Dominic sudah tiba di perusahaan milik keluarganya. Seperti biasa kehadirannya selalu membuat keheningan yang berkepanjangan di satu ruangan, seakan tak boleh ada yang membuat suara sedikit pun atau dia akan menyinggung Tuan Muda Anderson yang selalu dielu-elukan oleh siapa pun yang melihatnya.
Siapa yang tak kenal nama Dominic di kota Green Ford. Dia adalah laki-laki yang menjadi impian setiap wanita di sana.
Bahkan setelah Dominic menikah dengan Stella pun, masih banyak wanita yang tergila-gila pada laki-laki itu, dan tak segan menyebar teror demi mendapatkan perhatian Dominic dengan sengaja.
Walau setelahnya, mereka harus menggigit jari mereka sendiri karena Dominic mengacuhkannya.
Putera sulung dari keluarga Anderson bukan satu-satunya yang paling menawan, adiknya Jared Anderson pun tak kalah menawannya, kedua putera mahkota Anderson, adalah laki-laki yang selalu menjadi bagian mimpi-mimpi para wanita.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Dominic.
“Masuk!”
Sesosok yang sudah lama dikenalnya melemparkan senyum yang cukup menawan. Laki-laki yang baru saja masuk ke dalam ruangan Dominic adalah Daniel—sekretaris pribadi Jason.
“Tuan Muda Dominic, Anda diundang makan malam di Keluarga Wilson nanti malam jam delapan, apakah Anda akan datang menerima undangan dari mereka?” tanya Daniel.
Dominic terdiam sejenak kemudian menatap wajah Daniel.
Keluarga Wilson berhubungan baik dengan Keluarga Anderson dari masa ke masa. Tuan Besar dari Keluarga Anderson sangat menyenangkan, lebih memberi kesan hangat pada siapa pun yang pernah bertemu dengannya, berbeda dengan Dominic yang memiliki sifat yang jauh dari kata hangat, dan tak pernah mau beramah tamah jika dianggapnya tak perlu.
“Ada acara apa mereka mengundangku?”
“Merayakan ulang tahun mendiang Nona Kedua Wilson, apakah Anda mau datang?”
Dominic menarik napas, dadanya seketika terasa berat dan sesak. Tiga tahun, ya, tiga tahun sudah berlalu. Tak pernah ada yang tahu ke mana nona kedua dari keluarga itu menghilang. Polisi sendiri telah menutup kasusnya dan menganggap nona kedua keluarga itu telah tewas tanpa jejak. Bahkan sampai hari ini dia tak pernah tahu siapa yang melakukan hal keji serapi itu pada Stefani Wilson.
Dominic tertawa mengejek kemudian melemparkan kata-kata yang cukup kasar, “Orang mati merayakan ulang tahun?”
‘Orang mati? Tapi perasaanmu tak pernah mati, Tuan Muda Davis.’
‘Berpura-pura acuh dan dingin di depanku sama sekali tak berpengaruh apa pun. Kau tak pernah bersikap baik pada Nyonya Muda, semua karena gadis yang dikabarkan telah tewas tanpa jejak itu, kan?’
Rasanya Daniel ingin menertawakan kalimat Dominic barusan, tapi dia tak berani. Dia masih mencintai diri dan nyawanya.
“Jadi apa perlu kutolak undangan mereka?”
Dominic mengangkat tangannya. “Tidak perlu, aku akan datang.”
‘Benar saja, kau masih mencintainya.’
Daniel geli mendengar kepura-puraan dalam nada bicara Dominic barusan.
“Jam delapan?” ulang Dominic.
“Benar jam delapan. Saat Anda telah menyelesaikan semua pekerjaan Anda, aku akan mengantar Anda langsung ke Wilson Manor, ok?”
Dominic mengangguk, kemudian kembali menatap beberapa lembar dokumen yang ada di depannya. Tangannya terangkat di udara, kemudian membuat beberapa gerakan, meminta Daniel keluar dari ruangannya.
Jika saja kejadian tiga tahun lalu tak pernah terjadi, kisah cintanya tak akan pernah berakhir pada gadis yang salah.
Stella adalah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya. Kenapa dia harus menyetujui keluarganya untuk menikahi Stella?
