“Anak Ibu ini punya bakat musik. Kalau ada kesempatan, coba daftarkan dia ke kursus musik, ya.”
Ucapan itu meluncur pelan dari bibir seorang panitia, diiringi senyum hangat dan tatapan yang masih tertuju pada Bayu.
Anak itu baru saja membuat semua mata terpesona, meski hanya sebentar, dengan dentuman kecil drumnya yang lincah. Tangannya masih gemetar sedikit, tapi wajahnya menyimpan puas yang tak bisa disembunyikan.
Kirana hanya tersenyum, anggukan halus menghiasi wajahnya. Dalam dadanya, riak kecemasan yang sejak tadi berputar-putar belum benar-benar reda.
Malam itu, lampu-lampu gantung yang digantung di pohon kelapa berpendar lembut, menyiramkan cahaya kekuningan pada wajah-wajah kecil yang mulai letih setelah riuh pesta. Hening mulai turun perlahan, hanya menyisakan debur ombak dan denting musik yang semakin melembut.
Saat perhatian orang-orang bergeser, Aidan mendekati adiknya. Ada sesuatu di sorot matanya—rasa bersalah yang t
Elina merapatkan tubuh mungilnya, memeluk lutut seolah dunia bisa runtuh kapan saja. Matanya membelalak, masih memantulkan sisa bayangan gelap dari kedalaman laut. Napasnya tersengal, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang tak terlihat.“Aku tadi takut banget, Bu Alesha... Kukira Ibu kenapa-kenapa...” Suaranya pecah, tercekat, menyisakan getaran cemas yang menolak padam.Kirana menunduk, berjongkok di sisi Elina. Tangannya—hangat dan penuh kelembutan—mendarat di pipi putrinya, mengusap pelan, seakan bisa menyapu jauh kegelisahan yang menempel di sana. Senyum samar mengembang di bibirnya, meski tubuhnya sendiri masih menyimpan lelah.“Maaf ya, sayang... bikin kamu khawatir,” ucapnya pelan, seperti doa yang disembunyikan di antara desah napas. “Tapi Ibu baik-baik saja, kok. Instruktur selamnya jaga Ibu dengan sangat baik.”Langkah tergesa terdengar di dek kayu yang masih basah oleh percikan laut. R
Kirana memaksa seulas senyum, meski pikirannya masih menempel pada balutan seadanya di tangan Raka. Senyum itu tipis, seperti benang halus yang bisa putus kapan saja, tapi cukup untuk menenangkan anak-anak yang sejak tadi menunggu kepastian.“Lukanya ringan saja, sudah Ibu balut tadi,” ucapnya, berusaha terdengar lebih tenang dari yang sebenarnya ia rasakan.Tatapan anak-anak segera beralih ke Raka. Seakan semua jawaban hanya sah bila keluar darinya. Lelaki itu mengangguk pelan, gerakannya sederhana tapi mengalirkan ketenangan. Anggukan tanpa kata, namun jauh lebih meyakinkan ketimbang penjelasan panjang.Anak-anak pun sedikit mereda. Angin laut yang berembus lembut di sekitar mereka membawa aroma asin, seperti turut menenangkan. Elina menatap Raka dengan mata berbinar, lalu berucap dengan suara penuh harap, “Aku ingin lihat lumba-lumba, Ayah.”Aidan dan Bayu saling menoleh. Ada cahaya penasaran di wajah mereka, tapi juga garis tip
Kirana menarik napas panjang, seakan ingin mengusir sesuatu yang menekan dadanya sejak semalam.Tangannya mengusap wajah perlahan, meninggalkan jejak kelelahan yang samar, sebelum akhirnya bibirnya melengkung, menampakkan senyum tipis yang lebih menyerupai peredam kegelisahan ketimbang kebahagiaan.“Aku sempat minum sedikit, lalu tidur nyenyak,” ujarnya lirih, nadanya ringan tapi rapuh. “Bangun pagi agak pusing, tapi sekarang sudah baikan. Terima kasih sudah tanya, Tuan Pradana.”Raka hanya mengangguk pelan. Matanya menatap Kirana, tenang tapi penuh sesuatu yang tak pernah benar-benar terucap. Seolah ada lapisan perasaan yang disembunyikan di balik sorot dingin itu.Hening merambat, menyelusup ke sela-sela napas mereka. Kata-kata lenyap, tersedot udara kamar hotel yang tiba-tiba terasa lebih berat dari seharusnya. Ada sesuatu yang menggantung, tak terlihat namun begitu nyata, menjerat seluruh ruangan dengan bisu yang pekat.
