Share

5. Sesuatu Yang Selalu Mereka Lakukan

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 16:26:28

Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.

Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.

“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.

Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”

Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.

“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—“

“Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.

“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”

“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di dekat pintu. “Kali ini aku maafkan. Tapi mulai saat ini kamu harus belajar menjadi Zara,” katanya sambil menggulung lengan kemeja tanpa menatap Yara.

Yara terdiam, menelan ludah saat mendengar ucapan Oliver yang tegas dan dingin. Ia mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tidak karuan. Kalimat "kamu harus belajar menjadi Zara" terasa seperti pisau yang menyayat hati. Sebuah tuntutan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan kini harus ia hadapi.

"Belajar menjadi Zara..." gumam Yara, suaranya hampir tak terdengar. Ia menatap Oliver yang masih menggulung lengan kemejanya, tampak jauh dan asing meski mereka berdiri di ruangan yang sama. "Aku... aku mengerti."

“Bagus.”

“Sekarang kasih tahu aku,” ucap Yara sembari mengepalkan tangan. “Apa yang biasa dilakukan Zara padamu saat kamu pulang kerja? Seperti... sekarang.” Meski terasa perih, tapi ia harus memerankan peran ini demi komitmen yang telah ia buat.

Oliver berjalan menghampiri Yara, menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu ingin tahu?”

“Iya.”

“Setelah aku beritahu, apa kamu akan melakukannya?”

Yara mengangguk ragu. “Iya.”

“Kamu yakin nggak akan menyesal?” Oliver terus mendekat tanpa mengalihkan tatapnya dari Yara.

Mendapat tatapan dalam seperti itu jantung Yara berdegup kencang. Ia mencoba menyadarkan diri sendiri bahwa yang Oliver lihat saat ini adalah Zara, tapi hati Yara tak bisa berbohong.

Yara berjalan mundur saat Oliver terus melangkah mendekatinya. Hingga punggung Yara membentur dinding. Yara terpenjara. Jemari Oliver menjepit dagu Yara dan mengangkat sedikit wajahnya.

“Jawab,” gumam Oliver dengan tegas. “Apa kamu nggak akan menyesal setelah melakukannya?”

Yara menelan saliva dan berusaha meredakan degup jantungnya ketika jarak wajah mereka kurang dari lima inci.

“Menyesal atau nggak, itu urusan nanti,” jawab Yara dengan tenggorokan tercekat. “Aku cuma ingin melakukan tugasku sebagai ‘Zara’ di depan kamu.”

Tatapan Oliver terlihat dingin namun dalam. Yara merasakan tatapan penuh kerinduan dari Oliver. Pria ini terlihat benar-benar merindukan Zara. Dan hal itu membuat hati Yara terasa perih.

“Baiklah. Aku akan memberitahumu apa yang Zara lakukan saat aku pulang kerja,” lirih Oliver seraya menekankan satu telapak tangannya ke dinding di samping wajah Zara. “Dia selalu menyambutku dengan hangat, lalu menggodaku sampai kami melakukan ini.”

Tubuh Yara seketika membeku ketika sesuatu yang lembab dan dingin menempel di bibirnya. Yara terpaku, bibirnya seakan terbakar oleh sentuhan Oliver.

Itu bukan ciuman penuh cinta, melainkan sebuah tindakan penuh kerinduan yang terselubung di dalam kebingungan dan rasa kehilangan. Bibir Oliver terasa dingin, namun sentuhannya begitu intens, menciptakan perasaan aneh yang bergolak di dalam diri Yara.

Detik-detik berlalu, dan tubuh Yara seolah tidak bisa bergerak. Oliver terus menekan bibirnya, mengklaim kehadiran Zara melalui Yara. Di satu sisi, Yara tahu ini adalah peran yang harus ia mainkan, peran yang sudah ia sepakati untuk menjadi Zara. Tapi di sisi lain, ia merasa seperti sedang mengkhianati dirinya sendiri.

Tubuh Yara terasa lumpuh saat Oliver menurunkan reseleting di belakang punggungnya. Hingga dress merahnya terjatuh dan menumpuk di ujung kaki. Sementara itu ciuman Oliver terasa semakin dalam dan terburu-buru.

“Oliver, a-apa yang akan kamu lakukan?” tanya Yara saat ia baru tersadar bahwa kini Oliver sudah membaringkannya di atas ranjang. Dan ia tak sadar entah sejak kapan helaian kain dari tubuh mereka terlepas. Ia terkungkung di bawah Oliver.

“Melakukan apa yang biasa kami lakukan. Dia selalu tahu caranya membuatku tenang dan merasa seperti berada di rumah,” kata Oliver dengan suara rendah, seakan-akan berbicara kepada bayangan seseorang yang tak ada di ruangan itu.

Yara menelan ludah, mencoba meredakan debaran jantungnya yang tak menentu. Tubuhnya dikuasai perasaan asing yang baru kali ini rasakan. "Aku bukan Zara," bisiknya, nyaris tanpa suara. Namun, kalimat itu tenggelam di udara, dan Oliver tampaknya tidak mendengarnya—atau mungkin, ia memang tidak peduli.

Oliver menatap Yara dalam diam beberapa detik, sebelum ia kembali mempertemukan bibir mereka berdua. Yara mendorong dada Oliver, berusaha menghentikan tindakan pria itu yang semakin tak terkendali. Namun, Oliver sulit dihentikan. Pria itu terus mendesak dan mencengkeram kedua pergelangan tangan Yara di sisi kepala.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Muliahati Ziliwu
bucin ga jelas bertopeng demi ini demi itu rela jd bayangan
goodnovel comment avatar
Persada Mulia
aduuh Thor jangan kejam2 sm yara, kshn disiksa trs sm oliver, knp jd jahat bgt apa oliver lbh kejam dr deven ayahnya, ntar kalau udah bucin sm yara siksa dulu biar dia jg ngerasain sakit hati yara jd bayangan zara, kalau tahu zara sdh jahat sm yada apa oliver akan minta maaf sm yara
goodnovel comment avatar
Valenka Lamsiam
kasian yara.... dulu dia pasti ngalah karna sadar kalo zara penyakitan. yara ngerelain awal kenal sama oliver di lanjutin sama zara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Special Chapter II.

    “Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Special Chapter I.

    “Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 7. Ending

    Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 6.

    “Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 5.

    “Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar

  • Penyesalan Suami: Aku Tak Ingin Jadi Istri Bayanganmu, Mas!   Extra Chapter 4.

    Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status