Stella tertawa sinis ketika mendengar Dominic mengucapkan kalimat barusan.
Mematahkan kedua kakinya?
Apa semudah itu!
“Dominic Anderson, apa kau mau mengotori kedua tanganmu dengan mematahkan kedua kakiku menggunakan tanganmu sendiri? Untuk berdekatan denganku saja, kau merasa malu dan jiik seperti melihat kotoran. Lalu sekarang kau bilang—“
“Diam! Kau turuti perintahku, atau jangan salahkan aku jika berbuat kasar padamu, Mary!”
Stella tahu jika Dominic serius pada setiap ucapannya. Tapi kali ini tak ada rasa takut sedikit pun di dalam dirinya. Justru dia menganggap kelakuan Dominic sangat lucu dan konyol.
Stella mendengus, lalu sekali lagi dia tertawa cukup keras.
“Kau mau berbuat kasar? Apa selama ini, kau tak cukup berbuat kasar padaku? Kau selalu berbuat kasar, Tuan Muda Anderson. Sudah cukup, aku sudah memutuskan hari ini adalah hari terakhir aku mau bersamamu. Setelahnya, aku akan memintamu untuk menjauh dari kehidupanku!”
Dominic benar-benar dibuat jengkel dengan perkataan Stella di telepon. Dia tak bisa habis pikir, Stella yang selama ini dikenalnya selalu patuh pada setiap perkataannya, tiba-tiba dengan sangat tegas dan kurang ajar mampu melawannya?
“Jam delapan malam aku akan menjemputmu, jika kau tak mau kembali ke rumah. Katakan saja di mana lokasimu, aku akan ke sana nanti malam. Oh ya, aku mau kau berdandan yang cantik, kenakan gaun yang bagus, agar kau tak membuatku malu!”
“Aku tak mau membuang-buang uang yang kumiliki hanya untuk menyenangkan hatimu, aku sudah mengembalikan semua milikmu yang pernah kau berikan padaku. Jadi, malam ini sepertinya kau harus menerima penampilanku yang apa adanya, atau aku tak akan pernah pergi bersamamu!” balas Stella tak kalah sengitnya dari Dominic.
Seandainya Stella bisa melihat seperti apa raut wajah Dominic saat ini, pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. Wajah Dominic benar-benar merah seperti sebuah tomat busuk!
Baru kali ini dia mendengar dengan sangat jelas, kalimat-kalimat penolakan terlontar dari mulut Stella.
Selama tiga tahun tinggal di satu atap, tak pernah satu kali pun Stella berani menentang, atau bahkan berbicara dengan nada membentak padanya.
Tapi hari ini?
Darimana semua keberanian yang dimiliki Stella?
‘Apa ada seseorang yang membuat Stella berani melawanku?’
‘Dia tak pernah berkata kasar, apalagi memakiku!’
Dominic membiarkan pikiran-pikiran itu berlari-lari di dalam otaknya. Dominic benar-benar dibuat jengkel oleh Stella. Dia tak pernah membayangkan jika Stella mampu melawannya hari ini, bahkan mengejeknya!
“Hei! Kau masih di sana, Tuan Muda Anderson?” tanya Stella yang mulai tak sabar untuk menutup telepon.
“Uhm, apa kau ada salah makan tadi pagi sebelum pergi meninggalkan mansion?”
“Hah? Salah makan? Aku saja belum makan sejak tadi!” maki Stella kali ini dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya, membuat Dominic menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Aku tak mau panjang lebar, jam delapan kau harus sudah siap. Aku tak ingin kau membuatku malu datang ke keluargamu dengan penampilanmu yang seperti biasa, terlihat sangat norak dan memalukan!”
Dominic menutup telpon tanpa mengatakan apa pun setelahnya. Dominic benar-benar dibuat keheranan dengan perilaku Stella yang benar-benar berbeda 180 derajat dari sebelumnya.
Apa benar Stella sudah tak mencintainya lagi?
