Share

4. Kita Harus Bicara

last update Last Updated: 2024-10-11 16:18:17

“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“

“Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri.

“Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.”

Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda.

Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.”

Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra sambungnya.

Marshall memperhatikan bagaimana Yara menenangkan Zio di pangkuannya. Terlihat keibuan dan lembut seperti Zara.

“Kamu... Marsh, ‘kan?! Marhsall. Benar? Aku nggak salah lihat, ‘kan?!” seru Yara tiba-tiba dengan raut muka berbeda, ceria, menatap Marshall dengan mata berbinar dan senyuman lebar.

Marshall mengerjap, terkejut dengan perubahan ekspresi Yara yang tiba-tiba itu. Marshall lalu tertawa kecil. “Sekarang aku percaya kalimat ‘nggak ada yang nggak kenal Marshall’.”

“Waaah... ternyata Marshall yang di belakang kamera sombong sekali, ya!” canda Yara sambil tertawa, yang membuat tawa Marshall kembali terdengar. Pipi Yara tersipu dan menunduk kecil saat mengaku, “Ngomong-ngomong, aku ini fans berat kamu. Aku suka semua lagu kamu dan hampir hafal semuanya. Terima kasih sudah menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu seindah itu.”

Marshall tampak terkejut mendengarnya, meski ia sering mendengar hal tersebut dari para fansnya tapi entah mengapa terdengar berbeda saat Yara mengatakannya dengan tulus.

Marshall merupakan seorang penyanyi populer di tanah air. Dan Yara baru tahu bahwa Marshall sepupu Oliver.

Pria yang lebih muda dari Zara itu tersenyum hangat, sedikit canggung tapi terlihat tulus. “Terima kasih, Yara. Itu berarti banyak bagi aku, terutama dari seseorang yang baru kukenal sebagai ‘kembaran Zara’,” kata Marshall, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda, membuat suasana menjadi terasa lebih ringan.

Yara tersenyum lebar, tetapi hatinya tetap berdegup cepat. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa suatu hari ia akan bertemu langsung dengan idolanya, Marshall, pria yang selama ini hanya ia kenal melalui lagu-lagu dan layar kaca.

Namun, perasaan aneh juga meliputi dirinya, terutama ketika Marshall terus memandangnya seolah ia melihat Zara. Ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam tatapan itu, meski Marshall sudah berusaha membedakan dirinya dari Zara.

“Tadi kamu bilang sepupu kamu. maksudnya... kamu dan Oliver sepupuan?” tanya Yara dengan penasaran dan tatapan tak menyangka saat Marshall menganggukkan kepalanya. Keduanya kini duduk di sofa ruang tamu.

“Zara nggak pernah cerita ke kamu? Aku sepupu Oliver. Lebih tepatnya anak dari adiknya Om Davin.”

Davin yang dimaksud Marshall adalah ayahnya Oliver. Pemilik New Pacific Group yang kini dipimpin Oliver.

“Sejak kuliah, aku dan Zara jarang ketemu karena kami kuliah di kampus yang berbeda.” Yara tersenyum samar. “Dan kami jadi jarang bercerita, kami terpisah jarak saat dewasa.”

Marshal menganggukkan kepalanya. Lalu ia tersenyum untuk mencairkan suasana. “Sebagai perkenalan pertama, izinkan aku memberikan tanda tangan spesial untuk kamu, Yara. Karena kamu fansku.”

Mata Yara melebar. “Benarkah? Tanda tangan?! Tentu saja aku mau. Tapi aku nggak punya sesuatu, oh, kertas? Aku nggak punya. Sebentar, aku akan—“

“Nggak perlu,” sela Marshal sambil menggenggam tangan Yara, saat Yara akan beranjak. “Aku akan memberikan tanda tangan di sini. Boleh?” Ia mengeluarkan bolpen dan hendak menggoreskannya di telapak tangan Yara.

Pipi Yara tersipu-sipu. Ia merasa spesial dan perlakuan Marshall padanya terasa istimewa. “Boleh,” kata Yara, akhirnya.

“Apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Pertanyaan bernada dingin dan tajam itu terdengar dari belakang mereka berdua.

Yara dan Marshall sama-sama menoleh. Saat menyadari tatapan Oliver yang tertuju pada tangannya, dengan cepat Yara melepaskan tangannya dari genggaman Marshall, sebelum Marshall sempat membubuhkan tanda tangan.

“Oh? Sepupuku sudah pulang? Jangan salah paham, aku baru akan memberi tanda tanganku pada Yara.”

“Sejak kapan ada aturan harus berpegangan tangan sebelum memberi tanda tangan?” timpal Oliver dengan rahang mengeras.

Oliver berjalan mendekat dengan tatapan tajam yang segera diarahkan ke Yara. Ada kecanggungan yang jelas di antara mereka.

“Ini perlakuan khusus untuk fansku, kamu nggak akan mengerti.”

“Fans?” Wajah Oliver semakin mengeras. “Marshall, ada perlu apa kamu ke sini?”

“Cuma ingin ketemu Zio, sekalian aku lewat sini.”

“Kalau begitu pulanglah, kita bicara lain waktu.” Oliver tanpa segan mengusir penyanyi populer itu dari rumahnya. “Aku perlu bicara dengan Yara.”

Marshall menatap Yara dan berkata, “Kamu lihat, Yara? Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang dengan kehadiranku.” Ia tertawa sambil menepuk bahu Oliver.

Yara hanya meringis. Namun, hatinya terasa waspada dan sedikit takut melihat raut muka Oliver yang tampaknya mood-nya sedang buruk.

“Baiklah. Aku akan pulang. Besok aku akan menemuimu di kantor,” kata Marshall sebelum pergi.

Oliver mengambil alih Oliver dari pangkuan Yara dan menyerahkannya pada Lisa. Oliver mengenggam pergelangan tangan Yara dengan kencang sambil berkata dengan tegas, “Kita harus bicara!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
azzleaaa
jangan kasar" oliver, punyalah hati sedikit
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
sabar ya yara.... akan tiba waktunya oliver tergila gila sama kamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Special Chapter II.

    “Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Special Chapter I.

    “Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 7. Ending

    Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 6.

    “Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 5.

    “Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 4.

    Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status