Share

Tanpa Ainun

Author: Tiwie Sizo
last update Last Updated: 2023-10-31 07:47:06

Hari demi hari terlewati, dan Ainun benar-benar tak kembali. Aku menikmati kesendirianku tanpa berusaha untuk keluar dari rasa sepi.

Beberapa kali tanpa sadar aku masuk ke kamar yang dulu ditempati Ainun. Biasanya hal itu kulakukan saat mataku tak kunjung terpejam, sedangkan malam semakin larut. Tak jarang aku justru tertidur di sana dan baru tersadar dengan hal konyol yang telah kulakukan saat pagi telah tiba. Entah apa yang mendasari ku melakukan hal itu. Rindukah aku pada Ainun? Aku langsung membuang jauh-jauh pertanyaan itu tanpa berniat mencari tahu kebenaran atas isi hatiku sendiri.

Semakin hari, aku semakin tak banyak berbicara. Aku lebih suka diam dan menenggelamkan diri ke dalam duniaku sendiri. Hampir seluruh waktuku kuhabiskan untuk bekerja. Secara bersamaan, beberapa rekan sesama pengacara berencana untuk mendirikan firma hukum dan mengajak ku untuk bergabung. Akupun setuju bergabung bersama mereka dan memulai perjuangan baru kami. Kesibukanku itu cukup membuat rasa kesepianku teralihkan. Pergi pagi, pulang larut malam bahkan saat hari libur sekalipun. 

Di sisi lain, Mama tampaknya tak berputus asa untuk membuatku membawa kembali Ainun dan Farhan. Beliau terus menemui Ainun dan aku memilih untuk tak mempedulikan hal itu. Aku juga menulikan telingaku saat mendengar nasihat dari Papa. Aku menutup pintu hati dari berbagai penjuru dan tak mengizinkan siapapun mengetuknya.

Tapi Mama tetap gigih. Tak jarang setelah pergi menemui Ainun, beliau mengirimkan foto Farhan padaku dengan harapan hatiku akan tersentuh. Dan kali ini, bukan hanya foto yang dikirimkan Mama ke gawaiku, tapi sebuah video. Aku baru menyadari Mama mengirimkan video itu ketika memeriksa gawaiku sambil merebahkan diri di tempat tidur, saat dini hari hampir menjelang.

Dengan enggan aku memutar video yang dikirim oleh Mama meski tak terlalu penasaran.

"Cilukk ... Ba ...." Terdengar suara Mama dari dalam video. Tampaknya Mama merekam Farhan sembari mengajak bayi itu berceloteh.

"Farhan, lihat Oma," ujar Mama lagi.

Farhan tertawa. Mulutnya terbuka lebar, memperlihatkan gusinya yang belum ditumbuhi gigi. Ia juga mengeluarkan celotehan khas bayi yang terdengar sangat lucu. Bayi itu telah tumbuh lebih besar dari yang terakhir aku lihat. Tubuhnya montok dan pipinya tembam. Tampaknya Ainun telah merawat Farhan dengan baik meski tak berada di rumah ini lagi.

Ada perasaan bergejolak saat aku melihat wajahnya. Rasanya seperti aku ingin memeluk bayi menggemaskan itu dan tak ingin melepasnya lagi.

Farhan, benarkah jika kau memang darah dagingku? Jika iya, kenapa aku merasa begitu berat untuk mengakui mu? Benarkah apa yang dikatakan ibumu waktu itu, jika hatiku telah dipenuhi oleh kebencian dan prasangka, hingga tak bisa lagi melihat kebenaran yang ada?

Aku menyingkirkan gawaiku dan berusaha memejamkan mata. Terlepas dari apa yang kurasakan, nyatanya egoku jauh lebih tinggi. Tetap tak ada niatan di hatiku untuk membawa kembali Farhan serta Ainun. Mereka sudah pergi dan tak ada hubungannya lagi denganku. Itulah yang selalu kukatakan pada diriku sendiri.

Tok! Tok! Tok!

"Pak Arkan." Samar terdengar suara Bik Minah memanggil.

"Pak. Apa Bapak belum bangun?" Suaranya semakin jelas terdengar.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan sedikit terkejut saat menyadari hari sudah pagi. Tanpa sadar aku kembali tertidur di kamar Ainun seperti sebelum-sebelumnya. 

