POV AINUN Aku mematung di halaman sebuah rumah yang cukup megah. Setelah mencari tahu kesana-kemari, akhirnya aku mengetahui di mana alamat kediaman Pak Arkan bersama kedua orang tuanya. Sudah tiga kali aku datang kemari. Sebelumnya aku hanya berani melihat dari luar pagar, lalu pergi lagi. Dan Kali ini aku memberanikan diri masuk ke pekarangan rumah tersebut setelah lebih dulu meminta izin pada petugas keamanan yang sedang berjaga di pos keamanan dekat gerbang rumah.Tapi kemudian, aku menghentikan langkahku karena kulihat saat ini di dalam rumah mewah tersebut sedang diadakan sebuah acara, pasalnya ada beberapa kendaraan yang terparkir dan terlihat cukup banyak orang yang berlalu lalang. Mereka keluar masuk dari rumah tersebut dengan mengenakan pakaian semi formal. Mungkin saja petugas keamanan tadi mengizinkan aku masuk karena menganggap aku adalah salah satu undangan yang datang untuk menghadiri acara.Aku merasa ragu dan kembali ingin membatalkan niatku datang kemari. Tadinya ak
POV AINUNSejak remaja aku tak pernah berpacaran. Aku tak punya waktu dan juga tak punya keberanian untuk melakukan hal-hal seperti itu. Meski tak kupungkiri, beberapa kali aku mengagumi sosok lelaki yang menurutku punya kepribadian yang baik, salah satunya adalah Pak Arkan.Benar, aku menyukai beliau. Bukan karena wajahnya yang rupawan atau postur tubuhnya yang benar-benar ideal, apalagi karena beliau lelaki mapan, tapi kebaikan hatinya lah yang telah mencuri hatiku. Pak Arkan sosok yang santun dan tidak pernah membeda-bedakan orang dalam bergaul. Dia berteman dengan siapa saja, dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang sama. Dia peduli dengan orang-orang di sekitarnya dan tak segan memberikan bantuan pada yang orang sedang kesusahan. Dia selalu sopan berbicara pada lawan bicaranya, meski orang tersebut berasal dari kelas rendahan, seperti aku contohnya, gadis miskin yang bekerja sebagai petugas kebersihan di kantornya. Ya, sebelum terjadi insiden yang membuatnya salah paham pa
POV AINUN"Biar saya yang masak, Bik," pintaku pada Bik Minah yang sedang sibuk menyiapkan bahan makanan untuk dijadikan menu sarapan.Selepas sholat subuh, aku langsung pergi ke dapur. Pak Arkan sudah memenuhi tugasnya sebagai seorang suami dengan memberikan nafkah padaku, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku juga akan berusaha memenuhi tugasku sebagai seorang istri dengan memberikannya sebuah pelayanan meski tidak sepenuhnya dan tentu tanpa dia sadari."Tidak usah, Bu, biar saya saja yang memasak. Ini sudah jadi tugas saya, lagipula ...." Bik Minah menggantung ucapannya, tak berani melanjutkan. "Saya tahu. Bik Minah pasti berpikir kalau Pak Arkan tidak akan mau memakan masakan yang saya buat." Aku berujar sembari tersenyum tipis.Sejak awal kedatangan kami ke rumah ini, Bik Minah sudah tahu bagaimana hubungan pernikahan kami, jadi aku tak terlalu sungkan mengatakan yang sebenarnya."Bukan begitu, Bu." Bik Minah terlihat tak enak hati."Tidak perlu canggung begitu, Bik. Kenyata
Farhan Pramudya. Itulah nama yang diberikan Mama dan Papa pada bayiku. Katanya nama itu memiliki arti kegembiraan, yang berarti kelahiran Farhan adalah sebuah kegembiraan bagi mereka, dan mereka pun berharap hidup Farhan kelak juga dipenuhi dengan kegembiraan.Aku mengamini dalam hati. Aku sungguh berharap kehidupan putraku tak seperti hidupku. Semoga saja dia memang akan selalu gembira tanpa harus merasakan banyak penderitaan seperti ibunya.Tapi semua itu rasanya mustahil jika aku tetap bertahan bersama Pak Arkan. Melihat Pak Arkan yang tetap tak mau mengakui Farhan sebagai darah dagingnya, akupun memantapkan hati untuk mengakhiri pernikahan tanpa masa depan ini. Sudah sedih rasanya melihat Papa yang mengadzani Farhan saat dia lahir, bukan Pak Arkan selaku ayahnya. Kini lukaku bertambah saat Pak Arkan datang dengan mengatakan jika Farhan bukan anaknya di hadapan Mama dan Papa.Kedua orang tuanya marah, tentu saja. Tapi mereka tak bisa melampiaskan kemarahan itu karena tak mau membu