Jika benar, berarti ucapannya tadi untuk mengabulkan masalah perceraian, dia benar-benar akan melakukannya?
Banyak pertanyaan di dalam benak Dominic tapi tak ada yang bisa menjawabnya, kecuali jika dia masih memiliki nyali untuk kembali menghubungi Stella, dan membiarkan Stella membentaknya seperti tadi.
Stella sendiri mendapatkan sebuah apartemen berukuran studio dengan furniture yang lengkap di dalamnya. Stella membayar uang sewa untuk enam bulan ke depan dengan sisa uang yang dimilkinya di dalam tabungan.
Stella melempar koper besar miliknya ke atas tempat tidur, kemudian mengempaskan tubuhnya di atas ranjang.
Rasa berat karena harus berpisah dari Dominic terasa jelas di dalam dadanya. Tapi, laki-laki itu tak pernah menginginkannya, bahkan dia selalu merasa jika Stella adalah kuman yang harus dimusnahkan secepatnya.
“Dominic, melepasmu adalah yang terbaik bagiku. Aku tahu, selamanya Stefani akan selalu membayang-bayangi pikiranmu. Kurasa sebentar lagi kau akan menjadi laki-laki yang tak waras!” maki Stella pada sebuah bantal kepala, seakan bantal itu adalah wajah Dominic yang sangat menyebalkan!
Dia tak pernah bisa mengerti, dulu ketika Dominic masih bersama Stefani, wajahnya tak pernah dingin seperti saat bersamanya. Dominic mampu memberikan senyuman yang terlihat begitu hangt dan penuh kasih sayang pada Stefani.
Lalu ketika dia bersama Stella?
Laki-laki itu hanya bisa bersikap kasar, bahkan kata-kata yang diucapkannya pada Stella seakan tak pernah disaring terlebih dahulu. Entah berapa kali Dominic memakinya dengan kata-kata kasar, lalu menamparnya berkali-kali, dia tak pernan mengeluh dan tak pernah berhenti untuk mencintai laki-laki itu.
“Oh ya, aku harus menelepon Ruby dan Dylan, mereka pasti akan menunggu kabar dariku,” ujar Stella.
Dia sudah berjanji pada Ruby untuk memberikan lokasi tempat tinggal barunya. Semenjak Stella menikah dengan Dominic, intensitas pertemuannya dengan kedua sahabat karibnya tak sesering dulu sebelum dia menikah.
Dominic terlalu banyak memberlakukan peraturan yang begitu kaku di dalam rumah tangganya. Sekali lagi dia tak bisa berkutik di depan pria yang sangat dicintainya itu.
“Ruby?”
“Stella, kau di mana sekarang?”
“Aku sudah di apartemen baru. Apa kau masih bersama Dylan saat ini, Ruby?” tanya Stella. Suaranya terdengar begitu gembira dan lepas, seakan tak pernah ada beban sebelumnya.
“Ya, aku masih bersama Dylan. Berikan aku lokasinya, kami akan datang membawakan makanan untukmu!”
“Ok.”
“Ngomong-ngomong, kenapa kau mencari tempat tinggal baru?”
“Kenapa? Aku akan menceraikan laki-laki setengah waras itu!”
Ruby tertawa mendengar yang baru dikatakan Stella padanya.
“Kau bisa menceritakan segalanya padaku nanti, Stelly. Aku akan segera ke sana bersama Dylan. Dia merindukanmu,” goda Ruby.
Stella tahu, Dylan pernah memiliki perasaan lebih padanya sebelum dia menikah dengan Dominic tiga tahun lalu.
Selama mereka bertiga masih sekolah, saat Stella menjadi korban ejekan kawan-kawan di sekolah, Dylan selalu membelanya. Saat itu tak ada yang menarik pada diri Stella. Tubuhnya kurus, tinggi, kulitnya terlihat pucat lebih pucat dari sebuah porselen, menggunakan gigi kawat, dan mereka mengganggap Stella adalah gadis yang membosankan.