Dia tak pernah mencintai Stella, sama sekali. Bahkan 0,001% pun tak pernah ada di hatinya.
Stefani yang manis, manja, lembut, dan selalu penuh cinta ketika berbicara dengannya, disertai tingkahnya yang menggemaskan, adalah satu-satunya gadis yang selalu berada di pikirannya.
Mengapa terlalu bodoh.
Dia tak bisa membantah.
Tak bisa menolak.
Saat dia menyadarinya, semuanya sudah terlambat. Hanya ada satu kata yang bisa dipikirkannya.
Perceraian!
Di kediaman pribadi Dominic. Stella mengeluarkan semua pakaian yang dibelinya sendiri dan memasukkannya ke dalam koper. Beberapa pakaian yang pernah dibelikan Dominic, tak disentuhnya sama sekali.
Satu set perhiasan mahal yang pernah dibelikan Dominic sebagai hadiah pernikahan mereka diletakannya di dalam kamar. Stella mendengus kasar, dadanya terasa sakit.
Baru tiga tahun, terasa singkat.
Seperti biasa, dia tak bisa menolak permintaan Dominic. Apa pun yang diinginkan laki-laki yang tak pernah mencintainya selalu diturutinya.
Kate berada di ambang pintu, melihat gadis itu berdiri seraya menatap ke arah koper yang telah berdiri rapi di samping tempat tidur. Hati kecilnya ingin menahan Stella, tapi dia tak bisa berbuat apa pun, dia hanya seorang kepala pelayan di sana.
“Nyonya Muda,” panggil Kate. Berusaha tersenyum, gurat kegusaran tercetak jelas pada wajah Stella, meski dia berusaha memberikan senyumnya.
“Ada apa, Bibi Kate?”
“Anda mau pergi?”
Stella mengangguk pelan, kemudian menunduk dalam, digigitnya bibir bawah, gadis itu selalu seperti itu ketika dia merasa bingung.
“Anda tak ingin berusaha lebih lagi, untuk mendapatkan hati Tuan Muda?”
“Buat apa aku mendapatkan kembali? Sejak awal aku tak pernah memiliki hati itu. Tolong sampaikan, lusa aku akan segera mengurus perceraian. Dia akan segera mendapatkan kebebasannya.”
“Nyonya—“
“Semoga di kehidupan selanjutnya, aku tak perlu lagi bertemu dengannya atau memiliki perasaan untuknya. Sudah cukup di satu kehidupan,” ucap Stella tak membiarkan Kate menyelesaikan kalimatnya.
Perlahan Stella menarik koper miliknya, berjalan menjauhi Kate dan keluar dari kamar, lalu menuruni anak tangga.
Setelahnya suara langkah kaki tak lagi terdengar digantikan suara pintu yang ditutup cukup kencang.
Dia sudah pergi.
Telepon genggam Stella berbunyi, sebuah nama di layar ponselnya membuatnya tersenyum tipis sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Ruby? Ada apa?”
Ruby dan Dylan, adalah sahabat satu-satunya yang dimiliki Stella. Saat dia sekolah dulu, tak banyak teman yang dimilikinya. Mereka menjauhinya, karena saat itu tak ada yang dianggap mereka menarik dalam diri Stella.
“Stella, bagaimana keadaanmu? Aku dan Dylan sudah lama tak bertemu denganmu, apa kau ada waktu hari ini?”
“Ya, kalian mau bertemu di mana. Tapi aku harus mencari tempat tinggal baru terlebih dahulu, setelah itu baru bisa menemui kalian, bagaimana?”
Mencari tempat tinggal baru?
Kalimat Stella barusan membuat Ruby terdiam untuk sesaat.
Setahunya, Stella sudah hidup bahagia bersama Dominic. Bukankah keduanya telah menikah, dan Stella dibawa oleh laki-laki itu tinggal bersamanya tiga tahun yang lalu. Lalu kenapa sekarang Stella perlu mencari tempat tinggal baru?
Apa yang terjadi di antara kedua pasangan suami isteri itu?
Ruby ingin bertanya lebih banyak, tapi dia menahannya. Tampaknya tak etis untuk menanyakan sesuatu yang mungkin sangat pribadi bagi Stella, melalui telepon.
