Share

Bab 4. Akan Bercerai Jika ....

Stella tertawa sinis ketika mendengar Dominic mengucapkan kalimat barusan.

Mematahkan kedua kakinya?

Apa semudah itu!

“Dominic Anderson, apa kau mau mengotori kedua tanganmu dengan mematahkan kedua kakiku menggunakan tanganmu sendiri? Untuk berdekatan denganku saja, kau merasa malu dan jiik seperti melihat kotoran. Lalu sekarang kau bilang—“

“Diam! Kau turuti perintahku, atau jangan salahkan aku jika berbuat kasar padamu, Mary!”

Stella tahu jika Dominic serius pada setiap ucapannya. Tapi kali ini tak ada rasa takut sedikit pun di dalam dirinya. Justru dia menganggap kelakuan Dominic sangat lucu dan konyol.

Stella mendengus, lalu sekali lagi dia tertawa cukup keras.

“Kau mau berbuat kasar? Apa selama ini, kau tak cukup berbuat kasar padaku? Kau selalu berbuat kasar, Tuan Muda Anderson. Sudah cukup, aku sudah memutuskan hari ini adalah hari terakhir aku mau bersamamu. Setelahnya, aku akan memintamu untuk menjauh dari kehidupanku!”

Dominic benar-benar dibuat jengkel dengan perkataan Stella di telepon. Dia tak bisa habis pikir, Stella yang selama ini dikenalnya selalu patuh pada setiap perkataannya, tiba-tiba dengan sangat tegas dan kurang ajar mampu melawannya?

“Jam delapan malam aku akan menjemputmu, jika kau tak mau kembali ke rumah. Katakan saja di mana lokasimu, aku akan ke sana nanti malam. Oh ya, aku mau kau berdandan yang cantik, kenakan gaun yang bagus, agar kau tak membuatku malu!”

“Aku tak mau membuang-buang uang yang kumiliki hanya untuk menyenangkan hatimu, aku sudah mengembalikan semua milikmu yang pernah kau berikan padaku. Jadi, malam ini sepertinya kau harus menerima penampilanku yang apa adanya, atau aku tak akan pernah pergi bersamamu!” balas Stella tak kalah sengitnya dari Dominic.

Seandainya Stella bisa melihat seperti apa raut wajah Dominic saat ini, pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Wajah Dominic benar-benar merah seperti sebuah tomat busuk!

Baru kali ini dia mendengar dengan sangat jelas, kalimat-kalimat penolakan terlontar dari mulut Stella.

Selama tiga tahun tinggal di satu atap, tak pernah satu kali pun Stella berani menentang, atau bahkan berbicara dengan nada membentak padanya.

Tapi hari ini?

Darimana semua keberanian yang dimiliki Stella?

‘Apa ada seseorang yang membuat Stella berani melawanku?’

‘Dia tak pernah berkata kasar, apalagi memakiku!’

Dominic membiarkan pikiran-pikiran itu berlari-lari di dalam otaknya. Dominic benar-benar dibuat jengkel oleh Stella. Dia tak pernah membayangkan jika Stella mampu melawannya hari ini, bahkan mengejeknya!

“Hei! Kau masih di sana, Tuan Muda Anderson?” tanya Stella yang mulai tak sabar untuk menutup telepon.

“Uhm, apa kau ada salah makan tadi pagi sebelum pergi meninggalkan mansion?”

“Hah? Salah makan? Aku saja belum makan sejak tadi!” maki Stella kali ini dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya, membuat Dominic menjauhkan ponselnya dari telinga.

“Aku tak mau panjang lebar, jam delapan kau harus sudah siap. Aku tak ingin kau membuatku malu datang ke keluargamu dengan penampilanmu yang seperti biasa, terlihat sangat norak dan memalukan!”

Dominic menutup telpon tanpa mengatakan apa pun setelahnya. Dominic benar-benar dibuat keheranan dengan perilaku Stella yang benar-benar berbeda 180 derajat dari sebelumnya.

Apa benar Stella sudah tak mencintainya lagi?

Jika benar, berarti ucapannya tadi untuk mengabulkan masalah perceraian, dia benar-benar akan melakukannya?

Banyak pertanyaan di dalam benak Dominic tapi tak ada yang bisa menjawabnya, kecuali jika dia masih memiliki nyali untuk kembali menghubungi Stella, dan membiarkan Stella membentaknya seperti tadi.

Stella sendiri mendapatkan sebuah apartemen berukuran studio dengan furniture yang lengkap di dalamnya. Stella membayar uang sewa untuk enam bulan ke depan dengan sisa uang yang dimilkinya di dalam tabungan.

Stella melempar koper besar miliknya ke atas tempat tidur, kemudian mengempaskan tubuhnya di atas ranjang.

