Ketika pergi, Stella tak mengatakan apa pun, bahkan Kate tak sempat bertanya lebih banyak. Wanita itu dengan raut wajah yang menyedihkan, pergi menyeret sebuah koper besar dengan perasaan hancur dan tak bisa dikatakan dengan kalimat apa pun.
Tubuhnya kurusnya terlihat sangat, sangat menyedihkan. Bahkan ketika dia pergi meninggalkan mansion, dia tak menoleh sedikit pun, seakan mantap dengan langkahnya untuk melupakan semua kenangan yang pernah ada di rumah besar itu.
Lalu apa yang bisa dilakukan Kate untuk menahannya?
Dia hanya seorang kepala pelayan yang tak memiliki kuasa apa pun.
“Maafkan saya,” ujar Kate lemah.
Dominic hanya mengangguk, kemudian berjalan melewati Kate dengan wajahnya yang suram. Dominic melepaskan jas miliknya, lalu menyerahkan pada Kate.
Dia tak pernah berpikir jika Stella berani untuk membuat keputusan seperti itu, pergi meninggalkannya di saat dia tak berada di rumah.
Dominic berjalan ke arah kamar di mana Stella selalu tidur. Dibukanya pintu kamar dengan tenang, tak ada yang berubah pada isi di dalam kamar.
Seprei terlihat rapi seperti semula, bahkan seprei yang dipasang adalah seprei di mana Stella pertama kali datang ke rumah itu, sekarang kamar itu terlihat seperti tak pernah memiliki penghuni sebelumnya.
Dominic bergerak mendekati lemari, diperhatikannya pakaian-pakaian yang pernah dibelikannya untuk Stella, terlipat rapi di dalam lemari, seperti sediakala. Kotak perhiasan yang pernah diberikannya untuk Stella sebagai hadiah pernikahan berada di dalam laci, semuanya utuh. Kartu black card yang diberikannya pada Stella, juga tergeletak rapi di dalam kotak perhiasan. Buku tabungan, segalanya tak ada yang dibawa oleh perempuan itu.
Stella hanya membawa semua rasa sakit yang mengendap di dalam hatinya selama tiga tahun ini, dan itu sudah lebih dari cukup untuk menyudahi segalanya, daripada berlarut-larut dalam kekecewaan yang semakin mendalam.
“Kau kira, semudah itu pergi dariku, Stella?” gumam Dominic dengan sesungging senyum licik di bibirnya.
Dia tak mencintainya.
Dia tak menginginkannya.
Tapi dia tak ingin melepaskannya?
Bukankah tadi dia begitu menginginkan perceraian?
Dominic mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana.
Dominic :
‘Jadi kau sudah pergi, Stella?’
Lama ditunggunya, Stella tak kunjung membalas pesan yang dikirimkan Dominic padanya. Kali ini raut wajahnya berubah menjadi raut kekesalan.
Dominic :
‘Jadi kau memutuskan untuk pergi dari hidupku, Stella? Kau kira, semudah itu untuk melepaskan diri dariku?’
Masih belum mendapatkan balasan apa pun. Tatapan Dominic yang dingin seakan mampu masuk ke dalam layar ponsel. Dominic menggertakkan giginya, dan mengumpat dengan pelan.
Dominic :
‘Stella, kuberi kau waktu sampai tengah malam untuk kembali ke mansion. Jangan menguji kesabaranku, Stella. Akan kucari dan kubunuh kau, jika sampai tengah malam, kau belum juga kembali padaku!’
Stella mengacuhkan semua pesan masuk yang diterimanya dari Dominic. Saat ini yang ada di pikirannya, dia ingin menyelesaikan segalanya. Dia tak ingin lagi perasaan cinta sepihak yang dirasakannya pada Dominic, perlahan membunuhnya.
Stella telah sampai di Town Square. Bergegas dia menarik koper besar miliknya, dan melangkah dengan mantap masuk ke area elit tersebut. Banyak gedung-gedung besar perkantoran, mall-mall, dan bangunan lainnya. Stella tahu sebagian dari aset di Town Square setengahnya dikuasai oleh keluarga Dominic.
Laki-laki itu adalah seseorang yang sangat pintar dan selalu diandalkan oleh keluarga besarnya.
Saat dia dan Dominic menikah, dia ingat dengan jelas hanya Si Tua Darren—kakek dari Dominic—yang menyetujui dan ikut berbahagia dengan pernikahan keduanya.