Biar saja, dia akan menanyakannya begitu ketiganya bertemu secara langsung. Pasti Stella akan banyak bercerita padanya, dia yakin akan hal itu. Sahabatnya tak pernah menyembunyikan apa pun darinya.
“Hm, sepertinya kau ingin bercerita banyak nantinya?” ujar Ruby.
“Mungkin, aku akan mengabari kau dan Dylan. Saat ini aku sedang berada di taksi, menuju Town Square untuk mencari apartemen murah untuk sementara. Aku akan memberitahumu dan Dylan lokasi baruku. Sampai ketemu nanti, Ruby,” jawab Stella, lalu mengakhiri pembicaraan keduanya dengan cepat.
Beberapa jam kemudian Dominic telah kembali ke rumah besar miliknya yang berada di pusat kota, di mana selama tiga tahun Stella tinggal bersamanya dengan perasaan sakit yang selalu ditahannya.
Bagaimana bisa, Dominic tak mampu melupakan seseorang yang telah mati bertahun-tahun dan tetap mengingatnya seakan gadis itu masih hidup, dan mengganggu kehidupan rumah tangga mereka.
Bagi Dominic, Stefani adalah cinta pertamanya. Seandainya saja saat itu Stefani tak pernah menghilang secara tiba-tiba, tak mungkin dia akan melakukan kesalahan dengan menikahi Stella, yang jelas-jelas tak pernah dicintainya sama sekali.
Sampai hari ini pun, Dominic masih menyuruh orang untuk mencari di mana mayat Stefani, meski tiga tahun telah berlalu, tak ada informasi yang jelas yang didapatkannya. Tapi tak sedikit pun dia merasa putus asa.
“Bibi Kate!” panggil Dominic pada wanita tua yang telah bekerja pada keluarganya selama puluhan tahun itu.
Tergesa Kate keluar dari arah belakang, kedua tangannya diusapkan ke arah celemek, rupanya dia baru saja menyiapkan masakan untuk para karyawan lain yang ada di rumah besar itu.
“Ada apa Tuan Muda?”
“Aku tak mendengar suara perempuan itu, biasanya dia yang membukakan pintu dan begitu gembira menyambutku di sana, tapi ke mana dia?” tanya Dominic yang merasa aneh karena Stella tak menyambutnya di depan pintu masuk sepeti biasanya.
“Nyo-Nyonya Muda ....”
“Ada apa dengan Nyonya Muda?”
“D-Dia sudah pergi, Tuan Muda. Beberapa jam yang lalu, Nyonya Muda pergi dengan membawa sebuah koper besar,” jawab Kate. Ekspresi wajahnya begitu takut melihat Dominic menatapnya dengan tajam, wajahnya seakan diselimuti oleh awan gelap, membuat wajah tampan Dominic terlihat sangat menakutkan.
“Siapa yang menyuruhnya untuk pergi, Bibi Kate?” tanya Dominic sembari mendekatkan wajahnya ke arah wajah Kate. Suara itu memang terdengar tenang, tapi terasa seperti sebuah belati yang siap menusuk kapan saja.
“Se-sepertinya Nyonya Muda yang memutuskan sendiri untuk pergi, Tuan.”
“Jadi begitu? Apa dia mengatakan ke mana dia akan pergi?”
Kate menggeleng.