"Pak Arkan." Suara Bik Minah membuat kesadaranmu pulih sepenuhnya.

"Iya, Bik. Saya sudah bangun," jawabku dengan agak malas.

Aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Saat keluar dari kamar Ainun, Bik Minah masih berdiri tak jauh dari pintu kamar.

"Maaf, saya lancang membangunkan Pak Arkan. Saya takut Bapak terlambat pergi ke kantor." Bik Minah terlihat tidak enak karena telah mengusik tidur singkatku.

"Tidak apa-apa. Saya memang akan terlambat jika sekarang tidak dibangunkan oleh Bik Minah," jawabku.

"Apa Pak Arkan pindah ke kamar ini? Haruskah saya memindahkan barang-barang keperluan Pak Arkan ke kamar ini juga?" tanya Bik Minah lagi.

"Tidak perlu. Semalam saya hanya ketiduran saat mencari sesuatu di sana." Aku buru-buru meninggalkan Bik Minah dan pergi ke kamarku yang berada di lantai atas. Malu rasanya jika sampai Bik Minah tahu aku sering tertidur di kamar Ainun belakangan ini.

Tak lama kemudian, aku kembali turun dengan tubuh yang lebih segar dan berpenampilan rapi. Aku langsung menuju meja makan dan mengambil sepotong roti untuk mengganjal perut. 

Aku sudah meminta pada Bik Minah agar tak memasak untukku lagi. Setiap pagi aku cukup makan sepotong roti, sedangkan siang dan malam harinya aku akan makan di luar. Hal itu kulakukan agar aku tak terus-terusan menginginkan masakan yang selama ini kusantap, yang ternyata adalah masakan Ainun.

"Pak Arkan, maaf saya baru ingat sekarang. Sebenarnya Bu Ainun menitipkan sesuatu pada saya sehari sebelum pergi." Bik Minah kembali berujar sesaat setelah aku menyelesaikan sarapan kilatku.

"Menitipkan sesuatu?" tanyaku dengan dahi sedikit mengerut.

Bik Minah mengangguk sembari merogoh saku bajunya.

"Bu Ainun meminta saya memberikan ini pada Pak Arkan untuk dikonsumsi setiap pagi. Saya ceroboh sampai lupa menyampaikannya pada Bapak," ujar Bi Minah sambil menyerahkan sesuatu padaku. Sebotol multivitamin yang biasa kuminum selama ini.

Aku menerima multivitamin itu dengan sedikit aneh. Apa maksud Ainun menitipkan itu pada Bik Minah sebelum dia pergi? Toh, selama ini juga dia tidak mengurusi keperluanku.

"Untuk Bik Minah saja. Saya biasanya juga mendapatkan itu dari Mama," ujarku kemudian sambil mengembalikan botol multivitamin itu pada Bik Minah.

"Tapi, Pak, sebenarnya vitamin yang selama ini biasa Pak Arkan minum juga dari Bu Ainun, bukan dari Bu Indri." 

"Apa?" Aku agak terkejut mendengar penuturan Bik Minah barusan.

"Vitamin yang biasa saya siapkan setiap pagi untuk Bapak minum, Bu Ainun yang memberikannya pada saya. Katanya supaya kesehatan Bapak selalu terjaga biarpun sering kerja sampai malam."

"Tapi bukannya waktu itu Bik Minah bilang Mama yang memberikannya untuk saya?"

"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membohongi Bapak, tapi Bu Ainun yang minta saya supaya bilang begitu sama Bapak. Katanya, nanti Bapak menolak kalau tahu itu dari Bu Ainun, makanya saya bilang saja kalau itu dari Bu Indri."

Aku membeku, tak tahu harus merespon seperti apa. Entah nanti fakta apalagi yang akan aku dengar tentang Ainun. Setelah perlakuanku yang tak bersahabat padanya selama dia berada di rumah ini, kenapa dia justru mempedulikanku? Harusnya dia juga ikut membenci dan mengacuhkanku, kan? Bukannya mengurusku secara diam-diam seperti ini.

Belum sempat aku berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara bel dari pintu depan. Entah siapa yang bertamu pagi-pagi begini.