Bahkan keluarga angkatnya sendiri terlihat kurang menyukai saat Dominic dan Stella menikah, mereka terpaksa menyetujui Stella menggantikan posisi Stefani saat itu karena Stefani menghilang di saat acara pertunangannya dengan Dominic.
Sedangkan saat itu media massa dan seluruh kota telah mengetahui jika putera sulung Keluarga Anderson akan menikah setelah acara pertunangan, jika saja Stella tak menggantikan posisi adik angkatnya itu, maka seluruh keluarganya akan mengalami kesulitan di kota.
Dominic dengan mudah meratakan kehidupan perekonomian Keluarga Wilson, dan Stella tak ingin hal itu terjadi!
Stella merasakan getaran di tas selempang miliknya, ponselnya sudah berkali-kali bergetar, dan dia sengaja memasang mode getar, karena kali ini dia sedang tak ingin diganggu.
Tapi ponselnya tak kunjung berhenti, bahkan getara konstan itu terus dirasakannya.
Dengan enggan dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas ranselnya, dan seperti biasa nama Dominic ada di layar.
“Ada apa Tuan Muda Anderson?” tanya Stella dengan nada dingin pada suaranya.
“Kau sudah baca pesan yang aku kirimkan?” tanya Dominic tak kalah diinginnya. Dominic benar-benar berang begitu mengetahui Stella mengangkat teleponnya dengan nada sinis.
Perempuan itu sangat menyebalkan di mata Dominic.
Dia tak habis pikir, kenapa dulu dia menyetujui keputusan gila dari Si Tua Bangka Anderson untuk menikahi Stella. Lebih parahnya lagi Tuan Besar Tua Anderson menyukai perempuan itu, bahkan berkata jika Stella jauh lebih baik dari Stefani.
“Tentu saja aku sudah membacanya,” jawab Stella santai seakan tak ada beban. Meski dia tahu, jika saat ini Dominic berdiri di hadapannya, Dominic akan habis-habisan memakinya seperti sedang memaki seorang pelayan.
“Kau kembali sekarang juga!”
“Kalau aku tak mau, apa yang akan kau lakukan, Tuan Muda Anderson?” tanya Stella dengan pertanyaan yang sangat menantang dan memancing emosi Dominic.
“Aku akan menyuruh orang untuk menyeretmu kembali ke mansion. Kau pergi tak berpamitan denganku?”
“Apakah saya harus berpamitan, sedangkan selama tiga tahun ini Anda menganggap saya tak pernah ada. Saya ada atau pun tidak di dalam rumah itu, apakah membuat Anda kehilangan? Saya rasa tidak, Tuan Muda Anderson!” seru Stella.
Jauh di hati kecilnya, Stella tak pernah bisa meninggalkan Dominic. Rasa cinta yang ada selama tiga tahun ini, adalah sebuah yang cinta yang sebenarnya.
Dominic memintanya kembali ke rumah?
Rasanya tak mungkin laki-laki itu merasa kehilangan dirinya yang selama ini tak pernah terasa istimewa di mata suaminya itu.
“Hmmm.” Dominic bergumam.
“Ada lagi yang ingin Anda katakan?”
“Kau benar-benar tak patuh padaku?”
“Dengan ancaman Anda yang mengatakan Anda akan membunuh saya, jika saya tidak kembali ke rumah? Apa yang perlu saya takutkan? Saya tahu Anda memiliki kekuasaan tanpa batas, tapi saya bukan budak Anda yang bisa Anda perlakukan semau Anda. Paham?”
“Kau—“
Dominic semakin berang mendengar kata-kata Stella yang sangat tajam. Kedua tatapan Stella saat ini benar-benar tajam dan menakutkan seakan hanya dengan menatap, dia mampu membuat orang lain mengejang dan mati di tempat.
“Kalau begitu kuijinkan kau pergi setelah kau menemaniku jam delapan malam ini ke rumah Keluarga Wilson,” ujar Dominic penuh percaya diri.
Setidaknya saat dia datang ke acara ulang tahun mendiang Stefani, dan tentunya dia yakin keluarga besarnya pun akan datang, jadi tak ada salahnya dia menjaga image dengan berpura-pura rukun dengan Stella.
Jika dia tak bisa memperlihatkan kerukunan di depan Pak Tua Anderson, mungkin lelaki tua berusia 75 tahun itu pasti akan merutuknya dengan segala sumpah serapah. Laki-laki itu tak pernah mau untuk dilawan, dan siapa pun yang berusaha melawannya, dipastikan akan angkat kaki dari Manor milik keluarga besar.
