“Ibu mau dengar nggak apa yang kami tulis?” tanya Aidan, suaranya lirih tapi penuh getaran semangat, seolah ada percikan harap yang berkilat di matanya.
Kirana, yang duduk bersandar di sofa dengan secangkir teh yang mulai mendingin di tangan, menoleh. Ia tahu dua anak lelaki itu sedang mencoba mengguratkan senyum di wajahnya yang sejak tadi terasa berat.
Sebuah senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya, lembut seperti embun pagi. “Mau dong. Ceritakan ke Ibu,” ucapnya pelan, penuh rasa terima kasih yang tak sempat dirangkai dengan kata.
Dari arah belakang, terdengar suara ransel diobrak-abrik. Suara resleting yang tergesa, kertas yang bergesekan, lalu—
“Aku duluan ya!” seru Bayu, berdiri dengan dada membusung dan secarik kertas di tangan. Matanya berbinar, dan suaranya meledak-ledak, penuh emosi seperti anak panah yang dilepaskan dari busur.
“Orang yang paling aku sayang itu Ibu!” katanya lantang.
“Ibu itu dokter hebat! Walaupun Ibu sering sib
Elina berdiri di ambang pintu dengan gaun putih yang tampak terlalu rapi untuk pagi sepagi ini—gaun yang mengingatkan pada hari-hari foto keluarga, bersih tanpa noda, nyaris bersinar tertimpa cahaya matahari yang menembus sela-sela daun pohon mangga di halaman.Di punggungnya tergantung sebuah ransel kecil warna biru pucat, yang dari ukurannya saja sudah tampak seperti milik seorang anak TK.Kirana langsung mengenalinya—itu ransel yang sama yang kemarin Elina bawa ke sekolah.Saat Kirana membuka pintu, pertanyaan spontan meluncur begitu saja dari mulutnya. “Kamu sendirian, Elina?”Gadis kecil itu tak mengangguk, tak bersuara, hanya membuka ransel perlahan. Gerakannya tenang, seperti seseorang yang sudah memikirkan semuanya semalaman.Ia mengeluarkan sebuah buku catatan mungil dengan sampul bergambar bintang, lalu mencoretkan sesuatu dengan pensil warna merah muda yang sedikit tumpul.Aku datang sendiri.Kirana mengerjap. “Sen
“Ibu mau dengar nggak apa yang kami tulis?” tanya Aidan, suaranya lirih tapi penuh getaran semangat, seolah ada percikan harap yang berkilat di matanya.Kirana, yang duduk bersandar di sofa dengan secangkir teh yang mulai mendingin di tangan, menoleh. Ia tahu dua anak lelaki itu sedang mencoba mengguratkan senyum di wajahnya yang sejak tadi terasa berat.Sebuah senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya, lembut seperti embun pagi. “Mau dong. Ceritakan ke Ibu,” ucapnya pelan, penuh rasa terima kasih yang tak sempat dirangkai dengan kata.Dari arah belakang, terdengar suara ransel diobrak-abrik. Suara resleting yang tergesa, kertas yang bergesekan, lalu—“Aku duluan ya!” seru Bayu, berdiri dengan dada membusung dan secarik kertas di tangan. Matanya berbinar, dan suaranya meledak-ledak, penuh emosi seperti anak panah yang dilepaskan dari busur.“Orang yang paling aku sayang itu Ibu!” katanya lantang.“Ibu itu dokter hebat! Walaupun Ibu sering sib
Tepat ketika suara pintu dibanting dari lantai atas menggema ke seluruh rumah, Cempaka menghentikan langkahnya.Suara itu keras, berat, seperti mewakili ledakan emosi yang tidak lagi bisa ditahan. Refleks, ia menengadah, menatap ke arah tangga yang mengarah ke kamar-kamar di lantai dua, sebelum kembali menoleh pada Raka yang berdiri tak jauh dari sana.Wajah Raka tetap datar, nyaris beku. Matanya tidak menampakkan gelombang apa pun, meski dari atas sana jelas-jelas terpancar badai kecil yang baru saja pecah.Ia hanya berkata singkat, datar seperti nada pintu tua yang enggan terbuka, “Tak ada apa-apa. Dia hanya ngambek. Tolong awasi saja dia.”Cempaka mengangguk pelan, postur tubuhnya sedikit membungkuk hormat. “Baik, Tuan.”Namun dalam hatinya, ia mendesah, letih tapi tak terucap.Entah apa lagi yang membuat Nona Elina sekecewa itu. Biasanya, meski Tuan Pradana dingin dan tertutup, Nona tetap sabar. Tapi sore ini... entah. Rumah ini, ah.