Rasa berat karena harus berpisah dari Dominic terasa jelas di dalam dadanya. Tapi, laki-laki itu tak pernah menginginkannya, bahkan dia selalu merasa jika Stella adalah kuman yang harus dimusnahkan secepatnya.

“Dominic, melepasmu adalah yang terbaik bagiku. Aku tahu, selamanya Stefani akan selalu membayang-bayangi pikiranmu. Kurasa sebentar lagi kau akan menjadi laki-laki yang tak waras!” maki Stella pada sebuah bantal kepala, seakan bantal itu adalah wajah Dominic yang sangat menyebalkan!

Dia tak pernah bisa mengerti, dulu ketika Dominic masih bersama Stefani, wajahnya tak pernah dingin seperti saat bersamanya. Dominic mampu memberikan senyuman yang terlihat begitu hangt dan penuh kasih sayang pada Stefani.

Lalu ketika dia bersama Stella?

Laki-laki itu hanya bisa bersikap kasar, bahkan kata-kata yang diucapkannya pada Stella seakan tak pernah disaring terlebih dahulu. Entah berapa kali Dominic memakinya dengan kata-kata kasar, lalu menamparnya berkali-kali, dia tak pernan mengeluh dan tak pernah berhenti untuk mencintai laki-laki itu.

“Oh ya, aku harus menelepon Ruby dan Dylan, mereka pasti akan menunggu kabar dariku,” ujar Stella.

Dia sudah berjanji pada Ruby untuk memberikan lokasi tempat tinggal barunya. Semenjak Stella menikah dengan Dominic, intensitas pertemuannya dengan kedua sahabat karibnya tak sesering dulu sebelum dia menikah.

Dominic terlalu banyak memberlakukan peraturan yang begitu kaku di dalam rumah tangganya. Sekali lagi dia tak bisa berkutik di depan pria yang sangat dicintainya itu.

“Ruby?”

“Stella, kau di mana sekarang?”

“Aku sudah di apartemen baru. Apa kau masih bersama Dylan saat ini, Ruby?” tanya Stella. Suaranya terdengar begitu gembira dan lepas, seakan tak pernah ada beban sebelumnya.

“Ya, aku masih bersama Dylan. Berikan aku lokasinya, kami akan datang membawakan makanan untukmu!”

“Ok.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau mencari tempat tinggal baru?”

“Kenapa? Aku akan menceraikan laki-laki setengah waras itu!”

Ruby tertawa mendengar yang baru dikatakan Stella padanya.

“Kau bisa menceritakan segalanya padaku nanti, Stelly. Aku akan segera ke sana bersama Dylan. Dia merindukanmu,” goda Ruby.

Stella tahu, Dylan pernah memiliki perasaan lebih padanya sebelum dia menikah dengan Dominic tiga tahun lalu.

Selama mereka bertiga masih sekolah, saat Stella menjadi korban ejekan kawan-kawan di sekolah, Dylan selalu membelanya. Saat itu tak ada yang menarik pada diri Stella. Tubuhnya kurus, tinggi, kulitnya terlihat pucat lebih pucat dari sebuah porselen, menggunakan gigi kawat, dan mereka mengganggap Stella adalah gadis yang membosankan.

Di mata Dylan, Stella adalah gadis yang sebaliknya. Meski saat itu Stella adalah seorang penyendiri dan jarang berbicara, dia selalu berusaha mendekati gadis itu dan berbicara dengan di perpustakaan maupun di taman sekolah.

Satu-satunya sahabat yang dimiliki Stella saat itu hanya Ruby, lalu Dylan menawarkan kebaikan dan selalu bersama Stella dan Ruby.

Sebenarnya Dylan cukup populer, tapi saat itu dia sadar, hatinya terperangkap pada sosok Stella.

Sekalipun Dylan tak mengungkapkan perasaannya pada Stella, gadis itu merasa perhatian yang diberikan Dylan padanya terlalu berlebihan, dia percaya diri jika Dylan menyukainya, dan kebenaran mengenai perasaan Dylan pun terlontar dari mulut Ruby.

Ponsel Stella berbunyi, menghentikan senyuman yang ada di bibirnya ketika dia sedang melamunkan masa lalunya saat dia masih sekolah dulu.

Dominic :

‘Jangan lupa usahakan berdandan yang cantik, aku tak mau kau memperlihatkan wajah jelekmu pada keluargaku nanti di acara ulangtahun Stefani. Kalau kau sampai mempermalukanku, aku tak segan menyakitimu!’

“Laki-laki itu hanya bisa mengancamku. Kurasa aku sudah gila mencintai laki-laki sepertimu!” maki Stella tepat di depan layar ponsel miliknya.