Kirana menggeliat pelan di bawah selimut, seolah tubuhnya masih menolak bangun sepenuhnya. Bulu matanya bergetar sebelum matanya yang setengah terpejam terbuka, menatap Raka dengan sorot yang penuh tanya.Cahaya lampu tidur memantul samar di bola matanya, membuatnya terlihat rapuh sekaligus menawan.“Raka...” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang takut patah di udara. “Pementasan itu... emangnya beneran kecelakaan?”Kata-kata itu menggantung, meninggalkan jejak dingin yang menelusup ke dada Raka. Ia terdiam, seolah waktu menahan langkahnya. Rahangnya mengeras, kedua tangannya sempat menggenggam sprei, lalu ia melepaskan pelukan yang tadi melingkupi Kirana.Gadis itu kembali terhanyut dalam tidur, napasnya teratur, seperti tak sadar betapa besar pertanyaan yang baru saja ia titipkan.Raka menatap wajahnya sejenak, ada rasa yang sulit didefinisikan—campuran antara takut, bersalah, dan rindu. Tangan kanannya
Kirana merapikan selimut tipis di atas tubuh Bayu. Ia memastikan si kecil tetap nyaman, meski malam terasa lembap oleh udara laut yang masuk dari celah jendela. Setelahnya, ia merebahkan diri di sisi ranjang.Pandangannya menancap pada langit-langit kamar yang gelap, seakan berharap secercah cahaya bisa menembus kegelapan itu dan meredakan gundah di dadanya.Rasa lelah masih terasa di tubuhnya, sisa dari seharian berjalan mengelilingi Pulau Tidung, menghirup angin asin laut, merasakan panas matahari yang membakar kulit, juga tawa anak-anak yang terus bergema di telinganya.Namun, kelelahan fisik itu tak mampu mengalahkan pikirannya yang tetap terjaga.Ada cemas, ada gelisah, ada kalut yang menolak reda.Bayu sudah kembali. Seharusnya hatinya tenang. Tapi justru sebaliknya—jiwanya seolah retak, tak pernah benar-benar pulih. Luka itu tetap ada, meski permukaan tampak baik-baik saja.Ucapan Elina sore tadi kembali terngiang. Tentang Putri
“Anak Ibu ini punya bakat musik. Kalau ada kesempatan, coba daftarkan dia ke kursus musik, ya.”Ucapan itu meluncur pelan dari bibir seorang panitia, diiringi senyum hangat dan tatapan yang masih tertuju pada Bayu.Anak itu baru saja membuat semua mata terpesona, meski hanya sebentar, dengan dentuman kecil drumnya yang lincah. Tangannya masih gemetar sedikit, tapi wajahnya menyimpan puas yang tak bisa disembunyikan.Kirana hanya tersenyum, anggukan halus menghiasi wajahnya. Dalam dadanya, riak kecemasan yang sejak tadi berputar-putar belum benar-benar reda.Malam itu, lampu-lampu gantung yang digantung di pohon kelapa berpendar lembut, menyiramkan cahaya kekuningan pada wajah-wajah kecil yang mulai letih setelah riuh pesta. Hening mulai turun perlahan, hanya menyisakan debur ombak dan denting musik yang semakin melembut.Saat perhatian orang-orang bergeser, Aidan mendekati adiknya. Ada sesuatu di sorot matanya—rasa bersalah yang t