Di mata Dylan, Stella adalah gadis yang sebaliknya. Meski saat itu Stella adalah seorang penyendiri dan jarang berbicara, dia selalu berusaha mendekati gadis itu dan berbicara dengan di perpustakaan maupun di taman sekolah.
Satu-satunya sahabat yang dimiliki Stella saat itu hanya Ruby, lalu Dylan menawarkan kebaikan dan selalu bersama Stella dan Ruby.
Sebenarnya Dylan cukup populer, tapi saat itu dia sadar, hatinya terperangkap pada sosok Stella.
Sekalipun Dylan tak mengungkapkan perasaannya pada Stella, gadis itu merasa perhatian yang diberikan Dylan padanya terlalu berlebihan, dia percaya diri jika Dylan menyukainya, dan kebenaran mengenai perasaan Dylan pun terlontar dari mulut Ruby.
Ponsel Stella berbunyi, menghentikan senyuman yang ada di bibirnya ketika dia sedang melamunkan masa lalunya saat dia masih sekolah dulu.
Dominic :
‘Jangan lupa usahakan berdandan yang cantik, aku tak mau kau memperlihatkan wajah jelekmu pada keluargaku nanti di acara ulangtahun Stefani. Kalau kau sampai mempermalukanku, aku tak segan menyakitimu!’
“Laki-laki itu hanya bisa mengancamku. Kurasa aku sudah gila mencintai laki-laki sepertimu!” maki Stella tepat di depan layar ponsel miliknya.
Stella :
‘Ok. Aku akan berdandan dengan sangat cantik. Karena ini permintaanmu, maka kirimkan aku sejumlah uang untuk membeli gaun yang mahal, dan biaya ke salon!’
Dominic :
‘Salah siapa meninggalkan black card yang kuberikan padamu? Sekarang kau membutuhkannya, kan? Sudah miskin, banyak tingkah!’
Stella benar-benar ingin melempar ponselnya begitu membaca balasan yang diterimanya dari Dominic. Bagaimana bisa laki-laki yang dicintainya ternyata adalah laki-laki yang tak memiliki hati, bahkan senang menghina dirinya.
Lalu ketika Stella mengatakan dia akan menceraikannya, lagi-lagi laki-laki itu membuat keputusannya sendiri, meski bercerai dia tetap harus berada di sampin Dominic?
Peraturan itu sepertinya tak pernah ada di hukum manapun!
Stella :
‘Kalau begitu jangan salahkan aku, jika aku mempermalukanmu’ [Emoticon senyum]
Stella mengirim balasan disertai emoticon senyum.
Dominic yang sedang berada di kamar dan duduk di sofa, sontak dibuatnya geram dengan balasan yang dikirimkan Stella padanya. Dia tak menyangka setelah keluar dari rumahnya, Stella mampu membalas dengan ketus setiap kalimatnya?
Apa gadis itu sudah bosan hidup?
Dominic menggertakkan giginya, rahangnya mengeras, ingin rasanya dia menggigit Stella jika saja gadis itu ada di hadapannya.
Stella :
‘Kau tak punya uang? Sudah jatuh miskin sampai begitu perhitungan padaku. Cepat kirimkan uangnya atau aku akan pergi ke acara itu dengan baju seadanya!’
Gertakan yang baru saja dikirimkan Stella melalui chat, membuat Dominic membuka m-banking miliknya dan segera mengirimkan sejumlah uang ke rekening pribadi milik Stella.
Sebuah pesan baru masuk ke ponsel milik Stella. Laki-laki itu tak membalas pesan terakhir Stella. Tapi ketika Stella membuka pesan yang baru saja masuk, kedua matanya terbelalak kaget. Tak percaya jika Dominic mengirimkan sejumlah uang yang lebih dari cukup hanya untuk membeli sebuah gaun dan perawatan ke salon.