Stella :

‘Ok. Aku akan berdandan dengan sangat cantik. Karena ini permintaanmu, maka kirimkan aku sejumlah uang untuk membeli gaun yang mahal, dan biaya ke salon!’

Dominic :

‘Salah siapa meninggalkan black card yang kuberikan padamu? Sekarang kau membutuhkannya, kan? Sudah miskin, banyak tingkah!’

Stella benar-benar ingin melempar ponselnya begitu membaca balasan yang diterimanya dari Dominic. Bagaimana bisa laki-laki yang dicintainya ternyata adalah laki-laki yang tak memiliki hati, bahkan senang menghina dirinya.

Lalu ketika Stella mengatakan dia akan menceraikannya, lagi-lagi laki-laki itu membuat keputusannya sendiri, meski bercerai dia tetap harus berada di sampin Dominic?

Peraturan itu sepertinya tak pernah ada di hukum manapun!

Stella :

‘Kalau begitu jangan salahkan aku, jika aku mempermalukanmu’ [Emoticon senyum]

Stella mengirim balasan disertai emoticon senyum.

Dominic yang sedang berada di kamar dan duduk di sofa, sontak dibuatnya geram dengan balasan yang dikirimkan Stella padanya. Dia tak menyangka setelah keluar dari rumahnya, Stella mampu membalas dengan ketus setiap kalimatnya?

Apa gadis itu sudah bosan hidup?

Dominic menggertakkan giginya, rahangnya mengeras, ingin rasanya dia menggigit Stella jika saja gadis itu ada di hadapannya.

Stella :

‘Kau tak punya uang? Sudah jatuh miskin sampai begitu perhitungan padaku. Cepat kirimkan uangnya atau aku akan pergi ke acara itu dengan baju seadanya!’

Gertakan yang baru saja dikirimkan Stella melalui chat, membuat Dominic membuka m-banking miliknya dan segera mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadi milik Stella.

Sebuah pesan baru masuk ke ponsel milik Stella. Laki-laki itu tak membalas pesan terakhir Stella. Tapi ketika Stella membuka pesan yang baru saja masuk, kedua matanya terbelalak kaget. Tak percaya jika Dominic mengirimkan sejumlah uang yang lebih dari cukup hanya untuk membeli sebuah gaun dan perawatan ke salon.

'Transfer Dana : $1,500,000'

Dominic :

‘Wanita gila, sudah kukirimkan sejumlah uang. Kurasa lebih dari cukup. Sampai kulihat penampilanmu biasa saja, kupastikan kau harus mengganti uang itu 10x lipat!’

“Sinting! Aku ini masih istrinya, dan dia begitu perhitungan? Seharusnya tadi kubawa saja buku tabungan dan kartu yang diberikan Dominic padaku di awal pernikahan!”

Dominic :

‘Jam delapan aku akan menjemputmu ke apartemen!’

Stella mendengus kesal. Baru saja dia menemukan tempat baru, setidaknya dia berpikir dia bisa melepaskan diri dari masalah rumah tangganya dengan Dominic. Lalu, laki-laki yang tak pernah mencintainya itu terus memaksanya untuk membeli gaun, bersolek, ke salon, semua itu tak terlalu penting, dia hanya akan menjadi pajangan dan belum setelah itu Dominic bisa mencintainya, kan?

Stella melemparkan ponsel miliknya ke sudut ranjang, dia malas membalas pesan dari Dominic. Baru saja dia mau beristirahat, ponsel miliknya kembali berbunyi, dengan malas dia merayap ke sudut tempat tidur dan menatap ke layar ponsel.

Ruby meneleponnya!

“Ya?”

“Aku dan Dylan akan ke sana sekarang!” seru Ruby. Nada suara gadis itu terdengar sangat gembira.

Terakhir mereka bertemu sepertinya sudah sangat lama, Stella lupa, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Dominic tak terlalu menyukai gadis itu, setiap kali Ruby datang ke rumah mereka, Dominic akan merengut, wajahnya terlihat seperti orang yang menahan buang air besar selama berhari-hari.

“Aku tunggu!” jawab Stella tak kalah riangnya.

Benar-benar seperti seorang napi yang baru saja lepas dari tahanan dan menghirup kebebasan di luar.

Selama tiga tahun bersama Dominic, entah sudah berapa ratus malam dilewatinya sendiri, dengan perasaan sakit, dan menangis dalam kesendirian yang sering dilakukannya. Selama ini dia hanya berharap setidaknya Dominic memberikannya sedikit tempat di dalam hatinya, tak perlu banyak, dia hanya meminta seperempat ruang untuk ditempati dirinya.

“Jangan khawatir, Dominic. Setelah ini, kau bebas mencintai Stefani, atau mungkin kau bisa mati bersamanya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status