Share

06 - Antara Aku dan Ibumu

"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya.

Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham.

"Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menjadi penyebab retaknya hubungan Mas Ilham dengan ibunya.

Akhirnya, kami benar-benar keluar dari rumah ibu dan langsung menyewa satu rumah sederhana di ujung kota. Rumah yang cukup dekat dengan kantor tempat bekerja Mas Ilham.

"Mas, kenapa kamu lebih memilihku daripada ibumu sendiri?" tanyaku pada Mas Ilham sesaat setelah kami selesai berbenah rumah baru.

Mas Ilham menatap lekat ke arahku. "Sejak Mas membawamu dari panti asuhan, Mas berjanji akan selalu menjagamu, Dek. Mas tidak akan menyakitimu," jawabnya yang membuat hatiku semakin bahagia.

"Tapi, Mas. Seharusnya Mas jangan bertengkar dengan ibu, karena bagaimanapun, surga Mas ada di bawah telapak kakinya."

"Kalau Mas tidak membantah permintaan ibu, apa kamu siap dimadu?" tanya Mas Ilham dengan wajah serius. "Mas tidak ingin menyakitimu, Dek. Mas tahu harus patuh pada ibu, tapi kalau harus mengorbankan perasaanmu, Mas tidak bisa."

Mendengar penuturan demi penuturan Mas Ilham membuatku semakin tersentuh. Ternyata begitu besar cintanya untukku sehingga menolak permintaan ibunya dan lebih mementingkan perasaanku.

"Terima kasih, Mas," ucapku pada Mas Ilham yang ditanggapi dengan anggukan.

"Sama-sama, Dek. Mas juga Terima kasih karena selama ini kamu sudah bisa menerima sikap kasar dari keluarga Mas. Mas tahu itu pasti sangat berat," balas Mas Ilham seraya memelukku. "Mas juga minta maaf ya, Dek? karena sudah membuatmu tidak nyaman dengan sikap ibu dan Nindi selama ini."

Memang benar, selama aku masuk ke rumah ibu mertua, hanya dalam hitungan hari sikap mereka berubah kepadaku. Sikap yang dulunya manis berganti menjadi kasar dan sering menghina. Hanya karena Mas Ilham-lah, aku bisa melewati ini dengan penuh keyakinan.

"Tidak apa-apa, Mas. Selama Mas percaya padaku, aku akan selalu menerima semua keadaan yang terjadi."

***

Sudah hampir satu bulan aku dan Mas Ilham membangun rumah tangga di rumah kami sendiri. Walaupun di rumah kontrakan sederhana, yang jauh dari rumah ibu mertua dulu, tapi hatiku terasa lebih tenang di sini.

Pastinya, karena aku tidak perlu repot-repot bangun pagi dan langsung masak banyak untuk sarapan bersama. Aku juga tidak lagi sibuk mencuci setumpuk pakaian kotor mereka. Walaupun selama ini aku melakukan itu dengan ikhlas, tapi hidup hanya berdua dengan Mas Ilham ternyata lebih bahagia. Bahagia karena bisa seenaknya, dalam arti harus menyelesaikan semua pekerjaan rumah dulu, ya. Mulai dari memasak, menyapu, cuci piring, cuci baju, dan lain sebagainya. Setelah itu aku bisa santai sejenak, tanpa harus sungkan karena dipandang sinis oleh ibu mertua dan adik ipar lagi.

Sejak kepindahan kami ke rumah ini, Mas Ilham belum ada mengunjungi orang tuanya. Beberapa kali aku mengajaknya, tapi Mas Ilham bersikeras menolak. Entah mengapa aku juga tidak tahu sebabnya. Seolah-olah pria itu sudha melupakan keluarganya.

Melihat hal itu membuatku tidak nyaman. Aku yang sudah berbekal ilmu agama, walupun hanya sedikit merasa hal ini tidak pantas. Sebisa mungkin aku mencoba merayu Mas Ilham agar mau kuajak berkunjung ke rumah orang tuanya.

Bberapa kali kuajak, akhirnya Mas Ilham mau menurut. Malam ini adalah rencana kami untuk berkunjung ke rumah ibu mertua. Karena jarak yang lumayan jauh, membuat kami berangkat dari rumah mulai sore hari sebelum magrib. Tepat adzan magrib, motor yang kami naiki berhenti di depan rumah ibu mertua.

Aku mengetuk pintu seraya mengucap salam. Hingga beberapa menit kami menunggu, pintu rumah akhirnya dibuka juga. Padahal pintu tidak terkuci, tapi entah mengapa kami berdua merasa kikuk seperti sedang bertamu di rumah orang asing saja.

"Eh, Naima, Ilham," sapa ayah mertua menyambut kedatangan kami. "Bapak baru selesai sholat Magrib, jadi lama. Kenapa nggak langsung masuk aja dari tadi?"

Mas Ilham segera menyalami ayahnya dengan hari. Tampak jelas di wajahnya raut kerinduan yang mendalam. Ia memeluk tubuh bapak dengan penuh kehangatan.

"Sudah, sudah. Masuklah dulu," titah Bapak tampak sangat tenang. "Ajak Naima masuk juga. Kalian pasti belum sholat Magrib, kan? Ayo, sholatlah dulu."

Aku dan Mas Ilham menurut. Kami langsung beranjak menuju kamar mandi untuk berwudhu, kemudian bergegas melaksanakan sholat magrib berjamaah. Selepas aku dan Mas Ilham menyelesaikan sholat, tiba-tiba ibu muncul dari balik pintu dengan raut wajah yang sulit kuartikan, yang membuatku sangat penasaran. Sebenarnya ada apa dengannya?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Surayya Alam
mesti pilih ibu
goodnovel comment avatar
Ahmad Riyadhi
aneh sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status