Share

05 - Kamu, Mandul?

Tanganku gemetar saat mendapati hasil yang begitu mengejutkan bagiku, karena kupikir akulah yang mandul. Namun, ternyata aku salah. Di lembar hasil pemeriksaan ini dengan jelas diterangkan bahwa Mas Ilham-lah yang tidak subur, bukan aku.

Aku harus senang atau bagaimana? Jika boleh diminta, aku dan Mas Ilham seharusnya mendapatkan hasil yang sama, tidak ada kemandulan di antara kami.

Lama aku tertegun dan berpikir, hingga dokter Yuni kembali bersuara, "Bagaimana, Bu? Apakah Anda puas dengan hasilnya?"

Hatiku luruh, walaupun keadaanku baik-baik saja, tapi aku takut kenyataan ini akan membuat Mas Ilham putus asa. Mengingat suamiku itu sudah sangat menginginkan keturunan.

Ya Allah, aku harus bagaimana?

"Bu ...." Dokter Yuni kembali memanggilku, yang membuatku langsung tersadar dari lamunan.

"Oh, maaf, Bu," sahutku seraya memutar otak. Aku tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Mas Ilham. "Bu, apakah saya bisa meminta tolong sama Ibu?" tanyaku pada Dokter Yuni.

"Minta tolong apa? Bukankah hasil sudah keluar, dan Anda dinyatakan subur."

"Bukan begitu, Bu. Jika boleh, saya ingin menukarkan hasil pemeriksaan ini," jelasku dengan memelas.

"Hah?" Dokter Yuni tampak sangat terkejut. "Apa Anda yakin?"

Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Bu. Saya yakin, tapi tolong rahasiakan ini dari siapa pun."

Kesepakatan dibuat. Dokter Yuni menyetujui permintaanku dengan syarat harus sama-sama menjaga rahasia, karena hal ini juga akan berimbas pada karir profesinya. Aku harus menjaga juga agar tidak ada yang tahu jika Dokter Yuni memalsukan hasil tes yang keluar.

Keluar dari ruangan dokter aku langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ternyata ibu mertua sudah berdiri di depan pintu menungguku. Sepertinya wanita ini sudah tidak sabar melihat hasil tes yang kami lakukan.

Padahal, sebenarnya aku ingin merahasiakan ini darinya, tapi aku lupa jika di rumah ini ialah yang berkuasa. Bagaimanapun, aku harus patuh padanya. Aku sudah sangat tahu, jika wanita ini pasti akan lebih membenciku jika dia membaca hasil tes yang kubawa. Namun, setidaknya aku bisa membuat hati Mas Ilham lega, karena bukan dia yang tidak subur. Aku harus memilih jalan ini agar Mas Ilham terus bersemangat menjalani hari.

"Benarkan? Kamu mandul? Ibu sudah menduga hal ini sejak awal!" cecar ibu mertua sesaat setelah membaca hasil tes yang ada di tangannya.

Aku hanya diam tidak menanggapi ucapannya, karena saat ini yang sedang kupikirkan adalah perasaan Mas Ilham. Aku memang bodoh lebih mementingkan perasaan Mas Ilham daripada hinaan yang kudapatkan, tapi aku yakin betul jika Mas Ilham akan tetap membelaku dan melindungiku, sesuai janjinya padaku tempo hari. Aku percaya itu.

"Naila, Naima. Kamu ini, sudah tidak punya keluarga, mandul, pula! Apa yang bisa kami banggakan dengan menjadikanmu sebagai menantu kami, hah?!" Pedas sekali ucapan wanita ini, tapi sekali lagi aku tidak perduli.

"Maaf, Bu. Naima capek, mau istirahat." Tanpa menunggu jawaban dari wanita yang memasang wajah kesal itu, aku berlalu meninggalkannya masuk kamar. Sesekali aku mendengar ia memanggil namaku, tapi aku tidak menghiraukannya lagi. Aku masuk kamar, dan langsung mengunci pintu dari dalam. Hanya ruangan inilah satu-satunya tempat ternyaman bagiku jika saat-saat seperti ini terjadi.

Kurebahkan tubuhku ke atas ranjang, melihat atap dengan pikiran menerawang, hingga tak sadar mataku mulai terpejam.

"Hah?" Aku terkesiap dan langsung mengerjapkan kedua mata. Kudengar benda pipih yang berada di tasku berbunyi sangat nyaring membangunkan tidurku yang baru saja dimulai.

Oh, ternyata Mas Ilham yang sedang menelponku. Karena kecapekan membuatku ketiduran, sehingga aku lupa untuk menghubungi Mas Ilham dan memberitahu tentang hasil pemeriksaan kami. Dengan cepat aku menjawab panggilan dari Mas Ilham.

"Dek, Mas sudah tahu hasilnya," ucap Mas Ilham dari seberang telepon. "Kamu yang sabar ya, Dek. Mas akan selalu mendampingimu," imbuhnya lagi yang membuat hatiku lega. Mas Ilham pasti tahu kabar ini dari ibu.

Dan alhamdulillah, keputusan yang sudah kuambil tentang pertukaran has tes kami ternyata sangat tepat. Andai aku tidak menggantinya, Mas Ilham pasti bersedih dan terluka. Sekalipun dalam pikirannya saat ini percaya jika aku yang mandul, ia akan tetap bersamaku sesuai janjinya.

"Eh, iya, Mas. Aku tidak apa-apa," jawabku ragu. "Mas, maafkan aku yang tidak bisa memberikanmu keturunan. Padahal Mas pengen banget punya anak, kan?"

"Tidak apa-apa, Dek. Nanti pas Mas sudah selesai tugas, kita bisa adopsi anak dari panti asuhan," sahut Mas Ilham langsung dengan suara lembut, terasa ia ingin menguatkanku dari kejauhan. Aku tahu pasti saat ini ia juga sedang bersedih, tapi masih tetap ingin menghiburku.

"Iya, Mas." Aku mengangguk setuju.

***

"Apa?! Kalian mau ngadopsi anak??" Ibu memekik terkejut dengan keputusan Mas Ilham.

Baru juga Mas Ilham sampai dari bertugas di luar kota, ia sudah tidak sabar mengutarakan niatnya pada ibu.

"Iya, Bu. Tolong pahami kondisi Naima," pinta Mas Ilham dengan wajah nelangsa.

"Tidak bisa! Ibu tidak terima! Pokoknya yang Ibu mau, cucu dari keturunanmu sendiri! Darah dagingmu sendiri!" Ibu menjawab dengan bentakan yang sangat lantang.

Mas Ilham hanya bisa bernapas dalam-dalam. "Bu, masih ada Nindi kalau ibu ingin cucu ibu sendiri, nanti. Tapi tolong izinkan aku dan Naima mengadopsi anak untuk kami rawat," ucap Mas Ilham lagi ingin meyakinkan ibu.

"Tidak bisa! Pokoknya ibu maunya cucu ibu sendiri dari kamu!" balas ibu tak mau kalah. "Kalau perlu, kamu menikah lagi agar bisa memberikan ibu cucu."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Maulidia Naviah
mandulkah die?
goodnovel comment avatar
Ahmad Riyadhi
tega banget ibu mertua...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status