Ainun masuk ke dalam kamar, meninggalkan kami semua yang sedang berada di ruang keluarga. Sekali lagi aku menatap sinis kearah pintu kamar yang dia tutup barusan. Setelah beberapa bulan belakangan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku, lihatlah tingkahnya yang jadi semakin jumawa. Berani-beraninya dia pergi begitu saja saat aku belum selesai bicara.
"Mama Papa bisa lihat? Sekarang menantu kesayangan yang selalu kalian bela itu sudah menjadi semakin luar biasa. Memangnya salah kalau aku ingin melakukan tes DNA? Bukannya justru aku terlalu bodoh kalau percaya begitu saja pada pengakuannya. Bagaimana pun, aku sama sekali tidak ingat kejadian malam itu. Apa memang benar aku yang sudah membuatnya hamil, atau justru orang lain?" Aku berusaha setengah mati meredam gemuruh di dadaku agar nada bicaraku terdengar normal.Mama dan Papa bergeming. Begitu pula dengan beberapa keluarga yang lain. Mereka semua yang berada di rumahku saat ini adalah orang-orang yang sudah mendorongku untuk menikahi Ainun beberapa bulan lalu. "Tidak salah jika kamu ingin membuktikan Farhan benar-benar putramu atau bukan, tapi tidak begini caranya juga, Arkan. Jika kamu ingin melakukan tes DNA, lakukan saja diam-diam tanpa harus mengatakannya di depan seluruh keluarga seperti ini." Papa akhirnya angkat suara. Lelaki yang selama ini sangat aku banggakan, untuk pertama kalinya aku tak senang mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya."Aku sengaja. Biar dia tahu bagaimana rasanya dipermalukan. Waktu itu dia mengaku hamil anakku saat semua keluarga kita sedang berkumpul seperti ini juga, kan? Padahal dia bisa menemuiku tanpa sepengetahuan orang lain. Apa tujuannya jika tidak ingin mempermalukan dan menjebakku? Aku tidak ingin berpura-pura baik lagi, Pa. Sudah cukup selama beberapa bulan ini aku bersabar menghadapi perempuan itu," ujarku pada Papa. Papa hanya menghela nafasnya dan tak berkata apapun lagi, begitu pula dengan Mama. Mungkin mereka berpikir jika kata-kataku tadi ada benarnya. Selama ini mereka begitu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Aiun. Aku sendiri heran bagaimana kedua orangtuaku ini bisa lebih percaya pada perempuan itu daripada aku, anak kandung mereka sendiri.Tapi sekarang tidak lagi! Aku tidak akan membiarkan Ainun mengendalikan Mama dan Papa seperti sebelumnya. Akan kubuka mata semua orang agar tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Jika Ainun bersikeras tak mau melakukan tes DNA, berarti benar jika selama ini dia telah menipuku dan seluruh keluargaku. Anak yang dilahirkannya itu bukan anakku, tapi anak orang lain."Mbak Ainun itu perempuan baik, Mas. Aku tidak percaya kalau Mbak Ainun sengaja menjebak Mas Arkan. Pasti disini dia juga korban dari perbuat orang lain. Lagian, seperti yang Tante bilang tadi, wajah Farhan juga mirip sekali dengan wajah Mas Arkan. Tidak perlu di tes DNA juga kita sudah bisa lihat kalau Farhan itu memang anak Mas Arkan." tiba-tiba terdengar suara Disha memecah keheningan, salah satu anak dari saudara Papa. Sepupu yang paling dekat denganku.Aku menoleh kearah gadis itu. Dia duduk di antara Mama dan Papanya sambil menatapku lekat. Agak kutautkan kedua alisku saat melihat ekspresinya. Entah kenapa saat ini dia terlihat sedang kecewa padaku.Hish, bahkan Disha yang sejak kecil selalu mengikuti, kini sudah berpihak pada perempuan itu. Ainun, Ainun, ternyata kamu benar-benar sangat luar biasa. Aku sungguh takjub dibuatnya. Kamu layak untuk diberikan sebuah penghargaan untuk aktingmu yang sempurna itu."Jika dia memang yakin bayinya adalah anakku, harusnya dia tidak keberatan untuk melakukan tes DNA," sanggahku."Mas Arkan terlalu kasar pada Mbak Ainun. Kalau Mas minta baik-baik, aku rasa Mbak Ainun tidak akan keberatan. Jangan seperti ini, Mas. Kami semua tahu Mas terpaksa menikah dengan Mbak Ainun, tapi sekarang dia sudah menjadi istri Mas Arkan. Dia berhak diperlakukan dengan lebih baik," ujar Disha lagi.Aku menatap Disha dengan sorot mata tak percaya. Begitu jahatkah aku di mata gadis itu sekarang? Padahal dulu dia selalu menggodaku dengan mengatakan hanya akan menikah jika telah bertemu dengan lelaki seperti aku. Kemana semua pujian itu sekarang? Tampaknya setiap hal baik tentangku menguap begitu saja sejak Ainun masuk ke dalam keluarga kami.Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum sinis. Bahkan Reina dulu harus berusaha setengah mati agar terlihat baik di hadapan seluruh keluargaku untuk mendapatkan restu. Perempuan yang telah mengisi hatiku lebih dari tiga tahun lamanya itu telah melakukan banyak hal hingga akhirnya kami bisa bertunangan. Dia juga telah berkorban banyak untuk tetap berdiri di sisiku. Tapi kemudian semuanya sia-sia saja saat Ainun datang menghancurkan segalanya. Entah bagaimana caranya, Ainun bisa membuat seluruh keluarga besarku menerimanya. Aku didesak untuk segera menikahi Ainun yang katanya hamil karena perbuatan ku, dan harus meninggalkan Reina, perempuan yang teramat sangat aku cintai.Ah, sangat tak adil rasanya. Aku dianggap jahat oleh keluargaku sendiri. Dan Ainun yang sudah membuat hidupku menderita dianggap sebagai istri yang teraniaya.Tiba-tiba pintu kamar Ainun kembali terbuka. Perempuan itu keluar dengan menggendong bayinya sembari menyeret sebuah koper.Mataku kembali melihat kearahnya, begitu pula dengan semua orang yang ada di ruang keluarga saat ini."Pak Arkan, tidak perlu melakukan tes DNA, karena apapun hasilnya tidak akan mengubah pandangan Anda tentang saya," ujar Ainun dengan nada datar. Bicaranya berubah menjadi formal seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya."Maaf, kalau selama ini saya sudah banyak menyusahkan Anda. Saya akan membawa anak saya pergi dari rumah ini. Mulai sekarang saya tidak akan muncul di hadapan Anda lagi. Terima kasih untuk kebaikan Anda sekeluarga selama ini." Ainun menyeret kopernya dan berlalu menuju pintu utama.Seluruh orang yang ada di sana terperangah dengan apa yang dilakukan Ainun. Kemudian tatapan mereka beralih padaku, seakan mengatakan jika apa yang dilakukan Ainun sekarang adalah kesalahanku. Bagus. Bagus sekali, Ainun. Drama yang sangat menakjubkan sekali lagi dimainkannya di hadapan seluruh keluarga besarku. Benar-benar licik!"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama."Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.Ainun bergeming."Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan."Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. "Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semak
Malam itu Ainun benar-benar pergi. Dengan menaiki sebuah taksi, perempuan itu meninggalkan rumah, disaksikan seluruh kekuatan besarku. Tak dihiraukannya isak tangis Mama yang memintanya untuk tidak pergi. Tampaknya dia ingin aku sendiri yang membujuknya, bukan orang lain. Tapi dia harus kecewa kali ini karena aku tidak akan mengabulkan keinginannya itu.Terus terang aku terganggu dengan tangisan Mama yang tak mau berhenti setelah kepergian Ainun. Apa bagusnya perempuan itu sampai Mama terlihat begitu sedih. Berulang kali aku membuang nafas kasar karena merasa kesal.Setelah drama yang cukup membuatku jengah, akhirnya seluruh keluarga besarku bubar dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Hanya Mama dan Papa yang masih tinggal dan terlihat masih ingin membicarakan sesuatu denganku."Kenapa tidak kamu hentikan Ainun, Arkan? Kemana dia mau pergi malam-malam begini? Benar-benar tega kamu! Di mana hati nuranimu?" Mama mulai mencercaku lagi dengan kata-kata yang selama ini tak pernah terlo
Tiga hari sudah Ainun pergi. Jelas ada yang aku rasakan sejak kepergian perempuan itu. Hening, suasana itulah yang mendominasi setiap sudut rumah. Hanya ada suara Bik Minah, asisten rumah tangga, yang terkadang bertanya tentang beberapa hal. Perempuan paruh baya yang bekerja sejak aku menikah dengan Ainun itu tampak sedikit kesulitan mengerjakan pekerjaannya sejak Ainun tidak ada. Banyak benda yang Bik Minah tidak tahu di mana letaknya hingga aku sedikit kesal dibuatnya. Memangnya apa saja kerjanya selama ini jika sedikit-sedikit bilang Ainun yang biasanya mengurus ini dan itu.Kupandangi sekeliling rumah dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Rumah ini adalah hasil kerja kerasku. Awalnya aku mempersiapkan rumah ini untuk kutinggali bersama Reina selepas kami menikah. Tapi kemudian, aku justru menikah dengan Ainun dan tinggal di rumah ini bersama perempuan itu.Sejak awal pindah kesini, rasanya sudah seperti berada di neraka. Dadaku seringkali terasa sesak karena harus tinggal satu a
Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepi
"Ini salah Mama. Harusnya Mama tidak terlalu banyak bicara sama Ainun. Harusnya Mama tidak mengatakan ini dan itu ... hiks ... hiks ...." Mama masih menangis terisak di sampingku.Aku melirik Mama sekilas, lalu kembali fokus menyetir. Pagi ini terpaksa aku tidak pergi bekerja karena kedatangan Mama yang tak terduga. Mama tampak masih sangat emosional sejak datang ke rumah tadi, hingga akhirnya aku pun menuruti keinginan Mama untuk mencari Ainun, meski aku sendiri tidak tahu mesti mencari kemana. Tujuan pertamaku saat ini adalah mendatangi kediaman kedua orang tua Ainun untuk mencari tahu siapa saja teman yang akrab dengannya. Jika menemui teman-temannya, siapa tahu salah satu dari mereka ada yang punya informasi tentang Ainun.Memang tidak banyak yang kuketahui tentang Ainun, selain siapa kedua orang tuanya dan di mana mereka tinggal. Selama hidup satu atap, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan berbicara padanya pun hanya sesekali, itupun seringkali pembicaraan yang kurang mengenaka
Setelah tak mendapatkan informasi apa-apa dari ibunya Ainun, aku pun akhirnya mengajak Mama untuk kembali menemui pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Mungkin saja di sana aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk.Dengan dipandu oleh Mama, aku melajukan mobil menuju tempat tersebut.Mobilku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah makan sederhana, atau lebih tepatnya sebuah warung makan. Menurut Mama, itu adalah warung makan milik Bu Ratna, perempuan paruh baya yang juga pemilik kontrakan yang pernah ditempati Ainun. Kami langsung turun dan masuk ke dalam warung makan tersebut."Maaf, Dek. Bu Ratnanya ada?" tanya Mama pada salah seorang pelayan warung makan tersebut.Pelayan tersebut terdiam sesaat. Mungkin dia agak bingung karena kami datang bukan untuk memesan makanan."Saya kenalan Bu Ratna, datang kemari karena ada perlu. Tadi pagi saya ke rumahnya, tapi beliau buru-buru karena mau ke warung katanya," ujar Mama lagi menambahkan."Oh ...." Pelayan warung itu mengangguk menger
Setelah puas mendengarkan cerita tentang Ainun dari Bu Ratna, aku dan Mama akhirnya pamit undur diri. Tak lupa kutinggalkan nomor kontakku pada Bu Ratna, agar beliau bisa segera memberitahuku jika seandainya Ainun menghubungi menggunakan nomor kontaknya yang baru.Bu Ratna ikut mengantar kami sampai ke dekat warung makannya, tempat mobilku terparkir. Karena hari sudah mulai siang, kuputuskan untuk mengantarkan Mama pulang dulu karena aku juga masih harus pergi ke kantor. Setelah itu, baru aku pikirkan lagi caranya untuk menemukan keberadaan Ainun."Jalan kemana lagi kita?" tanya Mama sambil menoleh kearahku."Aku antar Mama pulang dulu, setelah itu aku mau ke kantor," jawabku sambil fokus menyetir."Istri dan anakmu menghilang, bisa-bisanya kamu masih memikirkan pekerjaan? Ternyata selain tidak punya otak, kamu juga tidak punya hati, ya?" Mama melotot ke arahku dengan nafas yang agak memburu.Aku membuang nafas kasar. Sejak Ainun pergi malam itu, Mama terus saja mengucapkan kata-kata
Aku terdiam mendengar kata-kata Papa. Meski ingin kembali ingin menyangkal, tapi jauh di dasar hatiku, aku membenarkan semua itu. Aku curiga jika Farhan bukan anakku, tapi tak melakukan apapun untuk mencari kebenarannya. Yang kulakukan hanyalah terus bersikap buruk pada Ainun untuk membuat perempuan itu ikut merasakan penderitaan yang aku rasakan. Bagaimana pun, dialah yang telah membuatku harus kehilangan gadis yang sangat kucintai. Itulah yang ada dalam benakku selama ini.Benar kata Papa, aku benar-benar pengecut. Aku takut jika sebenarnya Ainun tak pernah menipuku dan aku menjadi satu-satunya orang jahat di sini. Aku takut mendapati kenyataan jika aku sungguh telah mengkhianati Reina dengan menghamili Ainun."Sudahlah, Pa." Terdengar Mama kembali menenangkan Papa. Terlihat Papa menghela nafas panjang, berusaha meredam amarahnya. Wajah Papa masih terlihat mengeras, tapi tak semurka sebelumnya."Apa menurutmu cuma kamu saja yang rugi saat menikahi Ainun, Arkan? Kamu tidak berpikir ji