Begitu langkah kaki Raka berhenti di pelataran sekolah, ia langsung menyadari sesuatu yang membuat dadanya mengencang—mobil Kirana sudah tak tampak.Hanya bayangan pohon trembesi tua yang bergoyang pelan ditiup angin sore, dan deretan kendaraan orangtua lain yang mulai menipis.Ia membuka pintu penumpang dengan gerakan cepat tapi hati-hati, lalu mengangkat Elina masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun.Tak ada bujukan, tak ada teguran. Hanya keheningan yang menggantung seperti awan berat di antara mereka.Begitu bokongnya menyentuh jok, Elina meledak. Tubuh kecilnya berontak, tangan mungilnya menepis lengan Raka dengan geram.Ia menyingkir, merangkak menjauh ke sisi kursi seperti binatang kecil yang tersudut dan tak percaya lagi pada penjaganya.Raka tak melawan, hanya menarik napas panjang dan membiarkan putrinya mengambil jarak, baik secara fisik maupun batin.Dari tas ungu lusuh yang selalu ia bawa, Elina menarik keluar buku ca
“Bagaimana aku memperlakukan anakku, itu bukan urusanmu. Jangan merasa berhak ikut campur hanya karena dia kebetulan menyukaimu.”Kata-katanya meluncur seperti pisau yang dilempar tanpa ampun. Ujung-ujungnya menancap di udara, memekatkan atmosfer jadi sesuatu yang nyaris meledak.Kirana membeku, sorot matanya—yang semula teduh—mendadak menghitam, seperti langit yang mendung tanpa aba-aba.Ia tidak bicara, tapi gelombang panas terasa menjalar dari pori-porinya.Sesuatu dalam dirinya terguncang, seperti api yang tak disengaja disulut di dalam relung hati. Ia sendiri tak tahu pasti apa yang terbakar, hanya tahu bahwa bara itu membuat dadanya sesak.Dan ketika bara itu mereda, yang tersisa hanyalah rasa malu yang menyakitkan—dan getir yang menyesap diam-diam di balik tenggorokannya.Memang… aku bukan siapa-siapa. Di matanya, aku hanya bayangan yang bisa dilewati begitu saja, pikir Kirana, sembari menunduk, menatap lantai yang dingin dan
Kirana mengernyit, matanya menyipit seakan mencoba menembus kabut di balik nada tajam Raka. Nada itu tak biasa.Ada sesuatu yang menggantung di udara, samar namun mencengkeram—ketegangan yang bisa dirasakan bahkan oleh daun-daun kering yang gugur di halaman TK.Guru TK yang tadi sibuk merapikan mainan di sudut ruangan, kini berdiri kaku. Tatapannya mondar-mandir di antara dua orang dewasa itu.“Kalian... saling kenal?” tanyanya perlahan, seolah takut mengusik sarang lebah. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Kirana tadi tampak begitu alami saat menghibur Elina, seperti dua potongan puzzle yang tak sengaja bertemu tapi langsung menyatu.Tapi kini, setelah mendengar nada bicara Raka, teka-teki itu semakin membingungkan.Kirana tidak langsung menjawab. Hanya anggukan kecil yang terlepas, nyaris tak terlihat, sebelum ia mengalihkan sorot matanya kembali pada pria itu.“Aku ke sini untuk menjemput anak-anakku. Tapi putrimu... dia tidak mau melepa