"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya.
Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham."Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menjadi penyebab retaknya hubungan Mas Ilham dengan ibunya.Akhirnya, kami benar-benar keluar dari rumah ibu dan langsung menyewa satu rumah sederhana di ujung kota. Rumah yang cukup dekat dengan kantor tempat bekerja Mas Ilham."Mas, kenapa kamu lebih memilihku daripada ibumu sendiri?" tanyaku pada Mas Ilham sesaat setelah kami selesai berbenah rumah baru.Mas Ilham menatap lekat ke arahku. "Sejak Mas membawamu dari panti asuhan, Mas berjanji akan selalu menjagamu, Dek. Mas tidak akan menyakitimu," jawabnya yang membuat hatiku semakin bahagia."Tapi, Mas. Seharusnya Mas jangan bertengkar dengan ibu, karena bagaimanapun, surga Mas ada di bawah telapak kakinya.""Kalau Mas tidak membantah permintaan ibu, apa kamu siap dimadu?" tanya Mas Ilham dengan wajah serius. "Mas tidak ingin menyakitimu, Dek. Mas tahu harus patuh pada ibu, tapi kalau harus mengorbankan perasaanmu, Mas tidak bisa."Mendengar penuturan demi penuturan Mas Ilham membuatku semakin tersentuh. Ternyata begitu besar cintanya untukku sehingga menolak permintaan ibunya dan lebih mementingkan perasaanku."Terima kasih, Mas," ucapku pada Mas Ilham yang ditanggapi dengan anggukan."Sama-sama, Dek. Mas juga Terima kasih karena selama ini kamu sudah bisa menerima sikap kasar dari keluarga Mas. Mas tahu itu pasti sangat berat," balas Mas Ilham seraya memelukku. "Mas juga minta maaf ya, Dek? karena sudah membuatmu tidak nyaman dengan sikap ibu dan Nindi selama ini."Memang benar, selama aku masuk ke rumah ibu mertua, hanya dalam hitungan hari sikap mereka berubah kepadaku. Sikap yang dulunya manis berganti menjadi kasar dan sering menghina. Hanya karena Mas Ilham-lah, aku bisa melewati ini dengan penuh keyakinan."Tidak apa-apa, Mas. Selama Mas percaya padaku, aku akan selalu menerima semua keadaan yang terjadi."***Sudah hampir satu bulan aku dan Mas Ilham membangun rumah tangga di rumah kami sendiri. Walaupun di rumah kontrakan sederhana, yang jauh dari rumah ibu mertua dulu, tapi hatiku terasa lebih tenang di sini.Pastinya, karena aku tidak perlu repot-repot bangun pagi dan langsung masak banyak untuk sarapan bersama. Aku juga tidak lagi sibuk mencuci setumpuk pakaian kotor mereka. Walaupun selama ini aku melakukan itu dengan ikhlas, tapi hidup hanya berdua dengan Mas Ilham ternyata lebih bahagia. Bahagia karena bisa seenaknya, dalam arti harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah dulu, ya. Mulai dari memasak, menyapu, cuci piring, cuci baju, dan lain sebagainya. Setelah itu aku bisa santai sejenak, tanpa harus sungkan karena dipandang sinis oleh ibu mertua dan adik ipar lagi.Sejak kepindahan kami ke rumah ini, Mas Ilham belum ada mengunjungi orang tuanya. Beberapa kali aku mengajaknya, tapi Mas Ilham bersikeras menolak. Entah mengapa aku juga tidak tahu sebabnya. Seolah-olah pria itu sudha melupakan keluarganya.Melihat hal itu membuatku tidak nyaman. Aku yang sudah berbekal ilmu agama, walupun hanya sedikit merasa hal ini tidak pantas. Sebisa mungkin aku mencoba merayu Mas Ilham agar mau kuajak berkunjung ke rumah orang tuanya.Bberapa kali kuajak, akhirnya Mas Ilham mau menurut. Malam ini adalah rencana kami untuk berkunjung ke rumah ibu mertua. Karena jarak yang lumayan jauh, membuat kami berangkat dari rumah mulai sore hari sebelum magrib. Tepat adzan magrib, motor yang kami naiki berhenti di depan rumah ibu mertua.Aku mengetuk pintu seraya mengucap salam. Hingga beberapa menit kami menunggu, pintu rumah akhirnya dibuka juga. Padahal pintu tidak terkuci, tapi entah mengapa kami berdua merasa kikuk seperti sedang bertamu di rumah orang asing saja."Eh, Naima, Ilham," sapa ayah mertua menyambut kedatangan kami. "Bapak baru selesai sholat Magrib, jadi lama. Kenapa nggak langsung masuk aja dari tadi?"Mas Ilham segera menyalami ayahnya dengan hari. Tampak jelas di wajahnya raut kerinduan yang mendalam. Ia memeluk tubuh bapak dengan penuh kehangatan."Sudah, sudah. Masuklah dulu," titah Bapak tampak sangat tenang. "Ajak Naima masuk juga. Kalian pasti belum sholat Magrib, kan? Ayo, sholatlah dulu."Aku dan Mas Ilham menurut. Kami langsung beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu, kemudian bergegas melaksanakan sholat magrib berjamaah. Selepas aku dan Mas Ilham menyelesaikan sholat, tiba-tiba ibu muncul dari balik pintu dengan raut wajah yang sulit kuartikan, yang membuatku sangat penasaran. Sebenarnya ada apa dengannya?POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda