"Mas tahu kamu mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman selama ini. Tapi, Mas minta kamu bisa bersabar, ya." Mas Ilham mengatakan itu dengan penuh hati-hati. Sepertinya dia sudah membaca semua isi hatiku hingga apa yang diucapkannya berhasil membuatku diam.
Baiklah. Demi Mas Ilham, aku akan berusaha sabar dan mengalah.Mas Ilham mengurai pelukan. Pandangannya tak lepas dari wajahku yang membuatku seketika tersipu. "Ada apa, Mas? Kenapa memandangku seperti itu?""Dek," bisiknya seraya tersenyum."Hmm.""Mas pengen punya anak."Deg! Kenapa tiba-tiba Mas Ilham mengatakan ini? Bukankah beberapa hari lalu dia baik-baik saja karena kondisiku yang tidak kunjung hamil ini?Aku tertegun sesaat tanpa membalasnya."Dek, koq diam?" Pria itu semakin menatap lekat wajahku, yang membuatku sedikit melengos ke samping kanan."Dek, besok ikut Mas, ya!""Ke mana, Mas?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya."Kita periksa ke dokter.""Ke dokter? Periksa apa??" Aku ingin memastikan bahwa apa yang kupikirkan saat ini adalah salah. Aku memiliki firasat jika Mas Ilham ingin memerikakan tubuhku karena tak kunjung hamil."Kita periksa kesuburan," jawabnya. "Bukan hanya kamu, aku juga periksa, kok," jelas Mas Ilham lagi yang membuatku berpikir. Apakah ini yang dibicarakannya dengan ibu tadi?"Baiklah, Mas. Aku mau, tapi jika aku dinyatakan mandul, bagaimana? Apa kamu masih tetap mau menerimaku??" Kutatap mata pria yang menjadikanku istri ini dengan penuh tanya. Aku ingin mengetahui apa jawabannya jika keadaanku mandul, dan tidak bisa memberikannya keturunan.Mas Ilham tampak santai. "Tidak mungkin kamu mandul, Dek. Mas yakin itu. Jadi, tenang aja ya," jawabnya. Pria itu kembali memelukku. "Kamu tenang saja, kita cuma berniat periksa, kalaupun salah satu dari kita mandul, kita harus sama-sama saling menguatkan. Bukannya malah meminta berpisah. Kamu ingat itu, ya," terang Mas Ilham lagi yang membuat hatiku sedikit lega. Ternyata, hati Mas Ilham masih sama saat ia bilang tidak mempermasalahkan keterlambatanku memberinya anak.Hari berlalu, pagi ini kami berangkat menuju rumah sakit untuk memeriksa kesuburan kami, berharap membuahkan hasil sehingga kami segera diberikan momongan.Tiba di ruang dokter, kami bergantian diperiksa. Mas Ilham diperiksa oleh seorang dokter laki-laki, sementara diperiksa oleh dokter perempuan. Kami diperiksa di ruangan terpisah. Tidak berapa lama pemeriksaan selesai. Kami beristirahat sejenak sambil menunggu hasil tes keluar."Maaf, Pak, Bu. Untuk hasil tes bisa diambil besok hari," ucap sang dokter saat kembali menghampiri kami di ruangannya.Mas Ilham tampak sangat penasaran. "Kenapa harus besok, Dok? Biasanya sehari jadi.""Tidak bisa begitu, Pak. Kami harus melakukan pemeriksaan sesuai prosedur. Jadi, paling cepat besok pagi hasil pemeriksaan baru bisa dilihat."Aku melirik ke arah Mas Ilham yang tampak gusar. Sepertinya pria yang menjadi suamiku ini sangat penasaran dengan hasil yang akan pemeriksaan kami. Wajar saja, ia juga pasti sudah sangat menginginkan keturunan."Mas, sabar ya. Sesuai kata dokter, besok kita kembali lagi untuk melihat hasilnya," ucapku berusaha menenangkan Mas Ilham.Namun, Mas Ilham masih saja bersikukuh ingin segera tahu hasilnya."Kalau besok aku tidak bisa, Naima. Kan kamu tahu sendiri besok aku aku ada