Share

Pergi dan Jangan Kembali!

Penulis: Tiwie Sizo
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-31 07:45:05

"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama.

"Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.

Ainun bergeming.

"Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.

Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan.

"Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. 

"Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.

Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semakin terpojok oleh keluarga besarku sendiri. Dengan begitu, semua orang pasti akan memintaku untuk membujuk dan meminta maaf padanya.

Heh, Ainun. Aku sudah hafal dengan permainanmu. Tapi maaf, kali ini aku tidak tertarik untuk ikut bermain bersamamu seperti sebelum-sebelumnya.

"Kalau memang mau pergi, pergi saja. Itu lebih baik," ujarku sembari menatap Ainun.

"Arkan?" Papa terlihat marah, begitu pula dengan yang lain.

"Kenapa? Dia sendiri yang mau pergi, bukan aku yang minta. Aku cuma ingin melakukan tes DNA dan dia malah mau pergi. Apa sampai di sini kalian semua masih tidak paham apa artinya itu? Dia ingin menghindar! Dia takut semua orang tahu kebusukannya selama ini. Tapi aku tidak sejahat itu untuk menyeretnya ke penjara karena telah menipu kita semua. Jika dia memang memilih untuk pergi, ya pergi saja sana. Tapi ingat, jangan pernah sekalipun muncul lagi di hadapanku!" kemarahanku juga ikut terpancing. Cukup sudah selama ini aku yang selalu disalahkan Mama dan Papa karena perempuan licik itu. Kali ini semua tidak akan berjalan seperti yang dia inginkan.

"Arkan, bicara apa kamu? Ainun ini istrimu. Kenapa kamu selalu memperlakukan dia seperti musuh?" tanya Mama padaku sambil masih menahan lengan Ainun.

"Sudahlah, Ma. Tidak perlu seperti ini. Saya sangat berterima kasih Mama dan Papa selama ini sangat baik pada saya, tapi saya tidak bisa terus berada di sini. Akan jauh lebih baik jika saya pergi." Ainun menoleh kearah Mama sambil tersenyum tipis.

Oke, aku ingin lihat drama apa yang kali ini yang akan dia mainkan di hadapan Mama.

"Saya dan Pak Arkan tidak cocok satu sama lain. Kalau dipaksakan terus bersama, itu justru akan buruk untuk tumbuh kembang Farhan. Saya tahu Pak Arkan juga tersiksa dengan pernikahan ini, jadi mungkin lebih baik kita hidup masing-masing saja," kali ini Ainun menyebutku dengan sapaan formal saat berbicara pada Mama. Tidak seperti biasanya.

"Apa maksud kamu, Ainun?" tanya Mama dengan suara bergetar.

"Saya akan pergi selamanya dari kehidupan Pak Arkan, Ma. Saya rasa lebih baik kami akhiri saja pernikahan tidak sehat ini."

Aku sedikit menautkan kedua alisku mendengar penuturan Ainun barusan. Jadi sekarang dia juga berpura-pura mau berpisah dariku?

"Ainun?" Mama menatap perempuan itu dengan airmata yang mulai menggenang di sudut matanya.

"Mbak Ainun ...." Disha yang sedari tadi mematung langsung berhambur kearah Ainun. Heran sekali aku dibuatnya. Bagaimana bisa orang-orang terdekatku bisa lebih memihak pada perempuan licik itu?

"Mbak, jangan pergi. Pikirkan dulu semuanya baik-baik, Mbak," ujar Disha ikut membujuk Ainun.

"Jangan membuat keputusan saat sedang emosi, Ainun. Papa tahu kamu marah pada Arkan. Tapi lebih baik semua ini dibicarakan lagi setelah pikiranmu lebih tenang." Papa juga berusaha untuk menenangkan Ainun.

Ah, ingin sekali aku tertawa dibuatnya. Sebenarnya siapa di sini yang anak kandung Mama dan Papa, aku atau Ainun? Mereka seakan tak rela sekali jika Ainun tersakiti sedikit saja, tanpa peduli luka yang kurasakan karena perempuan itu. Entah sihir apa yang sudah Ainun gunakan sehingga kedua orangtuaku sampai menjadi seperti itu.

"Saya tidak sedang membuat keputusan karena emosi, Pa. Saya sudah memikirkannya sejak lama. Saya sudah membuat keputusan ini jauh-jauh hari. Kalau Pak Arkan bisa menerima Farhan, saya akan bertahan demi masa depan Farhan. Tapi seperti yang Papa lihat, Pak Arkan tidak bisa menerima Farhan. Saya tidak ingin Farhan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri karena merasa kehadirannya tidak diharapkan. Saya harus pergi demi Farhan."

"Tidak, Ainun. Mama mohon bersabarlah sedikit lagi. Turuti saja apa maunya Arkan. Mama yakin lambat laun Arkan pasti akan menyayangi Farhan." Mama membujuk Ainun lagi dengan agak terisak.

Ainun menjawab dengan gelengan pelan. Bibirnya menyungging senyuman meski matanya berkaca-kaca. Benar-benar akting yang paripurna.

"Perpisahan adalah jalan terbaik, Ma. Demi kebahagiaan Pak Arkan, saya dan juga Farhan. Maaf jika selama hidup sebagai menantu Mama dan Papa, saya banyak kekurangan. Saya pamit." Ainun kembali melanjutkan langkahnya. Tapi tak lama kemudian, ia menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku.

"Pak Arkan, saya minta tolong agar Pak Arkan bersedia mengurus perceraian kita. Pak Arkan seorang pengacara, jadi lebih paham bagaimana caranya supaya urusan kita cepat selesai," pinta Ainun padaku.

Aku menatapnya tajam. Apa maksudnya dengan mengingatkan jika aku ini seorang pengacara? Apa dia ingin menghinaku, pengacara yang paham hukum dan berhasil memenangkan banyak kasus, tapi kalah pada permainannya?

Angkuh sekali dia!

"Saya minta maaf jika selama ini banyak kesalahan. Saya pergi, selamat tinggal ...," ujar Ainun sambil menatapku selama beberapa saat. Entah apa arti dari tatapannya itu. Yang jelas sorot matanya membuatku tak suka karena ada sesuatu yang tiba-tiba terasa tak nyaman di dalam sana.

Beberapa detik kemudian, seulas senyuman hadir di wajah Ainun. Dia tersenyum padaku sebelum akhirnya berbalik dan meneruskan langkahnya keluar dari rumah.

Aku membeku dengan perasaan yang sulit dijabarkan.

Pergilah, Ainun. Pergi sejauh mungkin dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Pergilah sampai aku tak ingat jika kau pernah ada di dunia ini. Pergi dan jangan kembali!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mertua yg baik dan cerdas pasti g akan membiarkan menantu dan cucunya pergi malam2. minimal dia akan membawa ke rumahnya atau mencarikan tempat menginap.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Ingin Mas Kawin Apa?

    Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Kejutan untuk Mama dan Papa

    Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Meyakinkan Ainun

    "Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Menikah Kembali?

    "Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Pulang

    Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Teman Berbagi

    Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status