Ketika pergi, Stella tak mengatakan apa pun, bahkan Kate tak sempat bertanya lebih banyak. Wanita itu dengan raut wajah yang menyedihkan, pergi menyeret sebuah koper besar dengan perasaan hancur dan tak bisa dikatakan dengan kalimat apa pun.Tubuhnya kurusnya terlihat sangat, sangat menyedihkan. Bahkan ketika dia pergi meninggalkan mansion, dia tak menoleh sedikit pun, seakan mantap dengan langkahnya untuk melupakan semua kenangan yang pernah ada di rumah besar itu.Lalu apa yang bisa dilakukan Kate untuk menahannya?Dia hanya seorang kepala pelayan yang tak memiliki kuasa apa pun.“Maafkan saya,” ujar Kate lemah.Dominic hanya mengangguk, kemudian berjalan melewati Kate dengan wajahnya yang suram. Dominic melepaskan jas miliknya, lalu menyerahkan pada Kate.Dia tak pernah berpikir jika Stella berani untuk membuat keputusan seperti itu, pergi meninggalkannya di saat dia tak berada di rumah.Dominic berjalan ke arah kamar di mana Stella selalu tidur. Dibukanya pintu kamar dengan tenang
Stella tertawa sinis ketika mendengar Dominic mengucapkan kalimat barusan. Mematahkan kedua kakinya? Apa semudah itu! “Dominic Anderson, apa kau mau mengotori kedua tanganmu dengan mematahkan kedua kakiku menggunakan tanganmu sendiri? Untuk berdekatan denganku saja, kau merasa malu dan jiik seperti melihat kotoran. Lalu sekarang kau bilang—“ “Diam! Kau turuti perintahku, atau jangan salahkan aku jika berbuat kasar padamu, Mary!” Stella tahu jika Dominic serius pada setiap ucapannya. Tapi kali ini tak ada rasa takut sedikit pun di dalam dirinya. Justru dia menganggap kelakuan Dominic sangat lucu dan konyol. Stella mendengus, lalu sekali lagi dia tertawa cukup keras. “Kau mau berbuat kasar? Apa selama ini, kau tak cukup berbuat kasar padaku? Kau selalu berbuat kasar, Tuan Muda Anderson. Sudah cukup, aku sudah memutuskan hari ini adalah hari terakhir aku mau bersamamu. Setelahnya, aku akan memintamu untuk menjauh dari kehidupanku!” Dominic benar-benar dibuat jengkel dengan perkat
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ruby dan Dylan pun tiba di apartemen Stella. Beberapa kali Ruby menekan tombol bel, tapi belum juga ada jawaban.“Coba saja kau hubungi nomornya,” ucap Dylan.Ruby memberikan sekotak kue pada Dylan yang dibelinya sebelum dia tiba di apartemen Stella. Sama saja, Stella mengabaikan panggilan telepon dari Ruby.Apa dia sedang pergi?Atau tertidur di dalam?“Menurutmu, ke mana dia?” tanya Dylan.Merasa jengkel, Ruby tak lagi menekan bel pintu tapi menggedornya dengan kasar. Sedangkan di dalam ruangan, Stella memang tertidur. Begitu mendengar suara gedoran pintu yang sangat kasar dan kencang, kedua matanya langsung terbuka dalam sekejap.Stella meraih ponsel yang tergeletak di ujung kakinya, lalu mengecek beberapa panggilan masuk dari Ruby, dan sebuah pesan yang mengatakan, jika Stella tak membukakan pintu, maka Ruby akan membobol pintu dengan paksa.Stella melompat dari tempat tidur, lalu berlari cepat ke arah pintu.“Hei!” seru Stella ketika membuka pint
Dylan dan Ruby menemani Stella ke sebuah pusat perbelanjaan yang berada di pusat kota. Stella yang terlihat sederhana pada penampilannya, membuat beberapa pasang mata melirik ke arahnya dan menatap dengan tatapan menghina.Stella tak ambil pusing, dia memiliki cukup uang untuk membeli apa pun yang ada di dalam mall tersebut.“Aku dengar, mall ini merupakan milik salah satu orang terkaya nomor tiga di Kota Greenford, apa itu benar?” tanya Stella pada Dylan yang tak begitu menanggapi pertanyaannya, karena sibuk membalas pesan di ponsel miliknya.“Iya, kalau tidak salah namanya Christine Jones. Dia tak lama lagi akan mengadakan acara ulang tahun besar-besaran di sebuah hotel mewah. Aku yakin, Dominic—suamimu—pasti turut diundang olehnya. Aku dengar, dulu sekali Christine menaruh hati pada Dominic,” goda Ruby seraya melirik Stella, ingin melihat reaksi gadis itu.Tapi sayangnya, Stella seakan tak peduli apa yang mau diperbuat oleh Dominic. Meski dia mencintai Dominic setengah mati, tapi D
Stella berdiri mematung, enggan untuk menoleh ke belakang, karena dia mengenal dengan baik suara yang baru saja didengarnya itu. “Hei, kamu gila?” pekik Maggie yang melihat satu tangan puteri kesayangannya dipuntir oleh seorang pria. Tak ada yang berani bersuara, mereka mengenal dengan betul siapa pria yang saat ini berada di toko pakaian itu. Stella berbalik dan menatap dengan tajam pria yang saat ini masih belum melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elise. “Tuan Muda Anderson Yang Terhormat, buat apa kamu berada di sini?” tanya Stella. Dia tak mengerti bagaimana bisa Dominic bisa berada di dalam toko, dan baru saja dia membantu Stella, sehingga pot kaca itu tak mengenai kepalanya? Apakah ada seorang malaikat yang hinggap di bahu kanan Dominic, sehingga pria itu menjadi agak jinak dan baik padanya? Tapi tunggu .... “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Stella mengulang kembali pertanyaannya. Dominic menyentak tangan Elise, lalu beralih pada Stella. Dia menarik dengan kasar
Setelah Dominic selesai membelikan sebuah gaun pada Stella, mereka pun keluar dari pusat perbelanjaan. Saat tiba di parkiran, Dominic menatap Stella, seumur-umur, selama tiga tahun mereka bersama, pria itu tak pernah mengijinkan Stella untuk duduk di dalam mobilnya. Dominic menatap Stella dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu dia berkata, “Sebaiknya kamu naik taksi saja. Aku sudah memberikan banyak uang padamu, jadi kamu naik taksi. Ingat, tujuanmu ke mansion, bukan kembali ke apartemen sempitmu!” “Kamu masih merasa jijik untuk satu mobil denganku? Lalu kenapa tadi kamu memintaku untuk menggandengmu?” Dominic seperti seekor tikus yang tertangkap basah, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya ke arah lain menghindari tatapan dari Stella padanya. “Sampai rumah, aku akan membersihkan diri,” ucap Dominic ketus, membuat perasaan Stella sakit mendengarnya. Selama bertahun-tahun, Dominic selalu menghujamnya dengan kata-kata yang sangat pedas, bahkan tak peduli saat Stella mengeluar
Stella berusaha menendang Dominic yang semakin kesetanan, tatapan Dominic berubah, tak lagi dingin, tapi ... tatapan itu adalah tatapan penuh gairah. Stella tak bisa berkutik ketika Dominic menangkap kedua kakinya dan mencengkramnya dengan kencang, membuat Stella meringis menahan sakit.“Dominic, lepaskan aku!” teriak Stella. Meski dia mencintai Dominic dengan separuh jiwanya, dia tak bisa menerima perlakuan Dominic yang begitu kasar padanya saat ini. Pria itu mulai menggila.Pakaian yang dikenakan Stella koyak tak berbentuk, bahkan rok yang dikenakannya pun sobek di beberapa bagian akibat ulah Dominic.Pria itu mencekik leher Stella, dan berkata, “Melepaskanmu, Sayang? Apakah aku harus menurutinya?”“Aku ... sudah menurutimu, lalu apa lagi yang kau inginkan dariku, Dominic Anderson? Katakan!” seru Stella tak kuasa menahan rasa sakit di bagian leher.“Kau benar-benar ingin bercerai dariku? Apa karena kau ingin bersama pria yang tadi bersamamu di mall? Jawab, Bajingan!” maki Dominic de
Dominic melenguh panjang, selesai menuntaskan hasrat dan kemarahan dalam dirinya. Stella beringsut menjauh dari tubuh Dominic, lalu mendekap kedua kakinya di depan dada. Tatapan kebencian terlihat dari kedua bola mata indah Stella. “Kau ... aku menyesal, karena pernah mencintaimu, Dominic Anderson!” seru Stella terisak, bahu bergetar, tatapan itu semakin dalam, dan menusuk. Dia tak pernah berharap, Dominic meminta hak dengan cara brutal. Dia tak tampak seperti pemerkosa tanpa hati, ketimbang sebagai seorang suami! “Kau pikir, aku peduli?” balas Dominic, dengan tatapan sekelam malam. Seringan tajam terlukis tipis di wajah tampan Dominic. Dia bangkit turun dari tempat tidur, meraih kemeja yang berada di lantai, lalu memakainya. Dia menoleh sedikit, melihat tubuh Stella yang masih bergetar. Lalu kedua matanya terpaku pada satu titik noda darah yang ada di atas seprei berwarna krem. Hatinya terasa dicubit melihat noda darah itu, tapi apa pedulinya? Dia sudah mendapatkan segalanya, dan