jadwal keberangkatan untuk tugas kantor.""Kalau besok Mas enggak bisa, kan ada aku. Aku akan datang ke sini untuk mengambil hasilnya, Mas," sahutku memberi solusi. "Nanti, aku bisa memberitahumu bagaimana hasilnya.""Apa lebih baik begitu?" tanya Mas Ilham, ragu.Aku mengangguk yakin. "Iya, Mas. Mas tenang aja."Mas Ilham akhirnya setuju dengan usul yang kuberikan. Setelah sepakat, kami pun pamit pada sang dokter untuk segera pulang. Dan besok, aku akan kembali ke rumah sakit lagi untuk mengambil hasil tes kesuburan yang telah kami lakukan.***Keesokan harinya.Mas Ilham sudah selesai bersiap dengan satu koper besar di tangan. Setelah berpamitan pada seluruh anggota keluarga, ia bergegas masuk ke dalam mobil untuk berangkat tugas ke luar kota."Hati-hati ya, Mas," pesanku padanya yang dibalas dengan anggukan dan senyuman."Nanti, kalau sudah ada kabar tentang hasil pemeriksaan kemarin kamu telepon aku ya, Dek," pinta Mas Ilham sebelum menyalakan mesin mobil."Iya, Mas."Mas Ilham mulai menjalankan mobilnya menuju jalan raya, meninggalkanku sendiri di rumah ini dengan keluarganya."Naima!" panggil ibu mertua saat aku baru menutup pintu."Iya, Bu," sahutku seraya berjalan cepat menghampirinya. Saat ini, ibu sedang duduk di sofa ruang keluarga."Apa benar kalian kemarin periksa kesuburan?" tanya ibu mertua tanpa menyuruhku duduk terlebih dahulu.Aku mengangguk pelan. "Iya, Bu. Tapi hasilnya belum keluar."Sorot wanita yang menjadi ibu mertuaku itu tampak seperti elang, sangat tajam menatapku. "Kapan keluar hasil tesnya?" tanyanya."Hari ini, Bu. Nanti aku akan ke rumah sakit untuk mengambil hasilnya," jawabku ragu. Entah mengapa suasana saat ini membuatku merasa sangat gugup."Kenapa nanti? Sekarang cepatlah bersiap-siap!" titahnya. Tampaknya ibu ingin ikut menyaksikan hasil pemeriksaan kami."Apa Ibu mau ikut ke rumah sakit?" tanyaku untuk memastikan."Enggak. Aku cuma pengen tahu aja hasilnya bagaimana, tapi aku males banget kalau harus ikut ke rumah sakit," sahut ibu lagi. "Kamu berangkat sendiri aja."Aku mengangguk ragu. "Baik, Bu."Pukul sembilan pagi, aku sudah siap dan langsung berangkat menuju ke rumah sakit. Dengan naik angkot, aku berdesak-desakan dengan penumpang lain sehingga jilbab yang kupakai jadi terlihat kusut dan amburadul. Seperti habis kena gempa aja, sampai begini. Entah mengapa, hari ini angkot sangat ramai tidak seperti hari biasa.Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruangan dokter. Karena kami sudah ada janji jadi aku tidak perlu menunggu antrian lagi."Ibu Nama," sapa dokter Yuni, perempuan berjilbab putih yang langsung tersenyum saat melihatku.Aku pun membalas senyumnya seraya menghempaskan tubuh ke atas kursi depan sang dokter. Saat ini, aku sangat gugup karena sebentar lagi aku akan mengetahui hasil tes kesuburanku."Sudah siap, Bu?" tanya dokter Yuni menatap tajam ke arahku. Tampaknya ia takut jika aku akan syok mengetahui hasil yang keluar.Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Bu. Saya siap."Dokter Yuni memberiku dua lembar amplop putih yang langsung kubuka dengan cepat dan secara bersamaan, karena aku juga sangat penasaran. Kedua netraku terbelalak saat kudapati tulisan yang tidak kuinginkan di salah satu lembaran ini."Ya Allah ... Mas Ilham, mandul??"POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda