Kirana merapikan selimut tipis di atas tubuh Bayu. Ia memastikan si kecil tetap nyaman, meski malam terasa lembap oleh udara laut yang masuk dari celah jendela. Setelahnya, ia merebahkan diri di sisi ranjang.
Pandangannya menancap pada langit-langit kamar yang gelap, seakan berharap secercah cahaya bisa menembus kegelapan itu dan meredakan gundah di dadanya.
Rasa lelah masih terasa di tubuhnya, sisa dari seharian berjalan mengelilingi Pulau Tidung, menghirup angin asin laut, merasakan panas matahari yang membakar kulit, juga tawa anak-anak yang terus bergema di telinganya.
Namun, kelelahan fisik itu tak mampu mengalahkan pikirannya yang tetap terjaga.
Ada cemas, ada gelisah, ada kalut yang menolak reda.
Bayu sudah kembali. Seharusnya hatinya tenang. Tapi justru sebaliknya—jiwanya seolah retak, tak pernah benar-benar pulih. Luka itu tetap ada, meski permukaan tampak baik-baik saja.
Ucapan Elina sore tadi kembali terngiang. Tentang Putri
Kerang pilihan Elina tampak berkilau di bawah cahaya sore, warnanya memantul lembut—campuran jingga muda dan mutiara yang seolah menyimpan cahaya dari laut tempat ia ditemukan.Jemarinya yang mungil dengan hati-hati mengikat rantai biru sederhana pada cangkang itu, dan seketika kerang tersebut berubah. Pesonanya tak lagi hanya sekadar indah; ada kehangatan yang menyelinap, seperti bisikan rahasia yang hanya terbuka bagi mereka yang benar-benar memperhatikannya.Kirana, duduk tak jauh darinya, mengamati dengan senyum tipis. Ia bisa membayangkan betapa manisnya gantungan kunci itu jika menghiasi tas kecil Elina.Dalam benaknya, tampak jelas sosok gadis kecil itu melompat-lompat riang di jalan berpasir Pulau Tidung, tas mungil di bahunya bergoyang ringan, kerang biru bergemerincing setiap langkahnya, seolah dunia ikut berkilau bersama keceriaannya.Namun senyum di wajah Kirana perlahan pudar ketika Elina mendongak. Sepasang mata bulat bening menatapnya
Elina menempelkan kerang itu lebih dekat ke telinganya. Cahaya sore memantul di matanya yang membesar, berkilau seperti dua permata yang baru saja menemukan sinarnya.Kedua tangannya mendekap cangkang itu dengan hati-hati, seolah sedang memeluk rahasia besar yang hanya menunggu saatnya untuk diungkapkan.Tubuh mungilnya sedikit condong ke depan, bahunya menegang, telinganya menempel rapat pada kerang. Ia tampak larut dalam keheningan, seakan lautan yang terbentang di depannya telah pindah ke dalam ruang sempit cangkang itu.Beberapa detik kemudian, bibirnya merekah, senyum meledak begitu saja, dan wajahnya bersinar seperti matahari sore yang menembus celah awan."Iya! Aku dengar!" serunya lantang, suaranya melengking penuh kemenangan. Ada nada keyakinan di sana, seperti seorang penjelajah kecil yang baru saja menemukan benua baru.Kirana terdiam. Tadinya ia hanya bercanda, ingin bermain-main dengan imajinasi Elina yang sering meletup tak terkendali