“He-eh? Kau memintaku menemanimu? Apa kau tak jijik berdekatan denganku?”
“Bisa kah kau menutup mulutmu dan mengikuti apa yang aku pinta, Stella Wilson Yang Terhormat?” sindir Dominic.
“Tentu saja Tuan Muda Anderson Yang Agung! Tapi sesuai kata-katamu, setelah acara selesai, biarkan aku pergi.”
“Kenapa kau begitu ingin pergi dari sisiku, Stelly?”
‘Stelly’ panggilan kecil Stella diucapkannya dengan sangat lembut, seakan dia begitu mencintai dan menyayangi Stella. Padahal Stella sadar, tak ada rasa apa pun di dalam hati laki-laki yang dingin itu.
Di dalam hatinya hanya ada satu nama.
Bahkan jika dia terpaksa harus mengambil hati itu dari tubuh Dominic, tetap saja Dominic akan memindahkan nama tersebut ke tempat lain di dalam dirinya.
“Karena kau menginginkannya,” jawab Stella.
“Aku memang ingin bercerai denganmu, tapi apa aku pernah mengatakan setelah itu kau bisa pergi dari sisiku, Stella?”
“Benarkah? Bukankah tadi pagi kau bilang, kau akan merelakan aku pergi dari sisimu?”
“Aku meralatnya. Kau tak akan bisa pergi dari sisiku tanpa seijinku!”
“Peduli setan, Dominic! Setelah urusan malam ini selesai, aku akan meninggalkanmu!” maki Stella.
Terdengar desah frustasi Dominic di seberang sana.
Stella tak mengerti, apakah Dominic memiliki gangguan psikologis atau ada penyebab lain yang bisa mengubah suasana hati semaunya?
“Silakan, jika kau bersikeras pergi maka aku akan mematahkan kedua kakimu!”
Keesokan harinya, Stella diperbolehkan dokter untuk meninggalkan rumah sakit, dan menjalani perawat rumah. Dia terpaksa mengambil cuti beberapa hari di tempatnya bekerja, tidak mungkin memaksakan diri dengan tetap bekerja dalam kondisi tubuh yang benar-benar rentan.Ia sudah membaca pesan yang dikirimkan Dominic padanya, jika menerima tawaran Dominic, sama saja dia akan masuk kembali ke dalam sebuah perangkap yang membuatnya terjebak di dalam neraka bernama ‘cinta’. Saat kembali, hanya Dylan yang menemaninya di apartemen, Ruby telah mengatakan pada kedua orang itu, jika dia tidak bisa mengantar Stella pulang, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan Ruby.Sesampainya di depan pintu, Dylan tidak bisa mengantar Mari sampai ke dalam ruangan. Dia harus bergegas pergi, ada sesuatu yang harus dikerjakannya. Beberapa klien di perusahaannya sedang menunggu untuk mengadakan rapat hari ini. Ada rasa berat di dalam dada Dylan, untuk meninggalkan wanita yang begitu dikasihinya seorang d
Stefani terisak di dalam dekapan Dominic, berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri, mengatakan jika dirinya benar-benar bodoh dan terlalu murahan. Hanya untuk membuat Dominic merasa bersalah pada dirinya. Seandainya Dominic tahu, wanita yang berada di dalam dekapannya, adalah iblis dari segala iblis, tentu dia akan memilih untuk tidak pernah mengenal Stefani lagi selamanya.Saat sedang mendekap Stefani, tiba-tiba saja pikiran Dominic terbagi pada Stella. Tidak sedikit pun dia memikirkan mengenai Stella saat ini, semua terjadi begitu tiba-tiba. Stella yang menatap dengan tajam ke arahnya, lalu dengan kasar mengusir dari dalam ruangan, semua kembali berputar pada ingatannya.Apa mungkin ... dia sedang merasakan sebuah penyesalan? Lalu Dominic tidak menyadarinya?“Apa yang sedang kau pikirkan, Dominic?” tanya Stefani seraya mengusap wajah Dominic. Tidak biasanya Dominic terlihat murung saat bersamanya! Pikir Stefani saat itu.“Aku sedang memikirkan Stella,” jawab Dominic jujur. Membuat