Bik Minah segera membukakan pintu. Ternyata Mama yang datang. Beliau masuk ke dalam rumah dengan wajah cemas luar biasa.

"Arkan, Ainun tidak ada, Ainun tidak tinggal di kontrakannya lagi," ujar Mama dengan cemas.

Aku agak bingung dibuatnya.

"Jangan diam saja, Arkan. Cari Ainun sekarang juga. Mama bisa mati kalau tidak bisa bertemu lagi dengan Farhan." Mama menarik kerah bajuku dengan kedua tangannya dengan agak emosional. 

"Apa maksud Mama?" tanyaku tak mengerti.

"Ainun pergi, Arkan. Waktu tadi Mama datang ke kontrakannya, tempat itu sudah di tempati orang lain. Pemiliknya bilang Ainun sudah pindah ke luar kota dua hari yang lalu. Tidak ada yang tahu dia pergi kemana. Orang tuanya sendiri juga tidak tahu kemana dia membawa Farhan. Nomor kontaknya juga sudah tidak bisa dihubungi ...." Mama akhirnya tergugu sambil melepaskan cengkraman tangannya.

"Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Dia pergi ...." Tubuh Mama luruh ke lantai dengan tangis yang semakin menjadi.

Aku membeku dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Entah gejolak apa yang saat ini tiba-tiba memenuhi dadaku. Bukankah jika Ainun menghilang, keinginan tak terucapku selama ini terkabulkan? Tapi kenapa saat mendengarnya, perasaanku justru bertambah buruk?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Ingin Mas Kawin Apa?

    Mama menangis tersedu sambil memeluk Ainun erat. Ainun juga tampak terisak. Kedua perempuan berbeda generasi itu tampak saling melepaskan rindu sambil menumpahkan kesedihan masing-masing."Tega sekali kamu membawa Farhan meninggalkan Mama tanpa mengatakan apapun. Setiap hari Mama merindukan kalian. Setiap hari Mama mencemaskan keadaan kalian. Hampir mati rasanya Mama setiap kali membayangkan terjadi hal buruk pada kalian." Mama berucap dengan sangat emosional sembari mengurai pelukannya."Maafkan saya, Ma. Maaf ...," ujar Ainun serak di sela isakannya."Kemana saja kamu, Ainun? Kenapa baru sekarang kamu kembali. Mama sudah merasa putus asa karena kamu dan Farhan tak juga ditemukan.""Maaf, Ma. Saya tidak bermaksud membuat Mama menjadi seperti itu ...," lirih Ainun."Kamu tidak bermaksud, tapi nyatanya kami tega memisahkan Mama dari Farhan. Harusnya meskipun kamu ingin berpisah dari Arkan, kamu jangan memisahkan Mama dengan cucu Mama satu-satunya."Ainun menundukkan wajahnya dengan pen

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Kejutan untuk Mama dan Papa

    Aku memandang tanganku yang disentuh lembut oleh tangan Ainun, lalu beralih melihat wajahnya juga. Agak tak percaya rasanya Ainun menerimaku. Tapi kata-katanya tadi terdengar jelas jika ia bersedia menikah kembali denganku, dan aku yakin tidak sedang salah dengar. Aku menatap Ainun lamat-lamat, memastikan jika saat dia ini sedang bersungguh-sungguh, bukan sedang menjahili ku.Ainun juga tampak sedang memandang kearahku, tapi kemudian dia menunduk dengan wajah yang agak bersemu merah. Tanpa sadar sudut bibirku sedikit terangkat. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat melihatnya malu seperti itu. Kutarik kembali lengan Ainun dan kubawa lagi dia ke dalam pelukanku."Pak ...." Ainun hendak protes, tapi tampaknya kata-katanya tertahan hanya sampai di kerongkongan saja. Entah sejak kapan aku jadi sangat suka memeluknya seperti ini. Tubuh Ainun yang semula kaku pun kini jauh lebih rileks. Tanpa disadari, kami berdua tampaknya mulai menikmati tubuh kami yang saling b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Meyakinkan Ainun