'Transfer Dana : $1,500,000'
Dominic :
‘Wanita gila, sudah kukirimkan sejumlah uang. Kurasa lebih dari cukup. Sampai kulihat penampilanmu biasa saja, kupastikan kau harus mengganti uang itu 10x lipat!’
“Sinting! Aku ini masih istrinya, dan dia begitu perhitungan? Seharusnya tadi kubawa saja buku tabungan dan kartu yang diberikan Dominic padaku di awal pernikahan!”
Dominic :
‘Jam delapan aku akan menjemputmu ke apartemen!’
Stella mendengus kesal. Baru saja dia menemukan tempat baru, setidaknya dia berpikir dia bisa melepaskan diri dari masalah rumah tangganya dengan Dominic. Lalu, laki-laki yang tak pernah mencintainya itu terus memaksanya untuk membeli gaun, bersolek, ke salon, semua itu tak terlalu penting, dia hanya akan menjadi pajangan dan belum setelah itu Dominic bisa mencintainya, kan?
Stella melemparkan ponsel miliknya ke sudut ranjang, dia malas membalas pesan dari Dominic. Baru saja dia mau beristirahat, ponsel miliknya kembali berbunyi, dengan malas dia merayap ke sudut tempat tidur dan menatap ke layar ponsel.
Ruby meneleponnya!
“Ya?”
“Aku dan Dylan akan ke sana sekarang!” seru Ruby. Nada suara gadis itu terdengar sangat gembira.
Terakhir mereka bertemu sepertinya sudah sangat lama, Stella lupa, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Dominic tak terlalu menyukai gadis itu, setiap kali Ruby datang ke rumah mereka, Dominic akan merengut, wajahnya terlihat seperti orang yang menahan buang air besar selama berhari-hari.
“Aku tunggu!” jawab Stella tak kalah riangnya.
Benar-benar seperti seorang napi yang baru saja lepas dari tahanan dan menghirup kebebasan di luar.
Selama tiga tahun bersama Dominic, entah sudah berapa ratus malam dilewatinya sendiri, dengan perasaan sakit, dan menangis dalam kesendirian yang sering dilakukannya. Selama ini dia hanya berharap setidaknya Dominic memberikannya sedikit tempat di dalam hatinya, tak perlu banyak, dia hanya meminta seperempat ruang untuk ditempati dirinya.
“Jangan khawatir, Dominic. Setelah ini, kau bebas mencintai Stefani, atau mungkin kau bisa mati bersamanya!”
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ruby dan Dylan pun tiba di apartemen Stella. Beberapa kali Ruby menekan tombol bel, tapi belum juga ada jawaban.“Coba saja kau hubungi nomornya,” ucap Dylan.Ruby memberikan sekotak kue pada Dylan yang dibelinya sebelum dia tiba di apartemen Stella. Sama saja, Stella mengabaikan panggilan telepon dari Ruby.Apa dia sedang pergi?Atau tertidur di dalam?“Menurutmu, ke mana dia?” tanya Dylan.Merasa jengkel, Ruby tak lagi menekan bel pintu tapi menggedornya dengan kasar. Sedangkan di dalam ruangan, Stella memang tertidur. Begitu mendengar suara gedoran pintu yang sangat kasar dan kencang, kedua matanya langsung terbuka dalam sekejap.Stella meraih ponsel yang tergeletak di ujung kakinya, lalu mengecek beberapa panggilan masuk dari Ruby, dan sebuah pesan yang mengatakan, jika Stella tak membukakan pintu, maka Ruby akan membobol pintu dengan paksa.Stella melompat dari tempat tidur, lalu berlari cepat ke arah pintu.“Hei!” seru Stella ketika membuka pint