“Keluar!” seru Stella sekali lagi seraya menunjuk ke arah pintu dengan jari telunjuk. Dia tidak memedulikan jika akan dimarahi oleh perawat atau pun dokter.Hatinya belum juga lega meski dia telah mengusir Dominic dari dalam ruangan. Dia takut setelah dia keluar dari rumah sakit, pria yang dianggapnya setengah waras itu akan kembali menghampirinya, dan berbuat nekat.‘Dominic, Dominic, di saat aku mencurahkan seluruh perasaanku padamu, kau justru mengingkari kehadiranku di sisimu. Saat aku ingin menjauh dan melepaskan, kenapa kau bersikeras ingin bertahan? Ini bukan perasaan cinta, tetap kau menganggapku hanya sebagai barang!’ ucap Stella dalam hati dengan penuh penyesalan, Seandainya dia menolak untuk menggantikan Shania, dia tidak perlu merasakan cinta pada Dominic yang berakar begitu dalam seperti saat ini!Tidak lama setelahnya Stella dipindahkan ke ruang perawatan. Bersamanya, di dalam ruangan ada satu orang pasien lain. Setidaknya, dia bersyukur jika Dominic masih bersikeras in
“Jika ada hal buruk yang saya dapatkan setelah pemeriksaan, dokter harus tahu, saya akan mempertahankan kandungan saya apa pun resikonya,” kata Stella sekali lagi dengan memberi penekanan pada dokter. Dia berkata seperti itu, seakan memiliki firasat, sedangkan pemeriksaan sendiri belum dilakukan.Dokter yang menangani Stella hanya bisa terdiam begitu mendengarkan kata-kata Stella. Wanita berusia 23 tahun terlihat begitu serius pada kalimat yang diucapkannya, membuat dokter menjadi bingung. Di satu sisi, pria yang berada di luar ruangan adalah suaminya, jika dokter harus berbohong, lalu di kemudian hari terjadi sesuatu, yang akan disalahkan nantinya bukanlah pihak pasien, melainkan pihak rumah sakit, dianggap melalaikan kewajibannya.“Saya tidak tahu harus berbicara apa, Nyonya Stella. Memangnya kenapa Anda tidak ingin memberitahukan pada suami Anda mengenai masalah ini? Apa yang Anda khawatirkan?” tanya dokter mencoba mengorek keterangan lebih dalam pada Stella.Stella mencengkram tan
Dominic mengangguk dan setengah berlari membawa tubuh Stella masuk ke dalam rumah sakit. Sesampainya di depan pintu dia berteriak sekuat tenaga tanpa mempedulikan tatapan orang lain yang berada di ruangan tersebut, “Tolong, bantu istriku! Dia mengeluarkan darah!” Rasa sakit semakin mengiris-iris tubuh Stella. Dia benar-benar tidak berdaya dengan apa yang saat ini dirasakan. Seakan sekujur tubuh Stella pelan, pelan, tersayat oleh ujung pisau. Satu tangan Stella mencengkram kuat lengan Dominic. Dominic bisa merasakan kuku-kuku Stella menusuk lengannya, tetapi dia tidak menghiraukan rasa sakit akibat kuku-kuku Stella yang mencengkramnya. Jujur, dalam hati kecilnya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Stella. Meski dia sendiri tidak bisa mengerti perasaan yang sedang dirasakan oleh dirinya! “Stella, bertahanlah,” bisik Dominic. Seandainya saja perlakuan seperti ini diterima Stella jauh-jauh hari sebelumnya, sebelum Stella memutuskan untuk melepas Dominic, tentu dia masih bisa berusaha u
Rupanya Dominic melihat Stella yang membalikkan badan, batal untuk masuk ke ruangannya. Dia pun dengan geram memanggil Stella, seraya mempercepat langkahnya, “Stelly! Tunggu! Kau harus bicara denganku!”Dominic mengejar Stella, secepat apa pun langkah Stella untuk menghindari Dominic, tetap saja langkah Dominic jauh lebih cepat darinya. Stella berlari ke arah tangga darurat dan berlari menuruni anak tangga, sesekali dia melompati dua ruas anak tangga, dan lupa jika saat ini dia tengah mengandung anaknya dan Dominic? Dia benar-benar merasa cukup satu kali dia merasakan betapa menyakitkan perlakuan Dominic padanya, beberapa waktu yang lalu. Dia sadar, pria yang pernah tinggal bersama satu atap dengannya bukanlah pria yang memiliki hati seperti orang lainnya!“Stelly! Berhenti!” Dominic kembali meneriakkan nama Stella. Dia semakin mempercepat langkahnya membuat Stella cukup kesulitan untuk menyeimbangi langkah kakinya. Tidak lama kemudian, Stella merasa ada sesuatu yang sangat menyak