    "Kenapa?" Aku bertanya pada Ainun yang tampak kehilangan kata-kata. Dia hanya menggeleng kikuk dan terlihat salah tingkah."Kita hanya akan melakukan akad ulang, tidak perlu mengurus surat-surat ke KUA, jadi tidak akan terlalu merepotkan. Bisa segera dilaksanakan," ujarku.Ainun mengangkat wajahnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepalanya. Mungkin dia merasa agak malu karena aku membicarakan pernikahan ulang kami dengan begitu gamblangnya. Aku maklum, karena di pernikahan kami sebelumnya, tak ada pembicaraan tentang pernikahan di antara kami berdua. Kami juga tak pernah benar-benar saling berhadapan seperti sekarang ini."Ainun," panggilku."Ya," Ainun menjawab sambil masih menunduk.Aku duduk di pinggiran tempat tidur, lalu memandang Ainun selama beberapa saat."Kemarilah, kita bicara." pintaku.Ainun kembali mengangkat wajahnya dan melihatku sejenak, sebelum akhirnya dia mendekat dan duduk di sampingku meski dengan sedikit ragu-ragu."Aku tidak akan meminta mu untuk memaafkan kes

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Menikah Kembali?

    "Ya Allah, apa saya tidak sedang salah lihat? Ini sungguhan Bu Ainun?" Bik Minah kembali bergumam tak percaya. Ainun hanya tersenyum karena tak tahu harus berkata apa. "Kita tidak disuruh masuk, Bik?" tanyaku. "Astagfirullah, maaf, Pak," ujar Bik Minah sembari menyingkirkan. Beliau Terlihat agak tidak enak karena sudah menghalangi pintu. Aku pun melangkah masuk diiringi oleh Ainun. Bik Minah juga mengikuti kami dari belakang. Sesampainya di ruang keluarga, aku mendudukkan Farhan di sofa dan mengambil alih koper yang dibawa Ainun. "Bu Ainun ...." Bik Minah kembali bergumam. Tampaknya dia masih belum percaya dengan kehadiran Ainun di rumah ini. "Apa kabar, Bik?" tanya Ainun kemudian sambil mengulas senyuman. Bik Minah balas tersenyum, tapi kemudian matanya berkaca-kaca. "Saya baik, Bu. Bu Ainun sendiri bagaimana kabarnya? Pergi kemana Ibu selama ini?" Bik Minah terlihat begitu emosional. Lagi-lagi Ainun hanya menjawab pertanyaan Bik Minah dengan senyuman. "Saya juga b

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Pulang

    Cukup lama Ainun tersedu di pelukanku. Aku hanya diam sembari mengusap punggungnya lembut. Tak ada kata yang kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku tahu, saat ini yang ia perlukan adalah ruang untuk menumpahkan semua kesedihan yang ditahannya selama ini. Kubiarkan dia menangis sepuasnya agar hatinya terasa jauh lebih lega.Setelah beberapa saat, tangis Ainun pun mereda. Kurasakan tangannya tak lagi melingkar di pinggangku dan pelukan kami pun terurai. Wajah Ainun terlihat sembab, tapi kemudian matanya agak sedikit melebar saat menyadari kemeja yang kukenakan basah di bagian dada karena airmatanya."Maaf, Pak ...," ujarnya panik.Aku tersenyum tipis melihat ekspresi wajahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.Ainun tampak menunduk. Entah kenapa aku berpikir jika saat ini dia sedang malu."Kemasilah barang-barang yang mau kamu bawa," titahku lagi.Ainun tampak kikuk dan tak tahu harus melakukan apa."Jangan keras kepala, lakukanlah seperti yang kukatakan tadi. Setelah Farhan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Teman Berbagi

    Ainun menyeka airmata yang terus luruh membasahi kedua pipinya. Ia terisak dengan agak tertahan, seakan tak ingin Farhan terganggu karena mendengar suara tangisannya."Apa maksudnya dengan hidupmu mungkin tidak akan lama lagi?" tanyaku dengan dada yang bergejolak hebat. Perasaan takut dan khawatir memenuhi pikiranku hingga tubuhku terasa agak bergetar."Saya mengidap penyakit serius, Pak. Saya tidak tahu akan mampu bertahan berapa lama lagi," jawab Ainun lirih."Penyakit serius apa, Ainun? Kamu sakit apa?" Tanpa sadar aku mencengkram kedua bahu Ainun dan memandang wajahnya dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ainun menunduk semakin dalam. Bahunya berguncang karena tangisnya kini tak bisa lagi ia tahan. Airmata Ainun mengalir semakin deras layaknya derai hujan yang jatuh dari atas langit. Isakannya kini juga terdengar jelas. Ainun tersedu-sedu dengan sangat memilukan, membuatku paham besarnya penderitaan dan kesedihan yang saat ini ia tanggung. Dan Ainun menyimpannya seorang diri tan