Kembali ke POV Arkan***Lelah sudah aku mencari Ainun. Beberapa orang telah aku sewa untuk menelusuri keberadaannya, tapi tak membuahkan hasil sedikitpun. Aku juga sudah melaporkan perginya Ainun ke pihak yang berwajib sebagai orang hilang serta menyebar selebaran fotonya, berharap ada orang yang melihatnya dan segera menghubungiku. Tapi semuanya sia-sia saja. Ainun menghilang bak ditelan bumi. Tampaknya dia sengaja untuk tak ditemukan lagi olehku. Sejak membaca hasil tes DNA Farhan yang identik dengan DNA milikku, rasa bersalah mulai muncul memenuhi hatiku. Satu persatu kilasan perlakuan burukku terhadap Ainun beberapa bulan belakang mulai berdatangan memenuhi otakku, seperti film yang diputar kembali. Setiap kata-kata buruk yang kuucapkan dengan ketus dan dingin padanya, kini seakan terngiang di telingaku sendiri. Seberapa jahat perlakuanku pada Ainun selama ini, perlahan aku mulai menyadarinya.Mama dan Papa jelas kecewa. Mereka bersikap dingin padaku. Menemukan Ainun adalah harg
Setelah pertemuanku dengan Vina dan pengakuannya yang mengejutkan, aku nyaris tak bisa menguasai emosiku. Ingin rasanya aku melampiaskan kekecewaan dan kemarahanku pada Vina saat itu juga, tapi sebisa mungkin kutahan karena tak ada gunanya aku melakukan itu. Meski begitu, aku benar-benar geram dibuatnya. Bisa-bisanya dia melakukan sesuatu yang menghancurkan kehidupan orang lain dan hanya diam saja melihat kekacauan yang diakibatkan oleh perbuatannya.Sungguh permohonan maafnya saat ini sudah sangat tak berarti lagi. Kehidupanku dan Ainun sudah terlanjur berantakan. Sudah terlanjut banyak luka dan penderitaan yang harus kami rasakan. Jika saja Vina mengungkapkan kebenaran ini lebih cepat, mungkin tidak akan jadi seperti ini. Aku pasti takkan terus-menerus menyalahpahami Ainun, dan Ainun juga tak harus mengalami penderitaan berkepanjangan karena sikap burukku. Kenapa baru sekarang, di saat semuanya telah hancur? Ainun menghilang dengan sejuta luka yang membersamainya, dan aku belum berh
Aku keluar dari kantor pengadilan bersama rekan-rekan pengacaraku yang lain. Saat ini kami semua tergabung sebagai tim kuasa hukum yang menangani sebuah kasus perdata yang cukup menyita perhatian publik. Seorang janda satu anak yang menggugat istri siri mendiang suaminya karena telah membuat sertifikat kepemilikan tanah palsu dan menggadaikannya pada bank. Dan parahnya, tanah tersebut merupakan warisan peninggalan orang tua janda tersebut, bukan peninggalan mendiang suaminya.Saat datang untuk meminta bantuan hukum satu bulan yang lalu, aku langsung terenyuh mendengar kronologi yang diceritakan perempuan tersebut. Suaminya menikah siri secara terang-terangan, lalu tinggal dengan istri sirinya dan tak menafkahinya lagi. Tapi tak berselang lama, suaminya itu meninggal mendadak karena sebuah kecelakaan. Semua harta peninggalan sang suami harus dilelang karena ternyata lelaki itu mati dengan meninggalkan banyak hutang. Lalu sekarang, tanah warisan orang tuanya pun tahu-tahu sudah mau disi
Aku menghenyakkan bobot tubuhku pada kursi yang terdapat di teras rumah ibu kost. Cerita tadi tentang Ainun tadi membuat tubuhku seketika menjadi lemas. Tak terbayangkan seberapa besar kesulitan yang Ainun alami karena diriku. Bodohnya aku yang mengira jika kepergiannya malam itu adalah untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Selama ini, aku terlalu tak peduli pada hidup Ainun hingga tak tahu jika di keluarganya sendiri pun dia diperlakukan dengan buruk. Dan egoisnya lagi, aku tak segera menjemputnya meskipun kemudian tahu dia seorang diri di kontrakan Bu Ratna. Sungguh kejam perlakuanku selama ini padanya. Untuk pertama kalinya aku bersyukur Mama dan Papa begitu menyayangi Ainun selama ini. Entah bagaimana jadinya jika keluargaku juga menolak dan menghujatnya. Mungkin dia akan mengutuk dirinya sendiri karena telah terlahir sebagai sosok yang sulit untuk dicintai.Ainun, sudah berapa banyak luka yang kau rasakan selama ini? Dari sekian banyak orang yang telah menyakitimu, apakah a