Share

Pergi dan Jangan Kembali!

"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama.

"Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.

Ainun bergeming.

"Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.

Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan.

"Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. 

"Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.

Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semakin terpojok oleh keluarga besarku sendiri. Dengan begitu, semua orang pasti akan memintaku untuk membujuk dan meminta maaf padanya.

Heh, Ainun. Aku sudah hafal dengan permainanmu. Tapi maaf, kali ini aku tidak tertarik untuk ikut bermain bersamamu seperti sebelum-sebelumnya.

"Kalau memang mau pergi, pergi saja. Itu lebih baik," ujarku sembari menatap Ainun.

"Arkan?" Papa terlihat marah, begitu pula dengan yang lain.

"Kenapa? Dia sendiri yang mau pergi, bukan aku yang minta. Aku cuma ingin melakukan tes DNA dan dia malah mau pergi. Apa sampai di sini kalian semua masih tidak paham apa artinya itu? Dia ingin menghindar! Dia takut semua orang tahu kebusukannya selama ini. Tapi aku tidak sejahat itu untuk menyeretnya ke penjara karena telah menipu kita semua. Jika dia memang memilih untuk pergi, ya pergi saja sana. Tapi ingat, jangan pernah sekalipun muncul lagi di hadapanku!" kemarahanku juga ikut terpancing. Cukup sudah selama ini aku yang selalu disalahkan Mama dan Papa karena perempuan licik itu. Kali ini semua tidak akan berjalan seperti yang dia inginkan.

"Arkan, bicara apa kamu? Ainun ini istrimu. Kenapa kamu selalu memperlakukan dia seperti musuh?" tanya Mama padaku sambil masih menahan lengan Ainun.

"Sudahlah, Ma. Tidak perlu seperti ini. Saya sangat berterima kasih Mama dan Papa selama ini sangat baik pada saya, tapi saya tidak bisa terus berada di sini. Akan jauh lebih baik jika saya pergi." Ainun menoleh kearah Mama sambil tersenyum tipis.

Oke, aku ingin lihat drama apa yang kali ini yang akan dia mainkan di hadapan Mama.

"Saya dan Pak Arkan tidak cocok satu sama lain. Kalau dipaksakan terus bersama, itu justru akan buruk untuk tumbuh kembang Farhan. Saya tahu Pak Arkan juga tersiksa dengan pernikahan ini, jadi mungkin lebih baik kita hidup masing-masing saja," kali ini Ainun menyebutku dengan sapaan formal saat berbicara pada Mama. Tidak seperti biasanya.

"Apa maksud kamu, Ainun?" tanya Mama dengan suara bergetar.

"Saya akan pergi selamanya dari kehidupan Pak Arkan, Ma. Saya rasa lebih baik kami akhiri saja pernikahan tidak sehat ini."

Aku sedikit menautkan kedua alisku mendengar penuturan Ainun barusan. Jadi sekarang dia juga berpura-pura mau berpisah dariku?

"Ainun?" Mama menatap perempuan itu dengan airmata yang mulai menggenang di sudut matanya.

"Mbak Ainun ...." Disha yang sedari tadi mematung langsung berhambur kearah Ainun. Heran sekali aku dibuatnya. Bagaimana bisa orang-orang terdekatku bisa lebih memihak pada perempuan licik itu?

"Mbak, jangan pergi. Pikirkan dulu semuanya baik-baik, Mbak," ujar Disha ikut membujuk Ainun.

"Jangan membuat keputusan saat sedang emosi, Ainun. Papa tahu kamu marah pada Arkan. Tapi lebih baik semua ini dibicarakan lagi setelah pikiranmu lebih tenang." Papa juga berusaha untuk menenangkan Ainun.

Ah, ingin sekali aku tertawa dibuatnya. Sebenarnya siapa di sini yang anak kandung Mama dan Papa, aku atau Ainun? Mereka seakan tak rela sekali jika Ainun tersakiti sedikit saja, tanpa peduli luka yang kurasakan karena perempuan itu. Entah sihir apa yang sudah Ainun gunakan sehingga kedua orangtuaku sampai menjadi seperti itu.

"Saya tidak sedang membuat keputusan karena emosi, Pa. Saya sudah memikirkannya sejak lama. Saya sudah membuat keputusan ini jauh-jauh hari. Kalau Pak Arkan bisa menerima Farhan, saya akan bertahan demi masa depan Farhan. Tapi seperti yang Papa lihat, Pak Arkan tidak bisa menerima Farhan. Saya tidak ingin Farhan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri karena merasa kehadirannya tidak diharapkan. Saya harus pergi demi Farhan."

"Tidak, Ainun. Mama mohon bersabarlah sedikit lagi. Turuti saja apa maunya Arkan. Mama yakin lambat laun Arkan pasti akan menyayangi Farhan." Mama membujuk Ainun lagi dengan agak terisak.

Ainun menjawab dengan gelengan pelan. Bibirnya menyungging senyuman meski matanya berkaca-kaca. Benar-benar akting yang paripurna.

"Perpisahan adalah jalan terbaik, Ma. Demi kebahagiaan Pak Arkan, saya dan juga Farhan. Maaf jika selama hidup sebagai menantu Mama dan Papa, saya banyak kekurangan. Saya pamit." Ainun kembali melanjutkan langkahnya. Tapi tak lama kemudian, ia menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku.

"Pak Arkan, saya minta tolong agar Pak Arkan bersedia mengurus perceraian kita. Pak Arkan seorang pengacara, jadi lebih paham bagaimana caranya supaya urusan kita cepat selesai," pinta Ainun padaku.

Aku menatapnya tajam. Apa maksudnya dengan mengingatkan jika aku ini seorang pengacara? Apa dia ingin menghinaku, pengacara yang paham hukum dan berhasil memenangkan banyak kasus, tapi kalah pada permainannya?

Angkuh sekali dia!

"Saya minta maaf jika selama ini banyak kesalahan. Saya pergi, selamat tinggal ...," ujar Ainun sambil menatapku selama beberapa saat. Entah apa arti dari tatapannya itu. Yang jelas sorot matanya membuatku tak suka karena ada sesuatu yang tiba-tiba terasa tak nyaman di dalam sana.

Beberapa detik kemudian, seulas senyuman hadir di wajah Ainun. Dia tersenyum padaku sebelum akhirnya berbalik dan meneruskan langkahnya keluar dari rumah.

Aku membeku dengan perasaan yang sulit dijabarkan.

Pergilah, Ainun. Pergi sejauh mungkin dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Pergilah sampai aku tak ingat jika kau pernah ada di dunia ini. Pergi dan jangan kembali!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status