Dylan dan Ruby menemani Stella ke sebuah pusat perbelanjaan yang berada di pusat kota. Stella yang terlihat sederhana pada penampilannya, membuat beberapa pasang mata melirik ke arahnya dan menatap dengan tatapan menghina.Stella tak ambil pusing, dia memiliki cukup uang untuk membeli apa pun yang ada di dalam mall tersebut.“Aku dengar, mall ini merupakan milik salah satu orang terkaya nomor tiga di Kota Greenford, apa itu benar?” tanya Stella pada Dylan yang tak begitu menanggapi pertanyaannya, karena sibuk membalas pesan di ponsel miliknya.“Iya, kalau tidak salah namanya Christine Jones. Dia tak lama lagi akan mengadakan acara ulang tahun besar-besaran di sebuah hotel mewah. Aku yakin, Dominic—suamimu—pasti turut diundang olehnya. Aku dengar, dulu sekali Christine menaruh hati pada Dominic,” goda Ruby seraya melirik Stella, ingin melihat reaksi gadis itu.Tapi sayangnya, Stella seakan tak peduli apa yang mau diperbuat oleh Dominic. Meski dia mencintai Dominic setengah mati, tapi D
Stella berdiri mematung, enggan untuk menoleh ke belakang, karena dia mengenal dengan baik suara yang baru saja didengarnya itu. “Hei, kamu gila?” pekik Maggie yang melihat satu tangan puteri kesayangannya dipuntir oleh seorang pria. Tak ada yang berani bersuara, mereka mengenal dengan betul siapa pria yang saat ini berada di toko pakaian itu. Stella berbalik dan menatap dengan tajam pria yang saat ini masih belum melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elise. “Tuan Muda Anderson Yang Terhormat, buat apa kamu berada di sini?” tanya Stella. Dia tak mengerti bagaimana bisa Dominic bisa berada di dalam toko, dan baru saja dia membantu Stella, sehingga pot kaca itu tak mengenai kepalanya? Apakah ada seorang malaikat yang hinggap di bahu kanan Dominic, sehingga pria itu menjadi agak jinak dan baik padanya? Tapi tunggu .... “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Stella mengulang kembali pertanyaannya. Dominic menyentak tangan Elise, lalu beralih pada Stella. Dia menarik dengan kasar
Setelah Dominic selesai membelikan sebuah gaun pada Stella, mereka pun keluar dari pusat perbelanjaan. Saat tiba di parkiran, Dominic menatap Stella, seumur-umur, selama tiga tahun mereka bersama, pria itu tak pernah mengijinkan Stella untuk duduk di dalam mobilnya. Dominic menatap Stella dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu dia berkata, “Sebaiknya kamu naik taksi saja. Aku sudah memberikan banyak uang padamu, jadi kamu naik taksi. Ingat, tujuanmu ke mansion, bukan kembali ke apartemen sempitmu!” “Kamu masih merasa jijik untuk satu mobil denganku? Lalu kenapa tadi kamu memintaku untuk menggandengmu?” Dominic seperti seekor tikus yang tertangkap basah, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya ke arah lain menghindari tatapan dari Stella padanya. “Sampai rumah, aku akan membersihkan diri,” ucap Dominic ketus, membuat perasaan Stella sakit mendengarnya. Selama bertahun-tahun, Dominic selalu menghujamnya dengan kata-kata yang sangat pedas, bahkan tak peduli saat Stella mengeluar
Stella berusaha menendang Dominic yang semakin kesetanan, tatapan Dominic berubah, tak lagi dingin, tapi ... tatapan itu adalah tatapan penuh gairah. Stella tak bisa berkutik ketika Dominic menangkap kedua kakinya dan mencengkramnya dengan kencang, membuat Stella meringis menahan sakit.“Dominic, lepaskan aku!” teriak Stella. Meski dia mencintai Dominic dengan separuh jiwanya, dia tak bisa menerima perlakuan Dominic yang begitu kasar padanya saat ini. Pria itu mulai menggila.Pakaian yang dikenakan Stella koyak tak berbentuk, bahkan rok yang dikenakannya pun sobek di beberapa bagian akibat ulah Dominic.Pria itu mencekik leher Stella, dan berkata, “Melepaskanmu, Sayang? Apakah aku harus menurutinya?”“Aku ... sudah menurutimu, lalu apa lagi yang kau inginkan dariku, Dominic Anderson? Katakan!” seru Stella tak kuasa menahan rasa sakit di bagian leher.“Kau benar-benar ingin bercerai dariku? Apa karena kau ingin bersama pria yang tadi bersamamu di mall? Jawab, Bajingan!” maki Dominic de