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Alasan Ainun Kembali

    Aku tak bisa melupakan wajah pucat Ainun hingga terus memikirkannya. Setiap kali teringat raut wajah kesakitannya serta ringisan lirih yang lolos dari mulutnya hari itu, seketika aku menjadi gelisah dibuatnya. Beberapa kali aku berusaha mampir ke kediaman Ainun dan mencari tahu keadannya, Ainun bersikeras jika dirinya tidak apa-apa dan terus mengusirku. Dan akhirnya aku pun menyerah, kuturuti keinginan Ainun yang akan membicarakan semuanya saat hasil tes DNA Farhan sudah keluar.Sebegitunya dia ingin membuktikan jika Farhan itu anakku. Mungkin karena luka yang kutorehkan di masa lalu yang terlalu dalam dan menyakitkan serta begitu mencoreng harga dirinya, hingga dia tak ingin mengatakan apapun padaku sebelum bukti itu dia genggam.Aku menghela nafas dalam sambil berusaha kembali fokus pada pekerjaanku. Sudah beberapa hari berlalu, yang artinya hasil tes DNA Farhan sudah bisa dilihat dalam beberapa hari kedepan, meskipun bagiku itu sama sekali tidak ada gunanya. Toh, aku sudah tahu jik

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Sesuatu yang Janggal

    Aku pulang ke rumah dengan berbagai perasaan yang berbaur menjadi satu. Tapi dari semua rasa yang ada, perasaan senanglah yang kini lebih mendominasi hatiku. Akhirnya, setelah lima tahun pencarian tanpa hasil, sekarang aku kembali dipertemukan dengan Ainun dan Farhan lagi. Meskipun Ainun masih terlihat tak bersahabat dan agak menjaga jarak, tapi setidaknya aku bisa berinteraksi dengan mereka.Setelah membersihkan diri dan makan malam masakan sederhana Bik Minah, biasanya aku akan langsung masuk ke ruang kerja dan melanjutkan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor. Tapi kali ini aku tidak masuk kesana, melainkan masuk ke kamar kosong yang berada di sebelah ruang kerjaku.Di lantai atas rumahku terdapat tiga buah kamar. Satu kamar tidurku, lalu kamar yang berada tepat di sebelah kamarku kuubah menjadi ruang kerja. Sedangkan kamar yang satunya lagi kubiarkan kosong. Aku mengamati setiap sudut kamar itu. Sudah ada tempat tidur dan juga lemari di sana, tapi selain itu tidak ada furn

  • Penyesalan Suami yang Terlambat   Berusaha

    "Aku tahu jika aku sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal padamu dan juga Farhan. Aku tahu jika perlakuanku padamu benar-benar tak termaafkan. Tapi setidaknya, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua itu. Izinkan aku menjadi sosok ayah yang semestinya untuk Farhan, Ainun." Aku masih memeluk erat tubuh Ainun."Pak Arkan, saya mohon jangan seperti ini," ujar Ainun sambil sekali lagi berusaha lepas dari pelukanku."Maafkan kebodohanku, Ainun. Maaf karena telah menyia-nyiakan mu selama ini. Pulanglah, rumah kita sangat sepi sejak kamu pergi ....""Rumah kita?" Ainun mendorong tubuhku dengan hentakan yang lebih kuat daripada sebelumnya, hingga mau tak mau pelukanku pun terlepas."Apa Bapak yakin sedang tidak salah minum obat? Rumah mana yang Bapak maksud dengan rumah kita? Dan lagi, sejak kapan ada kata kita di antara saya dan Bapak?" tanya Ainun dengan sarkas.Aku terdiam dan menatapnya dengan perasaan bersalah yang begitu menghujam. Bukannya aku lupa dengan semua perlakuanku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status