Tak jauh dari kapal, wajah laut yang semula tenang bergetar lembut. Riak kecil menjalar seperti bisikan rahasia, lalu tiba-tiba pecah oleh lompatan gesit sekawanan lumba-lumba. Tubuh mereka berkilau ditimpa cahaya matahari sore, seakan ada perhiasan hidup menari di permukaan air.Beberapa saat mereka menghilang, menyelam ke dalam biru yang dalam, hanya untuk muncul kembali, kali ini lebih dekat. Anak-anak yang berdiri di dek sontak bersorak, tangan mungil mereka terangkat tinggi, melambai penuh semangat.“Halo! Kami di sini! Main yuk!” seru mereka, tawa mereka terbawa angin laut yang asin dan segar.Kirana berdiri agak jauh, memperhatikan wajah-wajah kecil itu. Senyum lembut merekah di bibirnya, matanya berbinar melihat keluguan mereka yang begitu murni.Dan seakan mengerti panggilan polos itu, kawanan lumba-lumba semakin mendekat, meluncur dengan gerakan anggun, berputar di air laksana penari yang tak pernah lelah.Anak-anak merapat ke
Elina merapatkan tubuh mungilnya, memeluk lutut seolah dunia bisa runtuh kapan saja. Matanya membelalak, masih memantulkan sisa bayangan gelap dari kedalaman laut. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang tak terlihat.“Aku tadi takut banget, Bu Alesha... Kukira Ibu kenapa-kenapa...” Suaranya pecah, tercekat, menyisakan getaran cemas yang menolak padam.Kirana menunduk, berjongkok di sisi Elina. Tangannya—hangat dan penuh kelembutan—mendarat di pipi putrinya, mengusap pelan, seakan bisa menyapu jauh kegelisahan yang menempel di sana. Senyum samar mengembang di bibirnya, meski tubuhnya sendiri masih menyimpan lelah.“Maaf ya, sayang... bikin kamu khawatir,” ucapnya pelan, seperti doa yang disembunyikan di antara desah napas. “Tapi Ibu baik-baik saja, kok. Instruktur selamnya jaga Ibu dengan sangat baik.”Langkah tergesa terdengar di dek kayu yang masih basah oleh percikan laut. R
Kirana memaksa seulas senyum, meski pikirannya masih menempel pada balutan seadanya di tangan Raka. Senyum itu tipis, seperti benang halus yang bisa putus kapan saja, tapi cukup untuk menenangkan anak-anak yang sejak tadi menunggu kepastian.“Lukanya ringan saja, sudah Ibu balut tadi,” ucapnya, berusaha terdengar lebih tenang dari yang sebenarnya ia rasakan.Tatapan anak-anak segera beralih ke Raka. Seakan semua jawaban hanya sah bila keluar darinya. Lelaki itu mengangguk pelan, gerakannya sederhana tapi mengalirkan ketenangan. Anggukan tanpa kata, namun jauh lebih meyakinkan ketimbang penjelasan panjang.Anak-anak pun sedikit mereda. Angin laut yang berembus lembut di sekitar mereka membawa aroma asin, seperti turut menenangkan. Elina menatap Raka dengan mata berbinar, lalu berucap dengan suara penuh harap, “Aku ingin lihat lumba-lumba, Ayah.”Aidan dan Bayu saling menoleh. Ada cahaya penasaran di wajah mereka, tapi juga garis tip
Kirana menarik napas panjang, seakan ingin mengusir sesuatu yang menekan dadanya sejak semalam.Tangannya mengusap wajah perlahan, meninggalkan jejak kelelahan yang samar, sebelum akhirnya bibirnya melengkung, menampakkan senyum tipis yang lebih menyerupai peredam kegelisahan ketimbang kebahagiaan.“Aku sempat minum sedikit, lalu tidur nyenyak,” ujarnya lirih, nadanya ringan tapi rapuh. “Bangun pagi agak pusing, tapi sekarang sudah baikan. Terima kasih sudah tanya, Tuan Pradana.”Raka hanya mengangguk pelan. Matanya menatap Kirana, tenang tapi penuh sesuatu yang tak pernah benar-benar terucap. Seolah ada lapisan perasaan yang disembunyikan di balik sorot dingin itu.Hening merambat, menyelusup ke sela-sela napas mereka. Kata-kata lenyap, tersedot udara kamar hotel yang tiba-tiba terasa lebih berat dari seharusnya. Ada sesuatu yang menggantung, tak terlihat namun begitu nyata, menjerat seluruh ruangan dengan bisu yang pekat.