Aku keluar dari kantor pengadilan bersama rekan-rekan pengacaraku yang lain. Saat ini kami semua tergabung sebagai tim kuasa hukum yang menangani sebuah kasus perdata yang cukup menyita perhatian publik. Seorang janda satu anak yang menggugat istri siri mendiang suaminya karena telah membuat sertifikat kepemilikan tanah palsu dan menggadaikannya pada bank. Dan parahnya, tanah tersebut merupakan warisan peninggalan orang tua janda tersebut, bukan peninggalan mendiang suaminya.Saat datang untuk meminta bantuan hukum satu bulan yang lalu, aku langsung terenyuh mendengar kronologi yang diceritakan perempuan tersebut. Suaminya menikah siri secara terang-terangan, lalu tinggal dengan istri sirinya dan tak menafkahinya lagi. Tapi tak berselang lama, suaminya itu meninggal mendadak karena sebuah kecelakaan. Semua harta peninggalan sang suami harus dilelang karena ternyata lelaki itu mati dengan meninggalkan banyak hutang. Lalu sekarang, tanah warisan orang tuanya pun tahu-tahu sudah mau disi
Aku menghenyakkan bobot tubuhku pada kursi yang terdapat di teras rumah ibu kost. Cerita tadi tentang Ainun tadi membuat tubuhku seketika menjadi lemas. Tak terbayangkan seberapa besar kesulitan yang Ainun alami karena diriku. Bodohnya aku yang mengira jika kepergiannya malam itu adalah untuk kembali ke rumah kedua orang tuanya. Selama ini, aku terlalu tak peduli pada hidup Ainun hingga tak tahu jika di keluarganya sendiri pun dia diperlakukan dengan buruk. Dan egoisnya lagi, aku tak segera menjemputnya meskipun kemudian tahu dia seorang diri di kontrakan Bu Ratna. Sungguh kejam perlakuanku selama ini padanya. Untuk pertama kalinya aku bersyukur Mama dan Papa begitu menyayangi Ainun selama ini. Entah bagaimana jadinya jika keluargaku juga menolak dan menghujatnya. Mungkin dia akan mengutuk dirinya sendiri karena telah terlahir sebagai sosok yang sulit untuk dicintai.Ainun, sudah berapa banyak luka yang kau rasakan selama ini? Dari sekian banyak orang yang telah menyakitimu, apakah a
"Nak Arkan, Ibu tidak tahu ada kesalahpahaman apa antara kamu dan Ainun hingga rumah tangga kalian menjadi kacau seperti ini. Tapi yang Ibu lihat, kalian sama-sama orang baik. Ibu berdoa semoga kalian segera dipertemukan dan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada." Itulah doa tulus yang diucapkan oleh Bu Ratna saat melihatku tergugu di hadapannya.Aku tak bisa lagi membendung tangis begitu mulai menyantap menu makan siang yang katanya biasa dimakan oleh Ainun. Rasa sesal itu semakin membuncah tak terkendali hingga aku kesulitan mengontrol emosi. Aku menangis tersedu seperti seorang anak kecil yang takut dihukum setelah melakukan Kesalahan. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan. Tak sanggup rasanya jika Ainun dan Farhan benar-benar pergi selamanya dari hidupku, padahal sebelumnya mati-matian aku menolak mereka.Sanubari itu layaknya lautan misteri, sesuatu yang tak bisa dimengerti, pun oleh sang pemilik hati itu sendiri. Begitulah aku yang kini tak mengerti dengan apa ya
Pagi ini, aku datang ke kantor dengan agak tak bersemangat. Semalam mataku nyaris tak bisa terpejam setelah kedatangan Mama dan Papa ke rumah. Kepalaku juga terus dipenuhi oleh permintaan mereka yang ingin aku melepaskan Ainun, lalu menikah lagi. Aku tahu Mama dan Papa hanya menginginkan kebahagiaanku. Lima tahun terakhir, bisa dikatakan hidupku sangat tak manusiawi. Seluruh waktuku hanya dihabiskan untuk bekerja dan mencari keberadaan Ainun. Tak ada waktu untuk diriku sendiri, bahkan sekedar untuk bersantai melepaskan penat sekalipun. Aku hanya makan dan tidur sekedar untuk memenuhi kebutuhan tubuh, tanpa menikmatinya sama sekali. Hidupku tenggelam dalam kehampaan. Kujalani semua rutinitasku tanpa menikmatinya layaknya sebuah robot yang mengerjakan tugasnya. Memperihatinkan memang, pantas saja jika Mama dan Papa sampai menyarankan ku untuk menikah lagi.Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Selama mencari keberadaan Ainun, tak pernah sedikit pun aku berniat untuk menyerah. Meski selam
