memaksa lelaki itu menoleh.Di belakang sorot mata itu, ia juga tak henti melirik kaki Nona Alesha yang berlumur pasir dan sedikit darah, belum juga dibersihkan.“Ayah… kaki Nona Alesha…” suaranya serak, nyaris tercekat oleh cemas.Raka berdiri kaku, sosoknya bagai patung di tengah bentangan pasir yang perlahan mulai dingin ditiup angin sore. Pandangannya terpaku pada luka itu, pada pergelangan kaki Kirana yang berkilat samar terkena sinar jingga matahari.Ia tidak bersuara, tidak bergerak, hanya membiarkan kebisuan menjawab.Ketika Elina akhirnya memanggil namanya lebih keras, Raka tersentak. Tatapannya berpindah, dari luka di kaki itu ke wajah Kirana yang duduk di pasir dengan rambut tergerai, sebagian
Langkah mereka berderap pelan di atas pasir yang mulai dingin diterpa angin senja. Aidan dan Bayu, dua bocah kembar yang tak pernah lepas dari sisi ibunya, menggenggam erat tangan Kirana.Jemari mungil mereka seakan berusaha menyalurkan kekuatan, seolah ingin menjadi penopang bagi perempuan yang tengah digelayuti resah.Hanya suara gesekan kaki di atas pasir yang terdengar, berbaur dengan debur ombak jauh di ujung pulau. Sunyi itu terasa asing—hening yang tidak menenangkan, justru menambah berat dada mereka. Biasanya, ada tawa, ada obrolan, ada suara ibu mereka yang hangat.Kini, semua menguap, meninggalkan kesunyian yang menekan.“Bu…” Bayu akhirnya memberanikan diri, suaranya lirih, ragu, seperti takut menambah luka yang tak terlihat. “Kita nggak ajak Ellie lagi?”Kirana tersentak, seakan baru terbangun dari lamunan panjang. Kata-kata itu menghantam kesadarannya. Dalam kegelisahan, ia memang meninggalkan Elina
Kerang pilihan Elina tampak berkilau di bawah cahaya sore, warnanya memantul lembut—campuran jingga muda dan mutiara yang seolah menyimpan cahaya dari laut tempat ia ditemukan.Jemarinya yang mungil dengan hati-hati mengikat rantai biru sederhana pada cangkang itu, dan seketika kerang tersebut berubah. Pesonanya tak lagi hanya sekadar indah; ada kehangatan yang menyelinap, seperti bisikan rahasia yang hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Kirana, duduk tak jauh darinya, mengamati dengan senyum tipis. Ia bisa membayangkan betapa manisnya gantungan kunci itu jika menghiasi tas kecil Elina.Dalam benaknya, tampak jelas sosok gadis kecil itu melompat-lompat riang di jalan berpasir Pulau Tidung, tas mungil di bahunya bergoyang ringan, kerang biru bergemerincing setiap langkahnya, seolah dunia ikut berkilau bersama keceriaannya.Namun senyum di wajah Kirana perlahan pudar ketika Elina mendongak. Sepasang mata bulat bening menatapnya