Dominic melenguh panjang, selesai menuntaskan hasrat dan kemarahan dalam dirinya. Stella beringsut menjauh dari tubuh Dominic, lalu mendekap kedua kakinya di depan dada. Tatapan kebencian terlihat dari kedua bola mata indah Stella. “Kau ... aku menyesal, karena pernah mencintaimu, Dominic Anderson!” seru Stella terisak, bahu bergetar, tatapan itu semakin dalam, dan menusuk. Dia tak pernah berharap, Dominic meminta hak dengan cara brutal. Dia tak tampak seperti pemerkosa tanpa hati, ketimbang sebagai seorang suami! “Kau pikir, aku peduli?” balas Dominic, dengan tatapan sekelam malam. Seringan tajam terlukis tipis di wajah tampan Dominic. Dia bangkit turun dari tempat tidur, meraih kemeja yang berada di lantai, lalu memakainya. Dia menoleh sedikit, melihat tubuh Stella yang masih bergetar. Lalu kedua matanya terpaku pada satu titik noda darah yang ada di atas seprei berwarna krem. Hatinya terasa dicubit melihat noda darah itu, tapi apa pedulinya? Dia sudah mendapatkan segalanya, dan
Tidak ada yang mampu dikatakan Stella begitu mendengar kata-kata Dominic padanya. Stella yang masih merasakan sakit di sekujur tubuh akibat perlakuan Dominic sebelumnya, berusaha bangkit berdiri. Sementara Dominic masih terus menatapnya dengan tatapan menyalang. “Kenapa? Kau masih belum cukup menyakitiku, Tuan Davis?” tanya Stella seraya tersenyum getir. Stella merangkak perlahan dengan tangan bertumpu pada tepi ranjang, berusaha untuk naik ke tempat tidur. Masih ada yang harus dikerjakan setelah ini. Dia harus menemani Dominic ke sebuah acara yang sama sekali tidak diinginkan olehnya. Dominic terkekeh mendengar apa yang baru saja dikatakan Stella padanya, lalu membalas kata-kata Stella, “Itu baru permulaan, Stelly. Seperti yang aku katakan, karena aku tidak ingin menceraikanmu, maka bersiaplah setelahnya kau benar-benar akan merasakan apa yang namanya neraka!” “Kalau begitu selesaikan sekarang, beritahu aku seperti apa neraka itu. Neraka apa yang akan kau berikan kepadaku!” tantan
Pada akhirnya Dominic dan Stella pun bergegas menuju ke pesta ulang tahun seorang almarhum, menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Sepanjang perjalanan, Dominic mendiamkan Stella. Untuk pertama kali dalam hidup Stella, dia berada di dalam satu mobil dengan Dominic—suaminya. Tak perlu menunggu lama, keduanya pun tiba di sebuah mansion besar milik Keluarga Wilson. Degup jantung Stella terasa berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Dia sudah lama tidak mendatangi kediaman Keluarga Wilson, hampir selama pernikahannya dengan Dominic. Keluarga Wilson sendiri seolah telah melupakan jika Stella adalah bagian dari keluarga mereka. Sederet mobil mewah berada di halaman luas rumah keluarga, mereka sepertinya mengadakan pesta besar-besaran. Konyolnya lagi, pesta itu adalah pesta untuk orang yang—mungkin—sudah mati dan tidak pernah diketahui di mana keberadaan jasadnya. Dominic menyikut bahu Stella lalu berkata dengan nada dingin, “Tersenyum. Aku tidak ingin tamu melihatmu seperti orang