Nada suara dan tatapan tajam itu—Kirana mengenalnya dengan baik. Ia mengingatnya, seperti gurat bekas luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Suatu bentuk penghukuman diam-diam yang dulu kerap ia terima dari kepala pelayan di rumah keluarga pasien.
Sinis, penuh kecurigaan, dan selalu mengandung penilaian sebelum pertanyaan.
Namun kali ini berbeda. Yang berbicara bukan pelayan, melainkan bagian dari keluarga pasien. Itu membuat Kirana menarik napas pelan, menelan sedikit kekesalan yang sempat naik ke permukaan.
Ia memilih diam, menyembunyikan ketidaksenangan di balik wajah profesional yang telah lama ia latih.
Untungnya, seorang pria muda dengan sikap tenang dan senyum ramah segera mengambil alih suasana yang mulai tegang.
"Maafkan kami, ya," ucapnya, lembut tapi jelas. Sorot matanya jujur, sedikit letih.
“Kondisi Kakek belakangan ini memang memburuk. Kami sudah coba segala cara—dokter dari dalam negeri, bahkan yang
Raka menyipitkan mata, alisnya sempat bertaut. “Aku masih mikir langkah selanjutnya,” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Suaranya tenggelam di tengah musik lembut yang mengalun di restoran itu.Bara, yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba merogoh saku jaket. Gerakan kecil itu cukup untuk membuat Raka menoleh, alisnya terangkat, menunggu jawaban dari sesuatu yang belum ia tanyakan.Dengan senyum nakal yang sudah jadi ciri khasnya, Bara mengeluarkan dua lembar tiket. Kertas tebal berwarna gading dengan tepi emas itu berkilau terkena pantulan lampu gantung restoran yang temaram.“Kebetulan banget, tadi pagi aku dapet dua tiket konser.” Ia menyodorkan tiket itu dengan gaya santai, seperti sedang menawarkan permen, padahal jelas benda itu lebih berharga. “VIP, bro. Ajak dia nonton. Siapa tahu... suasananya bisa lebih cair.”Raka menerima tiket itu perlahan, seolah benda rapuh yang bisa pecah kala
Kirana berdiri kaku di sudut ruangan, kedua tangannya mencengkeram buket mawar yang baru saja datang pagi itu. Jemarinya seolah menahan sesuatu yang lebih berat daripada sekadar bunga.Kelopaknya masih segar, merahnya seperti bara yang baru saja dinyalakan, aroma manisnya samar bercampur dengan dingin udara kantor. Namun, bukan wangi bunga yang menempel di kepalanya, melainkan gema suara Raka yang sejak tadi enggan pergi dari pikirannya.Tatapan Kirana merosot ke buket itu, redup dan bimbang. Ada kilatan luka di wajahnya—singkat, nyaris tak terlihat, tapi cukup menusuk jika diperhatikan. Senyum yang sempat singgah lenyap begitu saja, diganti raut sendu.Ia tampak seperti seseorang yang berdiri di antara dua sisi jurang, tak tahu sisi mana yang lebih aman.Berjam-jam kemudian, ia kembali membawa buket itu ke kantor. Bukan tanda bahwa ia menerima Raka. Tidak, hatinya belum sejernih itu. Namun membuang bunga yang begitu segar dan cantik terasa seperti
Terpaksa, Kirana kembali meraih buket bunga yang tadi sempat ia letakkan di meja resepsionis. Kelopak mawar yang masih segar menyebarkan wangi lembut, mengusik napasnya yang makin tak beraturan.Ia berjalan di belakang Raka dengan langkah berat, seperti sedang menapaki jalan asing yang licin—setiap pijakan membuat tubuhnya menegang.Restoran itu memancarkan kemewahan yang tenang. Lampu gantung kristal menggantung rendah, cahayanya memantul halus pada meja-meja marmer, seperti bintang yang jatuh pelan dari langit lalu tertahan di udara.Dinding berlapis kayu gelap menguatkan suasana hangat sekaligus mewah, sementara denting piano dari sudut ruangan mengalun rendah, seolah menjadi latar bagi cerita yang tak ingin terlalu keras terdengar.Aroma keju panggang, roti hangat, dan anggur merah tipis-tipis mengambang, bercampur dengan suara bisik para tamu yang menundukkan kepala mereka, menyembunyikan senyum atau rahasia.Namun di tengah pemandangan
Raka terkekeh pendek, tawa yang terdengar bukan seperti canda, melainkan gesekan besi dengan batu. Ada getir di sana, dingin yang berusaha ia sembunyikan di balik suara ringan.Cahaya lampu gantung berpendar ke wajahnya, menegaskan garis tegas rahang yang menegang. Ekspresi wajahnya datar, tapi sorot mata itu—ada ironi, ada luka yang tak pernah benar-benar padam.“Tindakanmu juga cukup merepotkan bagiku, Nona Alesha.”Kirana menegang seketika. Tubuhnya tergerak setengah langkah mundur, seolah setiap kata Raka adalah duri yang menusuk terlalu dekat.“Raka Pradana!” suaranya pecah, meninggi tanpa bisa ia tahan. “Kamu tahu maksudku!”Ruangan yang semula tenang seperti tertarik masuk ke dalam bayangan. Padahal matahari siang masih menembus tirai, tapi suasananya berubah pekat, seakan sinarnya tak sanggup mengusir dingin di antara mereka.Raka menundukkan kepala, rahangnya semakin keras menonjol. Sekejap
Tatapan Raka tajam, dingin, seolah bilah es baru saja menembus dada seseorang tanpa suara. Sorot matanya pekat, menahan letupan emosi yang tak menemukan jalan keluar.Zayyan, yang barusan masuk sambil menenteng vas berisi mawar merah segar, langsung merasakan hawa berbahaya itu. Gerakannya cepat berubah kikuk. Ia menunduk, meletakkan vas di pojok ruangan dengan hati-hati, lalu melangkah pergi pelan, seperti pencuri yang takut membangunkan rumah.Kesunyian kembali menguasai ruang kerja. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berpadu dengan aroma bunga yang menebar, memenuhi ruangan yang kini mirip rumah kaca mungil—dinding-dindingnya seakan sesak oleh kelopak merah.Seminggu penuh, Raka menuruti saran Bara tanpa absen. Kirim bunga setiap hari, katanya. Tak peduli ditolak, teruskan saja. Hati perempuan itu pasti luluh.Namun hati Kirana masih keras, sama seperti di awal. Raka menatap rangkaian bunga yang memenuhi sudut-sudut ruangan
Memberi bunga bukanlah kebiasaan Raka. Bahkan, kata “bunga” nyaris tidak pernah menyinggung kehidupannya—tidak dalam percakapan, tidak pula dalam tindakannya.Namun pagi itu, dunia seolah menolak aturan lamanya. Raka justru mengirimkan buket mawar segar, dan Kirana menjadi satu-satunya penerima.Sekilas, seharusnya tak ada yang istimewa dari setangkai bunga. Tapi ketika tangannya menyentuh gulungan kertas pembungkus yang masih dingin oleh embun pagi, waktu di sekitar Kirana serasa berhenti.Bukan kali pertama. Kemarin ia sudah menolak satu buket serupa, dengan ukuran lebih sederhana. Tapi hari ini, bunga yang mampir jauh lebih besar, warnanya lebih mencolok, aromanya menusuk dada, menusir sisa kantuk yang sempat ia simpan setelah malam panjang.Yang membuatnya sesak bukan sekadar mawar yang merekah. Melainkan tubuhnya sendiri—jantung yang mendadak berdebar, jemari yang kaku, dan tarikan napas yang tak sempat teratur.Tak ada