Cukup lama aku mematung dengan mata yang tak beralih dari sosok di hadapanku saat ini. Wajah teduh yang selama lima tahun ini selalu hadir dalam setiap tidurku, kini berada tepat di hadapanku. Ingin rasanya aku menampar pipiku sendiri untuk memastikan jika saat ini aku tidak sedang bermimpi."Apa kabar, Pak Arkan?" Kembali kudengar suara itu. Begitu lembut terdengar di telinga, sama seperti lima tahun lalu saat dia masih tinggal bersamaku. "Baik," jawabku setengah bergumam.Ainun sedikit menipis bibirnya, hampir menyerupai sebuah senyuman. Sosoknya terlihat semakin matang dan dewasa. Penampilannya juga lebih tertutup. Ia telah mengenakan hijab dan menutup auratnya dengan sempurna. Terlihat begitu menyejukkan mata sekaligus menentramkan hati.Perasaan rindu yang selama ini kusimpan rapi di dasar hatiku, kini tiba-tiba menyeruak tak tertahankan. Hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk menarik dan merengkuhnya ke dalam pelukanku."Maaf, saya mengganggu. Apa Pak Arkan punya waktu?" t
"Aku ingin tes DNA!" seruku lantang di hadapan seluruh keluarga. Suasana yang tadinya hangat dan penuh senda gurau, tiba-tiba menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku. Terutama mata kedua orang tuaku yang beberapa detik tadi terlihat sangat bahagia merayakan kelahiran bayi yang mereka yakini sebagai cucu."Arkan?" Mama menatapku dengan raut tak percaya. Perempuan yang telah melahirkan ku itu tampak terkejut dengan apa yang didengarnya tadi.Aku menatap sekeliling. Saat ini di rumahku masih ada beberapa tamu karena Mama baru saja selesai mengadakan syukuran. Sebuah acara sederhana setelah satu bulan lebih perempuan yang belum lama ini kunikahi melahirkan seorang bayi lelaki. Bayi yang katanya sangat mirip denganku disaat aku sendiri tak yakin jika dia benar-benar darah dagingku.Wajah Mama terlihat sedikit gusar. Untung saja tamu yang tersisa saat ini semuanya masih keluarga, begitu mungkin pikirnya saat aku melontarkan kalimat mengejutkan tadi."Apa maksudmu, Arkan?" Kali ini suara Pa
Ainun masuk ke dalam kamar, meninggalkan kami semua yang sedang berada di ruang keluarga. Sekali lagi aku menatap sinis kearah pintu kamar yang dia tutup barusan. Setelah beberapa bulan belakangan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku, lihatlah tingkahnya yang jadi semakin jumawa. Berani-beraninya dia pergi begitu saja saat aku belum selesai bicara."Mama Papa bisa lihat? Sekarang menantu kesayangan yang selalu kalian bela itu sudah menjadi semakin luar biasa. Memangnya salah kalau aku ingin melakukan tes DNA? Bukannya justru aku terlalu bodoh kalau percaya begitu saja pada pengakuannya. Bagaimana pun, aku sama sekali tidak ingat kejadian malam itu. Apa memang benar aku yang sudah membuatnya hamil, atau justru orang lain?" Aku berusaha setengah mati meredam gemuruh di dadaku agar nada bicaraku terdengar normal.Mama dan Papa bergeming. Begitu pula dengan beberapa keluarga yang lain. Mereka semua yang berada di rumahku saat ini adalah orang-orang yang sudah mendorongku untuk menika
"Ainun!" Mama tergopoh-gopoh menyusul perempuan itu dan segera menahan lengannya. Ainun berhenti tanpa menoleh kearah Mama."Mau pergi kemana kamu malam-malam begini?" tanya Mama dengan wajah cemas.Ainun bergeming."Saya tidak tahu mesti pergi kemana, tapi yang jelas saya tidak bisa berada di sini lagi. Tolong biarkan saya pergi, Ma," jawabnya kemudian dengan nada memelas.Dadaku mulai bergemuruh. Perempuan itu mulai mengeluarkan jurus andalannya, terlihat sebagai istri teraniaya yang menyedihkan."Tidak, Ainun. Jangan begini. Mama tahu kalau Arkan sudah keterlaluan, tapi tolong pikirkan Farhan. Bagaimana nanti nasibnya kalau kamu membawanya pergi? Kalian mau tinggal di mana?" Mama berusaha membujuk perempuan itu. "Arkan, jangan diam saja. Bujuk dan tenangkan istrimu." Kali ini Papa yang bersuara, memintaku untuk menahan Ainun agar tidak pergi.Aku menghembuskan nafas kasar. Memang ini tujuannya, kan? Pura-pura mau pergi agar terlihat seperti orang yang tertindas dan membuatku semak